Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 11

Keesokan harinya. Vila Justin menjadi sepi. Jihan dan Daffa pindah kembali ke rumah mereka setelah memastikan segala sesuatunya sudah berjalan seperti biasa. Mereka juga memaksa Irena untuk ikut dengan mereka agar Irena tidak mengganggu Justin dan Adelia, serta memberikan pasangan baru itu ruang untuk berduaan. Setelah mereka pergi, barulah Adelia bisa mengobati Justin dengan lebih leluasa. Di dalam ruangan yang sunyi, seorang pria duduk di kursi roda dengan jarum panjang yang menusuk pergelangan kakinya. Pandangannya terus mengikuti Adelia, melihatnya sibuk kesana kemari, bibirnya terkatup dengan murung. Suasana terasa begitu hening. "A ... " Justin baru saja mengucapkan satu alfabet. Adelia langsung menyalakan TV agar tidak perlu mendengar suara Justin. Justin merasa sesak. Gadis satu ini benar-benar tidak ada sungkan-sungkannya. Justin mengernyit menatap punggung Adelia, lalu jemarinya yang panjang mendadak meremas selimut. Wajahnya terlihat kesakitan. "Aduh ... sakit." Adelia sontak berbalik badan dan menatap Justin dengan kaget. "Mana yang sakit? Titik akupunkturnya ... Aduh, lepaskan tanganmu! Kamu justru menekan jarumnya!" Justin pun menarik tangan Adelia, membuat gadis itu terdorong dan terduduk ke atas pangkuannya. "Kita bicara dulu baru aku mau lepas, kalau nggak kamu pasti akan menghindar lagi." Tangan Justin pun merangkul pinggang Adelia. Bulu mata Adelia tampak gemetar, daun telinganya sampai memerah. Bibirnya terlihat merona. Dia belum pernah berada sedekat ini dengan seorang pria. "Kemarin malam kamu menghindariku dan pagi ini kamu marah denganku," ujar Justin sambil refleks mengusap bagian belakang pinggang Adelia. Tubuh Adelia sontak menjadi lebih kaku. "Kamu nggak percaya padaku. Kamu bahkan terpaksa menukar dengan proyek itu." Adelia tahu dia tidak berhak marah, tetapi dia tidak bisa menahan diri. Proyek itu adalah hasil jerih payah Justin, sekaligus satu-satunya harapan untuk memperbaiki status keluarga putra kedua. "Tentu saja aku percaya padamu." Adelia bisa mendengar suara rendah Justin yang khas. "Keluarga putra sulung sengaja menggunakan Felix untuk menyakitiku, aku juga sengaja memberikan proyek itu kepada mereka. Aku hanya percaya padamu, itu sebabnya menurutku kamu bisa berakting dengan baik bersamaku." Amarah dalam hati Adelia pun mereda. "Akting apa?" "Jangan sampai kemampuan pengobatanmu yang hebat ini ketahuan sebelum aku bisa berdiri lagi," jawab Justin dengan tenang, wajah tampannya terlihat dengan jelas. Benar-benar cerdas. Adelia pun menunduk, kulitnya tampak seputih salju. "Terus, soal Kevin ... " "Kamu 'kan pernah belajar kedokteran, wajar saja kamu bisa mengobati penyakit biasa. Kondisi kakiku ini sudah parah dan divonis nggak bisa diselamatkan. Bahkan banyak dokter yang dikenal hebat nggak bisa berkutik." "Oke, aku mengerti," jawab Adelia sambil mengangguk dengan patuh. Yang penting dia tidak terlalu menonjolkan kemampuan pengobatannya. Justin tersenyum kecil menatap Adelia yang begitu menggemaskan. Dia sontak teringat akan ucapan mesum Nathan kemarin malam. Justin pun menelan air ludahnya sambil menjilat bibir tipisnya. Dia akhirnya tidak jadi mengutarakan pertanyaan itu. Adelia pun mendorong dada Justin menjauh dengan wajah yang merah padam. "Ayo, lepaskan dulu. Biar aku bisa mencabut jarumnya." Ekspresi Justin tetap dingin, tetapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Adelia pun berjongkok, lalu jemarinya memutar ujung jarum dengan cepat. Dia bisa merasakan pandangan yang tertuju kepadanya dengan panas. Dia tidak bisa menghindar ke mana-mana, jadi pipinya makin merona merah. Tepat pada saat itu, terdengarlah suara dari TV LCD yang digantung di dinding itu. "Reporter kami sedang mengunjungi Yayasan Bintang Bulan. Sejak didirikan, yayasan ini sudah membantu ratusan anak yang putus sekolah untuk menyelesaikan pendidikan mereka, serta memberikan uang santunan kepada ribuan keluarga. Tapi, pendiri yayasan ini belum pernah muncul di publik. Kami ... " Adelia mendengarkan berita itu dengan terpesona. Dia ingat sebelumnya Irena juga menyebut soal Yayasan Bintang Bulan. Dia refleks menoleh menatap Justin dengan mata yang berbinar-binar sambil berkata, "Aku juga disponsori oleh Yayasan Bintang Bulan loh." "Keluargaku dulu miskin banget sampai nggak punya uang buat sekolah. Terus, ada orang baik yang mensponsori anak-anak di Desa Bulan. Berkat bantuan dana itulah aku bisa sekolah. Aku selalu ingin bisa bertemu dengan orang baik itu." "Buat apa?" tanya Justin dengan ekspresi berkecamuk. "Berterima kasih." Mata Adelia tampak begitu lembut dan terang