Bab 2
Suasana terasa dingin mencekam.
Adelia memegangi jantungnya yang berdebar-debar sambil bergeser sedikit dengan hati-hati, lalu bertanya, "Ka ... kamu sudah sadar?"
Pria itu tidak bergerak atau bersuara, dia hanya membuka matanya.
Adelia pun menutup mata Justin kembali dengan tangannya, telapak tangannya terasa sedikit geli tergelitik bulu mata Justin.
Justin perlahan kembali memejamkan kedua matanya.
Adelia pun duduk di pinggir tempat tidur, tubuhnya basah kuyup oleh keringat.
Akhirnya, dia membersihkan lipstiknya yang menempel di wajah Justin dengan lengan bajunya, lalu menyelimuti tubuh Justin dengan rasa bersalah.
Ternyata Justin belum sadar.
"Mungkin tadi reaksi spontan dari orang yang sedang koma," hibur Adelia di dalam hati.
Mungkin saja suara tadi hanya halusinasinya.
Adelia pun duduk di tepi tempat tidur dengan bosan selama beberapa waktu, hari sudah larut malam.
Adelia meletakkan tangannya di depan mulutnya dan menguap, lalu jatuh tertidur.
Tengah malam, dia terbangun dengan panik karena bermimpi tentang malam sekian tahun lalu saat dia terjebak di tengah gunung. Waktu itu juga terasa begitu dingin.
Adelia membalikkan tubuhnya dan secara insting memeluk pria yang tubuhnya terasa hangat itu. Dia tidak menyadari bahwa si pria kembali membuka matanya.
Pagi yang cerah pun tiba.
Adelia terbangun karena ada yang ribut-ribut. Dia membuka matanya yang masih terasa mengantuk.
Bibi Eni sudah berdiri di samping tempat tidur sambil membawa sebuah baskom. "Bu, tolong bersihkan tubuh Den Justin."
"Aku? Membersihkan tubuhnya?"
"Tentu saja."
"Terus, siapa yang sebelumnya membersihkan tubuhnya?" Justin 'kan sudah satu bulan koma.
"Tentu saja perawat, tapi mana bisa orang asing dibandingkan dengan istri sendiri," pungkas Bibi Eni dengan tegas. Dia tidak memberikan Adelia kesempatan untuk menolak.
Adelia yang masih mengenakan gaun pengantinnya pun mengambil handuk dari tangan Bibi Eni sambil cemberut sebal, lalu memeras airnya dan mengusap wajah tampan Justin dengan lembut.
Mata Justin masih terpejam dengan rapat, bulu matanya bahkan tidak bergerak sama sekali. Ternyata kemarin malam Adelia memang hanya berhalusinasi.
Meskipun begitu, tetap saja wajah Adelia merona malu menatap ketampanan Justin.
Bibi Eni terus memperhatikan Adelia sembari gadis itu membersihkan alis, mata, bibir, leher dan dada Justin.
Adelia mengelap setiap inci dan bagian tubuh Justin, termasuk ujung jari pria itu.
"Den Justin suka kebersihan, jadi pastikan kamu mengelapnya hingga bersih. Setelah itu, oleskan losion supaya kulit Den tetap lembab. Pijat sekujur tubuhnya satu kali setiap pagi dan malam supaya otot-ototnya nggak tegang."
Adelia tidak bisa membantah Bibi Eni yang sorot tatapannya terlihat tajam itu.
"Anggap saja Justin seperti pasien-pasienku selama ini," hibur Adelia di dalam hati.
Pemikiran seperti itu pun membuat gerakan Adelia menjadi lebih teliti dan profesional.
Bibi Eni diam-diam mengangguk puas dengan cara Adelia bekerja.
Adelia menggenggam pergelangan tangan Justin sembari mengelap jari-jemari pria itu dengan perlahan menggunakan handuk.
Justin memiliki jemari yang sangat cantik, putih dan lentik. Buku-buku jarinya juga terlihat jelas.
"Eh?"
Adelia refleks berujar dengan bingung. Dia bisa merasakan denyutan nadi yang kencang dari tangan Justin.
"Apa?" tanya Bibi Eni.
Adelia balas menggelengkan kepalanya. Bibi Eni menatapnya dengan datar, lalu berkata, "Sekarang, Bu Adelia sudah sah menjadi istri Den Justin. Aku juga sudah pernah melakukannya, jadi Bu Adelia nggak usah sungkan."
Bibi Eni pun mengambil selembar handuk, lalu memberikannya kepada Adelia. "Masih ada bagian bawah yang harus dilap."
Bagian bawah? Yang itu?
Wajah Adelia sontak menjadi merah padam.
Ini pasien!
Pria ini pasien!
Kakek Roman pernah mengatakan bahwa dokter yang baik itu harus bisa menjaga pikiran dan jiwa agar tetap tenang, tidak boleh terbawa hasrat ataupun hawa nafsu.
Adelia harus fokus dengan sepenuh hati, perlakukan setiap pasien seperti benda mati.
Adelia pun menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya.
Dia menggerakkan handuknya sambil meraba-raba di balik selimut. Tangannya bergerak menuruni perut Justin. Dari handuk yang tipis ini, Adelia bisa merasakan betapa kekarnya otot perut Justin.
Adelia sontak melamun. Wah, penampilan dan postur tubuh pria ini benar-benar lain dari lain. Pas sekali jika digunakan untuk berlatih akupunktur.
Tiba-tiba!
Sebuah tangan yang dingin mencengkeram pergelangan tangan Adelia.
Suara pria yang pelan, memikat dan juga agak kesal pun terdengar. "Nggak ... nggak usah bersihkan yang bawah ... "
Tang!
