Bab 1
Adelia Rahmadana duduk di dalam sebuah vila yang sangat mewah dengan gaun bermotif bunga yang sudah lusuh karena terlalu sering dicuci.
Setelah 20 tahun tidak bertemu, ibu kandungnya yang berpakaian mewah memegang tangannya sambil berujar menangis, "Adel, kamu 'kan selama ini hidup susah di desa. Kalau kamu menjadi menantu keluarga Vijendra, kamu akan hidup enak."
Jantung Adelia seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, harapannya akan mendapatkan kasih sayang seorang ibu mendadak lenyap.
Dia menatap ibunya, Dona Hermina, dengan wajah tanpa ekspresi sambil berkata, "Aku ini putri kandung Ibu. Ibu rela aku menikah dengan calon tunangan Sarah yang koma gara-gara terluka parah dalam kecelakaan itu?"
Keluarga Andoko ingin mendapatkan manfaat dari ikatan pernikahan dengan keluarga Vijendra, tetapi mereka tidak ingin menikahkan Sarah Andoko dan membuat gadis itu hidup menderita di sana.
Dona justru mengajak Adelia keluar dari desa karena dialah kambing hitam untuk Sarah.
Dona menangis dengan pilu, lalu berlutut di hadapan Adelia sambil berkata, "Ibu juga nggak bisa berbuat apa-apa! Ibu ini istri kedua, hanya sebatas ibu tiri! Ibu mungkin terlihat seperti istri orang kaya, tapi Ibu juga sebenarnya memiliki banyak kesulitan. Kamu 'kan anak yang Ibu lahirkan, tolong bantu Ibu, ya! Tolong gantikan kakak tirimu menikah!"
Adelia menarik napas dalam-dalam dengan mata yang agak berkaca-kaca.
Sewaktu dia masih bayi, Dona meninggalkannya demi menjadi istri kedua di keluarga Andoko.
Dia sangat menyayangi anak tirinya, Sarah, selayaknya anak kandungnya sendiri. Di sisi lain, dia sama sekali tidak peduli dengan putri kandungnya yang dia buang di desa selama 20 tahun itu.
Adelia pikir Dona membawanya pulang karena merasa bersalah sudah meninggalkan anaknya, ternyata untuk mengeksploitasinya.
"Oke."
Adelia menyetujui permintaan Dona hanya sebagai balas budi sudah dilahirkan.
Dona pun segera mengusap air matanya, lalu membantu Adelia bangkit berdiri sambil tersenyum. "Keluarga Vijendra sudah menyiapkan pakaian pernikahannya, kamu cepat ganti baju, ya."
Dona terlihat begitu gembira karena hanya mementingkan tujuannya sendiri.
Adelia melepaskan genggaman tangan ibunya, wajahnya yang cantik terlihat dingin. "Ini yang terakhir kalinya. Habis ini, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi."
Dona sontak terdiam, tetapi dia segera meminta para pelayan untuk membantu Adelia berganti pakaian.
Adelia berdiri diam seperti boneka saat dibantu mengenakan pakaian itu. Penampilannya makin terlihat menawan dan memesona.
Saat melirik ke arah tangga, dia melihat seorang gadis yang tampak anggun.
Sarah berdiri di sana sambil tersenyum dengan puas. Dia menatap Adelia sebentar, lalu berkata, "Dasar anak yatim yang malang."
Tangan Adelia yang tergantung di samping tubuhnya menggenggam erat kotak obat yang dia bawa dari desa.
"Bu, mobil keluarga Vijendra sudah menunggu di depan," ujar salah seorang pelayan mengingatkan.
"Adel, jangan sampai keluarga Vijendra menunggu kelamaan," kata Dona berulang kali mengingatkan. "Terus, nggak usah bawa barang rongsokan ini ke keluarga Vijendra, nanti kamu jadi bahan ejekan." Dona pun berusaha merebut kotak yang Adelia bawa sambil mendorong putrinya itu keluar.
Namun, Adelia menghindar dengan gesit sampai-sampai Dona nyaris jatuh terjerembab.
"Ini barang pribadiku, kamu nggak berhak ikut campur."
Adelia menyahut dengan dingin, sorot tatapannya terlihat tajam.
Kotak obat ini adalah nyawanya, dia bisa menyembuhkan siapa saja dengan kotak obat ini.
Di belakang.
Sarah menolong ibu tirinya dan berkata dengan sinis, "Bunda, kayaknya Adelia nggak mau menikah deh. Apa menikahkannya nggak akan membuatnya sakit hati?"
"Nggak, ini justru adalah keberuntungannya," jawab Dona dengan riang. "Dia juga aslinya nggak mungkin bisa memiliki putra kedua keluarga Vijendra yang koma itu. Mana bisa dia mendapatkan keberuntungan seperti ini kalau tetap di desa."
Adelia benar-benar merasa sakit hati.
Brak!
Dia langsung menutup pintu mobil agar tidak perlu mendengar suara Dona dan Sarah yang menjijikkan itu.
