Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 5

Di dalam vila, Bibi Eni menangis dengan sangat sedih. Saat melihat Adelia dan Jihan kembali, barulah dia mengusap air matanya sambil berkata, "Bu, Den Revan tadi masuk ke kamar Den Justin bersama dokter, lalu mengambil banyak darah." "Mana dia?" "Masih di dalam kamar." Jihan memegangi dadanya sambil bergegas menaiki tangga. Saking terburu-burunya, kakinya yang mengenakan sepatu hak tinggi pun terkilir. Adelia memegangi tubuh Jihan dengan sigap. "Terima kasih," ujar Jihan dengan nada suara yang terdengar tercekat. Mereka pun berjalan ke pintu koridor panjang dan melihat pintu kamar utama terbuka. Di dalam sana, tampaklah seorang pemuda yang mengenakan kacamata emas dengan sorot tatapan tajam. Rambutnya disisir dengan rapi, pakaiannya benar-benar mewah dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Dia menatap Jihan dan Adelia sambil tersenyum. Saat melihat Adelia, ekspresinya tampak menjadi lebih dingin. "Bu Jihan, ini si gadis kampungan itu, 'kan? Ya ampun, anak orang kaya seperti Justin malah dapat istri kampungan." "Kamu mau ngapain sebenarnya, Revan?" tanya Jihan dengan dingin. "Aku cuma menjalankan perintah kakek untuk mengajak dokter memeriksa Justin," jawab Revan dengan sombong. "Memangnya Bu Jihan pikir apa?" "Sudah selesai 'kan diperiksanya? Cepat tinggalkan kami." "Tolong Bu Jihan jangan galak-galak denganku. Keluarga putra sulung juga sedang menari Pak Roman atas perintah Kakek, loh. Kami punya lebih banyak petunjuk daripada keluarga putra kedua." Pak Tommy pernah terluka parah saat masih muda. Cuaca dingin akan membuat setiap sendinya merasa begitu kesakitan. Dokter hebat mana pun tidak bisa mengobatinya, kecuali Roman si dokter pengobatan tradisional. Revan tersenyum dengan puas dan bangga saat melihat ekspresi kesal Jihan. "Kalau gitu, aku duluan, ya, Bu Jihan." Revan merasa sangat senang, akhirnya dia tidak perlu lagi merasa sakit hati berada di bawah Justin. Mana mungkin orang cacat seperti Justin bisa menjadi penerus kepala keluarga Vijendra? Jihan menggertakkan giginya menatap orang-orang yang berjalan pergi, kakinya terasa begitu sakit saat digerakkan. "Coba kuperiksa luka Ibu," kata Adelia sambil membantu Jihan duduk di teras. Jemarinya yang lentik pun menekan pergelangan kaki Jihan dengan lincah, "Untunglah nggak ada tulang yang patah." Entah apa yang sebenarnya Adelia lakukan. Dia hanya beberapa kali memutar-mutar dengan keras, tetapi tiba-tiba Jihan sudah bisa berjalan seperti biasa lagi. Jihan pun menatap pintu yang tertutup rapat dengan mata yang berkaca-kaca, lalu memalingkan pandangannya ke Adelia. "Adelia ... Apa kamu bisa membantu Ibu menjaga Justin? Kaki Ibu sudah nggak apa-apa, Justin lebih penting." Seorang ibu adalah sosok yang paling mengenal anaknya. Entah apa yang terjadi di dalam sana setelah kehebohan yang Revan sebabkan. Justin yang begitu sombong pasti tidak ingin sisi memalukannya dilihat oleh orang-orang terdekatnya. Adelia yang peka langsung mengerti. Dia mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Aku masuk dulu. Bibi Eni, tolong bantu Bu pergi istirahat, ya." "Baik." Setelah Jihan dan Bibi Eni pergi, Adelia pun langsung membuka pintu kamar. Kondisi kamar benar-benar kacau-balau. Justin sendiri bersandar di pinggir tempat tidur, ekspresinya tampak begitu elegan dan bermartabat. Pakaiannya tampak berantakan dan dipenuhi noda darah. Dia perlahan menoleh saat mendengar suara, sorot tatapannya tampak begitu tajam. Adelia sontak bergidik ketakutan. "Ibu menyuruhku membereskan kamarmu." Adelia membungkuk memungut bantal, dokumen dan gelas air yang berceceran di atas lantai, lalu meletakkannya satu per satu dengan rapi. "Kamu ke sini buat membereskan kamarku atau aku?" tanya Justin dari belakang dengan nada tajam. Dia sendiri yang mengacak-acak barang itu, tidak perlu dibereskan. Jika dia tidak bersikap seperti ini, mana mungkin Revan akan percaya bahwa dia tidak bisa bangkit dari rasa putus asanya? Adelia pun menengadah dan melihat Justin yang melambaikan tangannya. "Aku mau ganti baju." "... Oke." Adelia mengambil satu set pakaian rumah berbahan katun putih