seperti permukaan air yang jernih. Rasanya tatapan Adelia itu bisa melihat langsung ke dalam hati Justin. Justin tidak menyangka bahwa keputusan impulsifnya saat itu akan menjadi cahaya bagi kehidupan orang lain. Justin yang melamun karena terbuai pun refleks mengelus rambut halus Adelia. Mereka berdua sontak tertegun seperti habis disengat listrik. Keheningan yang menyelimuti membuat mereka makin merasa canggung. "Pak Justin, apa kamu ... " Adalah orang itu? Belum sempat Adelia bertanya hingga selesai, bunyi ketukan pintu menyelanya. Tok, tok, tok. Bunyi ketukan pintu terdengar beberapa kali. "Den Justin, ada orang dari keluarga Saputra yang datang," lapor Bibi Eni. "Oke." Setelah Justin mengiakan, Adelia pun segera merapikan pakaian Justin. "Biar kudorong ke bawah." Setelah itu, tangan Adelia yang putih memengangi kursi roda. Justin menenangkan debaran jantungnya dengan paksa. Ini semua karena ucapan mesum Nathan. Di ruang tamu. Bu Anara memperhatikan sekeliling. Dia merasa lebih tenang karena tidak melihat Jihan si wanita gila itu. Bibi Eni yang cerdas langsung tahu apa yang ada di dalam benak Bu Anara. "Bu Anara, Bu Jihan sudah kembali ke rumahnya, jadi sekarang nggak tinggal di sini lagi." Jihan dan Anara memang sudah bermusuhan sejak kecil. Setiap bertemu, mereka berdua pasti akan langsung adu mulut. Kevin sontak tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun, Ibu! Masa Ibu yang tinggi besar begini masih takut kepadanya!" "Dasar anak nggak berguna! Kamu bicara apa sih!" Bu Anara pun berulang kali memukul punggung putranya dengan marah. Dia itu wanita anggun, tahu! "Aduh, sakit!" Saat masuk ke ruang tamu, Adelia dan Justin melihat Kevin yang sedang menjerit kesakitan. Adelia pun berdeham. Anara dan Kevin refleks menoleh ke arahnya. "Pak Justin, Bu Adelia." Bu Anara menyapa dengan anggun, sementara wajah Kevin sontak merona merah saat melihat Adelia. Lidahnya bahkan mendadak terasa kelu. "Terima kasih Bu Adelia sudah menyelamatkan putraku. Entah bagaimana akhirnya kalau bukan karena Bu Adelia. Aku sengaja datang hari ini untuk mengucapkan terima kasih," ujar Bu Anara sambil langsung memberikan cek senilai satu miliar. Dia benar-benar kaya raya. Adelia segera mengibaskan tangannya. "Itu bukan sesuatu yang sulit kok. Siapa pun bisa menyelamatkannya." "Apa kamu nggak mau menerimanya karena jumlahnya terlalu sedikit?" Sepertinya begitu Adelia menjawab "ya", Bu Anara akan langsung menambah nominalnya menjadi sepuluh miliar. Justin tahu keluarga Saputra memang suka memamerkan harta mereka. Dia langsung mengambil cek itu dan memasukkannya ke dalam genggaman tangan Adelia. "Terima saja, toh sudah dikasih. Nyawa Kevin itu senilai seribu emas, apalah arti satu miliar," jawab Justin dengan dingin, sorot tatapannya tampak tajam mengintimidasi. Sementara itu, Kevin bersembunyi di belakang sambil berulang kali memperhatikan kedua kaki Justin. Di luar sana, orang-orang ricuh membahas Justin yang tidak bisa berjalan lagi. Kevin merasa sedih dan kasihan. Dia merasa berada di situasi yang sama dengan Justin. "Apa maksud tatapanmu itu?" tanya Justin dengan dingin. Kevin pun memberanikan diri untuk bertanya, "Justin, apa ... kamu benar-benar nggak bisa? Kalau gitu ... bukannya itu berarti Adelia akan kesepian dan menderita? Tapi, dia harusnya bisa mengobatimu, 'kan? Ilmu pengobatannya 'kan hebat banget." "Aduh, anak bodoh ini! Bicara apa sih kamu ini!" Bu Anara ingin sekali menghajar mulut putranya sampai babak belur. "Aduh!" Kevin sibuk menghindar sambil memegangi kepalanya. "Aku ke sini karena mau minta Adelia mengobatiku. Aku langsung sadar dengan satu kali tusukan jarumnya, jadi siapa tahu aku bisa sembuh kalau dia memberikanku terapi akupunktur lagi!" Pria mana yang sudi memiliki penyakit tersembunyi! Selama bertahun-tahun ini, dia terus menjadi bahan ejekan masyarakat kelas atas Kota Hanara. "Hajar saja aku sampai mati, aku juga nggak mau hidup lagi! Apalah arti seorang pria yang impoten! Aku sudah minum banyak sekali obat, tapi tetap nggak sembuh-sembuh!" Kevin pun duduk di atas lantai dan mulai menangis tersedu-sedu. Bu Anara pun ikut merasa sedih. Dia menundukkan kepalanya ikut menangis bersama putranya. Bibi Eni berusaha membujuk mereka, tetapi percuma saja. Dia akhirnya hanya bisa diam mengawasi mereka berdua. Adelia menggigit bibirnya pelan, sorot tatapannya terlihat bimbang dan gamang. Dia pun menggandeng lengan Justin. Justin balas memegang tangan Adelia dengan lembut dan mengelus-elus jari-jarinya yang halus. Setelah itu, dia menuliskan sesuatu di atas telapak tangan Adelia dengan jarinya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.