Mobil pun melaju ke rumah keluarga Vijendra. Hari mulai gelap.
Keluarga Vijendra adalah keluarga kaya nomor satu di Kota Hanara, sementara keluarga Andoko hanya beruntung saja bisa menjalin hubungan dengan mereka.
Keluarga Vijendra terbagi menjadi keluarga putra sulung dan keluarga putra kedua.
Putra kedua keluarga Vijendra, Justin Vijendra, merupakan orang yang hebat dan kandidat paling kuat sebagai kepala keluarga berikutnya. Sayangnya, dia mengalami kecelakaan mobil yang parah satu bulan lalu dan sekarang koma. Pihak rumah sakit bahkan nyaris memberikan eutanasia kepadanya.
Pemuda berbakat yang paling populer di Kota Hanara seketika menjadi sosok yang paling dihindari oleh para wanita terkenal.
Katanya Justin bahkan tidak bisa punya anak.
Benar-benar kasihan!
Keluarga putra kedua Vijendra yang tidak memiliki pilihan lain hanya bisa percaya pada keajaiban.
Pandangan Adelia ditutupi oleh kerudung merah. Pelayan keluarga Vijendra, Bibi Eni, membantunya masuk ke dalam vila. Mahkota berbentuk burung yang bertengger di atas kepalanya membuat Adelia nyaris tidak kuat menengadah.
Bibi Eni mengajak Adelia masuk ke dalam sebuah kamar tidur yang luas. Adelia pun duduk di samping tempat tidur.
Bibi Eni mengikat tangan kanannya dengan tali merah sepanjang setengah meter, ujung tali itu diikatkan pada tangan kiri pria yang berbaring di atas tempat tidur.
"Nggak boleh dibuka, ya. Ini aturannya," ujar Bibi Eni memperingatkan. "Kalau sampai ada apa-apa, kamu sendiri yang bakal rugi."
Adelia mengangguk kecil, lehernya terasa begitu sakit hingga tidak bisa dia angkat.
Bibi Eni merasa gadis ini patuh juga, jadi dia berkata, "Malam ini kamu cukup menemani Den Justin. Kalau ada apa-apa, panggil aku saja."
Setelah itu, Bibi Eni menutup pintu kamar dan berjalan pergi.
Ruangan yang sangat luas itu terasa begitu sunyi. Hanya ada bunyi mesin, serta suara napas lelaki asing yang nyaris tidak terdengar.
Adelia menempatkan kotak obat di samping kakinya dengan hati-hati, aroma obat yang samar-samar tercium membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Kotak obat dan kemampuan akupunkturnya yang hebat adalah modal rasa percaya diri Adelia.
Tubuhnya terasa kaku dan sakit. Adelia refleks memijat lehernya menggunakan tangan yang diikat tali merah.
Namun, tiba-tiba tubuhnya ditarik dengan kuat.
Adelia pun jatuh ke atas kasur. Manik-manik di mahkotanya langsung mengeluarkan suara bergemerincing yang kencang, kerudung merahnya juga terlepas.
Tubuhnya menimpa tubuh lain yang terasa hangat, bibirnya menyentuh pipi si pria.
Tubuh pria yang Adelia tindih itu terasa dingin, wajahnya tampak pucat dan matanya terpejam rapat. Bulu matanya panjang dan lentik. Adelia sontak terpesona dengan ketampanan pria ini.
Sayangnya, wajahnya yang terkesan dingin itu ternoda karena ada bekas bibir Adelia yang dipoles lipstik merah di sana.
Wajah Adelia sontak menjadi merah padam. Dia hendak bangun untuk mencoba menghilangkan bekas bibirnya di wajah yang tampan itu, tetapi rambutnya tersangkut di kancing baju tidur pria itu!
"Aduh!"
Adelia memekik dengan kesakitan, kulit kepalanya terasa begitu pedih. Matanya juga mulai berkaca-kaca.
Makin dia meronta, makin rambutnya tersangkut.
Bibir merahnya juga berulang kali mengecup bibir pria itu.
Jika keluarga Vijendra melihat ini, mereka pasti akan menganggapnya terlalu berani dan tidak tahu malu! Orang yang lagi koma saja sampai dicium-cium begitu!
"Maaf ya, aku terpaksa," ujar Adelia sambil menatap pria yang kedua matanya tertutup rapat itu.
Setelah itu, Adelia menarik kerah baju tidur si pria.
Breeek!
Piyama yang terbuat dari katun itu pun robek, kancingnya juga lepas.
Huft, akhirnya rambutnya terbebas.
Adelia menundukkan kepalanya.
Sementara pria yang terbaring di tempat tidur itu perlahan membuka matanya.
Matanya yang dingin dan tajam menusuk itu menatap Adelia.
Piyamanya yang robek memperlihatkan tenggorokannya yang seksi dan dadanya yang bidang.
Pria itu terlihat seperti habis dilecehkan.
Adelia sontak termangu.