Baskom yang Bibi Eni bawa sontak terjatuh ke atas lantai. Setelah terdiam selama beberapa saat, Bibi Eni pun berlari keluar kamar sambil berseru, "Bu Jihan! Den Justin sudah sadar!"
Justin ... sudah sadar?
Adelia pun bangun dan menoleh menatap pria yang terbaring di atas tempat tidur. Detak jantungnya sontak menjadi lebih cepat.
Mata hitam Justin menatap Adelia dengan dingin dan tajam.
"Aku ... aku cuma menuruti kata-kata Bibi Eni untuk membersihkan tubuhmu," kata Adelia dengan suara pelan sambil meremas handuk di tangannya.
"Semalam."
"Kamu berulang kali mencuri ciuman dariku," kata Justin dengan tegas. Suaranya terdengar serak, sorot tatapannya terlihat acuh tak acuh.
Adelia sontak mematung. Rasanya dia ingin mengubur dirinya sendiri.
Vila pun menjadi heboh, derap kaki terdengar bersahutan dari koridor.
Kamar Justin langsung dipadati oleh para dokter. Semua orang yang dinilai tidak berhubungan langsung diminta keluar kamar.
Adelia perlahan menghembuskan napas lega, dia berdiri di sudut ruangan sambil menatap pintu yang tertutup rapat.
Akhirnya dia tidak perlu tatap muka dengan Justin lagi.
"Bu datang."
"Bu."
Kerumunan orang di lorong pun saling minggir untuk membukakan jalan bagi seorang wanita yang mengenakan gaun sederhana. Wanita itu berjalan mendekat dengan penuh wibawa, lalu melirik ke arah Adelia.
Wanita ini adalah ibu kandung Justin, istri kedua di keluarga Vijendra, Jihan Mahandi.
Adelia sontak menjadi tegang, dia refleks menegakkan punggungnya.
"Kamu benar-benar hebat."
Bu Jihan memegang tangan Adelia sambil berulang kali berkata, "Justin bisa sadar berkatmu!"
Pria yang divonis tidak akan bisa sadar lagi itu ternyata siuman!
Jihan pun melepaskan gelang giok mewah berwarna hijau dari pergelangan tangannya, lalu memasangkannya di tangan Adelia.
"Bu Jihan, ini terlalu mahal!"
"Anak baik, terimalah," kata Jihan sambil menepuk-nepuk punggung tangan Adelia. "Ini hadiah penyambutanku untuk menantuku."
Adelia menggigit bibirnya dengan gelisah, lalu berusaha menyunggingkan seulas senyuman kecil. "Bu Jihan, aku bukan anak keluarga Andoko ... "
"Aku tahu. Heru menyuruh anak tirinya ke sini karena dia merasa posisi keluargaku melemah. Tapi, pepatah mengatakan kalau orang kaya yang menjadi miskin tetap lebih kaya daripada orang miskin. Justin masih ada proyek besar di tangannya, dia masih punya waktu untuk bangkit lagi ... "
Jihan pun terdiam sesaat, allu melanjutkan, "Pokoknya, mulai hari ini, kamu adalah satu-satunya menantuku."
Bu Jihan memperhatikan penampilan dan kepribadian Adelia, dia merasa makin suka dengan menantunya ini.
"Tolong rawat Justin, ya. Kamu benar-benar beruntung, bahkan kamu juga memberikan keberuntungan kepada putraku. Mulai sekarang, panggil aku ibu. Justin masih punya seorang adik perempuan yang sedang mendoakannya di kuil, ayahnya sibuk menyelesaikan pekerjaannya yang terbengkalai. Kapan-kapan kita makan bersama sebagai keluarga."
Sorot tatapan Jihan yang tulus membuat mata Adelia menjadi berkaca-kaca.
Ternyata tidak semua ibu di dunia ini egois dan mementingkan diri sendiri.
Padahal di desa, dia disebut anak sial, anak terbuang atau anak yatim piatu.
Ayah kandungnya mati, sementara ibu kandungnya memilih kabur dengan orang lain.
Ini pertama kalinya ada yang menyebutnya beruntung.
Kreek.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Si dokter kepala stetoskop dan maskernya, lalu berkata, "Fungsi tubuh Den Justin memang perlahan-lahan sudah pulih, otaknya baik-baik saja. Tapi, ada banyak gumpalan darah di sumsum tulang belakangnya, sehingga kakinya nggak bisa merasakan apa-apa. Kalau mau dioperasi, risikonya sangat tinggi."
"Jadi ... dia nggak bisa sembuh?"
Jihan kembali bertanya memastikan dengan tidak percaya.
"Iya, kedua kaki Justin cacat dan ini akan memengaruhi kemampuannya untuk memiliki keturunan," vonis dokter dengan sangat kejam.
"Kami minta maaf. Tapi ... " Dokter itu mendorong kacamatanya yang berada di batang hidungnya. "Tapi, dia bisa saja sembuh kalau diobati oleh Pak Roman yang merupakan ahli pengobatan nasional terkemuka. Masalahnya, Pak Roman sudah pensiun dan menghilang selama bertahun-tahun, jadi kecil kemungkinan bisa menemukannya."
Ekspresi Bu Jihan langsung berubah menjadi kecewa.
Siapa yang bisa menemukan Roman Prambudi si dokter pengobatan tradisional itu!
Sebersit cahaya ragu pun melintas dalam sorot tatapan Adelia. Jelas-jelas kaki Justin itu ...
Di saat Adelia sedang berpikir haruskah dia mengatakan sesuatu atau tidak, ponsel dalam sakunya mendadak bergetar.