Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 15

"Aku nggak akan melepaskanmu! Nggak usah sok, aku tahu kamu sebenarnya siapa!" ujar Rafi sambil terus menyeret Adelia ke ruang istirahat di sebelah. "Kamu ... Lepaskan aku!" Tubuh Adelia terasa tidak enak, dia meraba jarum perak di mansetnya dan menusukkannya dengan keras. "Aduh!" jerit Rafi. Rafi pun berdiri bersandar di tembok di samping sambil menggenggam jarum Adelia itu. Sekujur tubuhnya terasa lemas. "Kamu ini memang harus dipaksa dulu baru nurut! Kalau kamu nggak mengizinkanku, aku akan memaksakan diri!" ujar Rafi dengan marah dan malu. Begitu dia selesai bicara, dia langsung terpental keluar karena bokongnya ditendang. Nathan kembali menendangi bokong Rafi. "Dasar bajingan!" "Kamu pikir kamu siapa, hah! Berani-beraninya memukuliku! Aku nggak akan memaafkanmu!" seru Rafi sambil berlari pergi dan menangis. "Ini negara hukum! Aku bertindak demi keadilan!" Sementara itu, Justin sudah membungkuk dan menggendong Adelia. Lengan atasnya sangat kuat, otot-ototnya terlihat dari balik kemejanya yang tipis. Dia menggendong Adelia dengan mudah, lalu meletakkan tubuh istrinya di atas pangkuannya. Adelia sontak berseru dengan kaget, "Pak Justin ... " "Kita pulang dulu." Justin berujar dengan tenang. Sopir yang berada di sampingnya pun mendorong kursi roda Justin keluar. Saat orang-orang yang berada di dalam ruang pribadi keluar karena mendengar ribut-ribut, mereka hanya melihat Nathan yang berjalan pergi. Rafi sendiri habis dihajar hingga babak belur. Mereka saling bertatapan, lalu Amanda-lah yang pertama kali memecah keheningan, "Orang itu siapa? Adelia ke mana?" Masa iya 200 jutanya melayang begitu saja? "Cuma orang yang suka ikut campur!" gerutu Rafi. "Pakaiannya juga bukan merek terkenal! Nggak tahu juga dari mana Adelia bisa menggoda begitu banyak pria! Dia sama sekali nggak pemilih!" "Gimana kalau kamu lapor ke pamanmu?" tanya Amanda dengan khawatir. "Nggak usah!" jawab Rafi sambil menggertakkan giginya. "Ini bukan masalah besar yang harus merepotkan pamanku!" Rafi tidak mungkin memaafkan mereka begitu saja! Di luar hotel. Nathan membuka pintu mobil, lalu menatap Justin dan Adelia yang bersandar di kursi belakang. Dia mengangkat alisnya sambil berkata, "Dari hasil mengupingku, pria itu naksir dengan Adelia. Sudah beberapa tahun ini dia mengejar Adelia, tapi selalu gagal. Itu sebabnya dia ingin beraksi saat acara kelulusan." "Adelia bukan orang yang gegabah." Justin juga tidak paham kenapa Adelia bisa-bisanya minum-minum seperti ini. "Mereka minum es teh Long Island. Walaupun kadar alkoholnya nggak begitu kuat, tetap saja Kakak Ipar nggak terbiasa meminumnya," jawab Nathan. Adelia tumbuh besar di desa, jadi dia pasti tidak terbiasa dengan minuman kalangan glamor seperti ini. Kadar alkohol dalam es teh Long Island sangat tinggi walaupun rasanya seperti minuman ringan biasa. Bahkan gadis yang kuat minum saja bisa mabuk hanya dengan dua gelas. Trik yang sangat cerdik, cara ini tepat mengenai titik lemah Adelia. Adelia yang tertidur di pelukan Justin pun menempelkan pipinya ke kulit Justin sambil berkata, "Kamu adem banget." Tenggorokan Adelia terasa panas terbakar, begitu pula dengan tubuhnya. Justin menarik Adelia menjauh, tetapi Adelia kembali menempel padanya. Nathan menatap mereka dengan santai sambil berujar pelan, "Sayang, kamu sangat keren ... " "Diam kamu." "Jangan dong, Sayang." "Nathan!" ujar Justin memperingatkan dengan ekspresi dingin. Nathan terkikik, lalu kembali serius. "Gimana kamu mau membereskan masalah malam ini? Perlu kusuruh orang ... " "Jangan terlalu heboh, bawahan Revan lagi mengawasiku." "Oke, kalau gitu bocah itu kulepaskan saja, ya." Mereka juga sedang mengadakan rapat rahasia malam ini. Makin sedikit yang tahu, makin baik. "Aku nggak pernah bilang akan melepaskannya," sela Justin. Dia pun memberikan beberapa perintah dengan ekspresi dingin. Nathan segera mengacungkan ibu jarinya. "Kamu memang nggak pernah mengecewakanku, Justin!" Mobil pun melaju ke vila. Nathan membantu