dari dalam lemari. Dia berjalan ke samping Justin yang sedang melipat kedua tangannya. Adelia pun membuka kancing baju Justin dan melepas pakaiannya. Begitu melihat tubuh Justin yang putih mulus dan berotot itu, jantung Adelia sontak berdegup dengan kencang. Dia segera memakaikan baju ke tubuh Justin, tetapi lalu memegang celana panjang Justin dengan cemas. "Kenapa sekarang kamu sok malu-malu? Bukannya kamu bisa mencopot celanaku dengan terang-terangan?" tanya Justin dengan tajam, bibirnya tampak pucat. Adelia sontak tertegun. Justin bersandar di tepi tempat tidur dengan mata yang terpejam rapat dan terlihat putus asa. Entah kenapa, dia merasa gemetar saat jemari Adelia yang lembut dan hangat sesekali menyentuh kulitnya. "Ulurkan tanganmu." Adelia pun membersihkan noda darah di punggung tangan Justin dengan handuk. Bekas tusukan jarum terlihat dengan jelas, bahkan di sekitarnya mulai lebam. Mereka memang sengaja mengambil begitu banyak darah. Justin menatap Adelia dengan kesan mendalam dalam diam, lalu membalikkan tangannya dan mencengkeram pergelangan tangan Adelia. Adelia pun tersentak jatuh ke atas tempat tidur yang lebar dengan satu kali dorong. Belum sempat dia bangun, Justin sudah menindihnya dengan bagian atas tubuhnya. Adelia bisa merasakan hangat napas Justin yang mengenai pipinya. Justin pun bertanya dengan suara rendah, "Manfaat apa yang Revan berikan kepadamu?" Justin memegang dagu Adelia dan memaksa wanita itu menengadah. Mata coklat Adelia tampak begitu jernih. "Aku nggak kenal dengannya." Ternyata Justin tidak percaya padanya. Yang sebelumnya itu Justin hanya sedang mempermainkannya. Barulah pada saat ini si pangeran yang sombong dan angkuh itu akhirnya menunjukkan taringnya. Tangan kanan Justin menempel di pinggang Adelia, ujung jemarinya menyentuh lekuk pinggang Adelia. "Kamu tahu nggak gimana orang zaman dulu memeriksa mata-mata wanita?" tanya Justin dengan dingin dan acuh tak acuh. Tentu saja dia tahu! Caranya adalah dengan mati-matian menyiksa mereka. Adelia pun menggeliatkan tubuhnya, berusaha melepaskan diri. "Kamu sudah dua kali melepas celanaku, jadi nggak masalah kalau aku melepas celanamu juga, 'kan?" tanya Justin sambil memegang sisi kaki Adelia. Adelia marah sekali, matanya sampai memerah. Dia mencubit titik akupunktur di pundak Justin dengan kencang. Justin refleks melepaskan genggamannya karena tangannya terasa kesemutan. Adelia pun turun dari tempat tidur dan mengangkat celananya lagi, lalu memelototi Justin. Adelia terlihat marah dan kesal. "Kamu ... Sekalipun kamu menelanjangiku, kamu ... kamu tetap nggak akan bisa!" kata Adelia dengan suara yang gemetar menahan tangis. Adelia pun membuka pintu dan langsung berlari keluar. Dia kembali ke kamarnya sendiri sambil merasa malu dan marah. Sementara itu, dua orang wanita yang bersembunyi di pojok lorong akhirnya keluar. "Kancing bajunya copot." "Rambutnya berantakan." "Wajahnya juga merah padam, apa Den Justin habis menciumnya?" "Wah, ide bagus banget meminta Bu Adelia merawat Den Justin," puji Bibi Eni sambil mengacungkan ibu jarinya. "Bukankah mereka bisa perlahan-lahan saling memiliki perasaan kalau diawali dengan rasa kasihan?" Jihan pun melirik Bibi Eni. "Apanya. Aku tahu betul anakku, dia nggak mungkin diam saja dipermalukan di depan Revan kalau bukan karena sengaja." Sejak kecil, mana pernah Revan bisa menandingi Justin? "Den Justin memang pintar." Di dalam kamar. Justin menggerakkan jemarinya, berusaha mengepalkannya lagi dan lagi. Rasanya lunak seperti memegang marshmallow. Justin pun menunduk menatapnya. Apanya yang dibilang dia tidak bisa! Apa Adelia pikir masih bisa kabur seandainya Justin memang mengerahkan usahanya? Drrt, drrt ... Ponsel Justin yang diletakkan di meja samping tempat tidur pun bergetar-getar. Cara kerja Nathan memang sangat cepat dan akurat. Dia mengurutkan kisah hidup Adelia dari kecil hingga dewasa ke dalam satu file yang rapi dan mengirimkannya kepada Justin. Justin membuka hasil penyelidikan itu dengan acuh tak acuh, tetapi jemarinya sontak berhenti bergerak. Sebersit rasa kaget terlintas dalam pandangannya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.