Justin turun dari mobil, sementara Bibi Eni bergegas keluar setelah mendengar suara-suara. "Aduh, Bu Adelia kenapa?" "Dia mabuk habis minum-minum dengan teman-temannya," jawab Nathan dengan sopan. "Nah, karena mereka berdua sudah pulang dengan selamat, aku pulang dulu, ya, Bibi Eni." "Hati-hati di jalan, Den Nathan!" Bibi Eni mengamati Nathan hingga pergi, lalu mendorong Justin ke kamar utama. "Den, Bibi masak sup penghilang rasa mabuk dulu. Tolong jaga Bu Adelia, ya. Dia pasti merasa nggak enak setelah minum alkohol," kata Bibi Eni, lalu menutup pintu kamar dan berjalan pergi. Justin pun menunduk menatap Adelia yang berada di pangkuannya. Dia tetap menggendong Adelia yang terus mengigau itu. "Aduh, dingin banget." Pandangan Adelia sudah mengabur. Dia bergerak mendekati Justin sesuai dengan instingnya, dia kembali teringat saat terjebak di tengah gunung yang dingin itu. "Pak Justin," panggil Adelia. "Aku sangat berterima kasih kepadamu." "Buat apa?" tanya Justin dengan tenang. "Karena kamu sudah menyelamatkan nenekku, memberiku uang dan ... pasien terbaik yang pernah kutemui. Aku punya satu keinginan ... " gumam Adelia dengan lembut, pipinya tampak merah padam. Justin merapikan rambut Adelia yang berantakan di wajahnya, lalu menyampirkannya ke belakang telinga wanita itu sambil berujar dengan suara pelan, "Karena kamu lagi mabuk, aku nggak keberatan menjadi pengabul keinginanmu untuk satu kali ini." "Adelia, katakan apa keinginanmu." Adelia berusaha untuk menjaga akal sehatnya yang masih tersisa. "Aku ... aku ingin membuka sebuah klinik." Namun, Adelia sontak menyesali ucapannya. Dia pun menarik kerah Justin dan berkata dengan sedih, "Oh, jin ajaib, tolong besok ingatkan aku lagi untuk mengatakannya! Aku pasti lupa!" "Oke, akan kuingatkan." Adelia pun mengangguk-angguk hendak tertidur. "Aku mau minum air." "Biar kutuangkan." Justin meletakkan Adelia di atas tempat tidur, lalu memutar kursi rodanya dan menuangkan segelas air hangat. Adelia bangkit berdiri dengan gelisah, lalu berjalan terhuyung ke arah Justin dan memeluk pria itu. "Bruk!" Kursi roda Justin sontak terbalik dan mereka berdua terjatuh ke atas lantai. Segelas air hangat tumpah ke pipi dan dada Justin. Punggung Justin terasa sakit, kepalanya juga berputar. Begitu menyadari apa yang terjadi, Adelia sudah berada di atas tubuhnya! "Adelia!" Wah, benar-benar gila! "Adelia, sudah kubilang kamu nggak boleh memuaskan hawa nafsumu!" Justin tidak bisa mengerahkan tenaga karena tertindih. "Nggak, aku mau minum." Adelia pun menengadah, lalu menyentuhkan bibirnya dengan sudut bibir Justin, membuat tangan Justin terkepal dengan erat. Beberapa saat kemudian, Justin akhirnya mengaku kalah. "Kamu yang cari masalah loh, ya." Justin pun mengambil alih kendali dan mencium bibir Adelia. Napas Adelia menjadi tersengal akibat ciuman yang memabukkan itu, pandangannya menjadi makin berkabut. Dia hendak pergi. Namun, dia tidak bisa fokus. Tubuhnya terasa melayang seperti berada di atas awan. Ponselnya yang berada di atas karpet terus bergetar. Seseorang bernama Rafi terus-menerus meneleponnya. Justin akhirnya berhenti bergerak dengan kesal, lalu mengambil ponsel Adelia. Begitu membuka WhatsApp, semuanya adalah panggilan tak terjawab dari Rafi, beserta kata-kata romantis yang menjijikkan yang sebelumnya sempat Justin lihat secara tidak sengaja. Adel? Dia juga pantas memanggil Adelia seperti itu. Justin pun menghapus dan memblokir akun Rafi. Lalu, dia mematikan ponsel Adelia dan melemparkannya ke samping. Justin menunduk lagi, tetapi ternyata Adelia sudah tertidur pulas dengan kedua mata yang terpejam. Justin menggertakkan giginya untuk menahan sensasi hangat yang segera menjalari tubuhnya, beserta dengan rasa canggung. Tepat pada saat itu, Bibi Eni berjalan masuk sambil membawa semangkuk sup pereda rasa mabuk. "Den Justin." Begitu melihat Justin dan Adelia yang terbaring di atas lantai, sorot tatapan Bibi Eni sontak terlihat penasaran dan gembira. "Astaga!"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.