Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 10

Dara menutup mulutnya sambil tertawa. "Pasang volumenya sampai maksimum biar semua orang bisa dengar!" Revan menekan tombol volume hingga menunjukkan batas maksimum, lalu meletakkan ponselnya di depan Justin. "Pak Revan, keluarga Saputra bersedia memindahkan rumah lama kami demi Proyek Kota Masa Depan kalian." Suara Pak Rafa yang berat pun terdengar memenuhi penjuru ruang tamu. Revan menatap keluarga putra kedua dengan bangga. "Terima kasih, Pak Rafa, sudah mau melakukannya demi aku dan ... " "Tolong Pak Revan jangan salah paham! Aku bersedia demi ungkapan rasa terima kasihku kepada Pak Justin! Tolong sampaikan kepadanya kalau aku ingin mengundangnya dan istrinya makan malam bersama saat mereka ada waktu." Pak Rafa yang sangat sibuk itu pun langsung menutup telepon tanpa basa-basi lebih lanjut. Ekspresi Revan sontak terlihat kaku dan kikuk. Keluarga putra sulung sangat marah. Mereka sama sekali tidak menyangka keluarga Saputra bersedia pindah demi Justin! "Ya ampun, mukamu tebal banget, ya!" ejek Irena sambil tertawa. "Kak Revan, kira-kira mukamu itu beratnya berapa kilo, ya?" "Irena, kamu in bicara apa sih!" tegur Jihan sambil berpura-pura marah, walaupun dia sebenarnya merasa senang. Kata-kata Pak Rafa itu seperti tamparan keras yang menghantam keluarga putra sulung. Ekspresi mereka semua menjadi tidak enak dilihat, segala jenis emosi negatif bercampur aduk di sana. Justin meraih pergelangan tangan Adelia, lalu berkata dengan ekspresi dingin, "Terima kasih sudah membantu menemukan Dokter Felix untuk mengobati kakiku, Kak Revan. Kuserahkan proyek ini kepadamu. Kakek, kami duluan ... " "Ayah, kapan-kapan kami akan menjengukmu." Pak Tommy merasa sangat marah dan kecewa melihat keluarga putra kedua yang bergegas pergi, jadi dia langsung kembali ke kamarnya tanpa menyantap makan malamnya. Ruang tamu yang semula ramai itu mendadak menjadi sunyi. Rasanya benar-benar aneh. Revan pun menggertakkan giginya dan berujar dengan wajah yang memucat menahan amarah, "Aku akan telepon Kevin sekarang juga untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi! Berani-beraninya orang kaya baru menghinaku!" Begitu telepon tersambung, Kevin langsung memuji Adelia dengan penuh semangat. Dia mengatakan betapa hebatnya istri Justin itu. Revan mencengkeram ponselnya dengan marah hingga buku-buku jarinya memutih, lalu memutuskan telepon. "Masa iya gadis kampungan itu sehebat ini?" tanya Dara dengan gelisah. "Pasti cuma kebetulan," jawab Revan dengan dingin. "Dia bahkan nggak lulus dari Universitas Hanara, tapi dia pasti bodoh kalau bahkan nggak tahu gimana caranya melakukan pertolongan pertama! Memangnya Ibu pikir murid Roman itu ada di mana-mana?" Dara akhirnya merasa lebih tenang. Brady Vijendra yang duduk di sampingnya pun berkata, "Kalau keluarga putra kedua nggak punya proyek lagi, itu berarti nggak akan ada yang memperebutkan harta warisan denganmu. Menurut Ayah, Kakek berniat mengumumkan kita, keluarga putra sulung, sebagai penerus keluarga Vijendra di pesta ulang tahun Kakek yang ke-70." "Sungguh?" tanya Revan dengan bahagia. "Yah, walaupun nggak diumumkan, hidup Justin juga nggak akan bertahan lama! Dokter Felix itu hebat sekali, dia bisa membunuh orang tanpa ketahuan." Revan dan Brady pun saling tertawa, tetapi niat jahat terselubung dibalik tawa itu. Malam harinya di vila keluarga Vijendra. Begitu tiba di rumah, para anggota keluarga putra kedua pun saling bertatapan dan tertawa. Jihan berkata sambil tersenyum kecil, "Kita memang kehilangan proyek untuk kali ini, tapi ada harapan buat kaki Jusitn. Yang penting keluarga kita sehat dan selamat. Aku sudah mengatur jadwal pengobatan dengan Dokter Felix." "Iya, kita nggak perlu memperebutkan hak waris atau apalah itu. Yang terpenting itu adalah kesehatan!" jawab Daffa, dia memang tidak tertarik dengan dunia bisnis. "Tapi, Justin, kok Kevin mau membujuk ayahnya memindahkan rumah lama demi kamu?" Justin menoleh melirik Adelia, lalu menjawab, "Waktu itu pas lagi keluar, Adelia secara kebetulan menyelamatkan Kevin yang pingsan." "Oh, gitu. Ibumu memang sudah memberi tahu Ayah sih kalau Adelia itu mahasiswa kedokteran Universitas Hanara, ternyata beneran, ya," sahut Daffa sambil mengangguk-angguk paham. Karena Adelia pernah menjadi mahasiswa jurusan kedokteran, wajar saja dia bisa memberikan pertolongan pertama dengan tepat. Keluarga putra kedua sama sekali tidak menganggap bahwa seorang gadis yang baru berusia 20-an tidak mungkin bisa apa-apa. "Bibi Eni juga memuji teknik pijatmu," kata Jihan dengan bangga. "Lalu, kamu sendiri 'kan yang meracik ramuan herbal itu untuk mengobati tubuh Justin? Kamu baik banget kepadanya." "Kakak Ipar hebat banget!" puji Irena dengan tulus sambil menggenggam tangan kakak iparnya. Adelia tersenyum dengan susah payah sambil menghindari pandangan Justin. "Ah, aku cuma beruntung saja." Justin menatap Adelia dengan senyuman dalam pandangannya. Adelia adalah bintang keberuntungannya. Rasanya seperti ada yang bangkit dari dalam dirinya. Dia tahu Adelia merasa kikuk, jadi dia harus mencari kesempatan ... "Ayo, hari ini Kakak Ipar tidur denganku, ya!" Irena pun menarik Adelia sambil berlari ke atas, "Orang lain punya kakak perempuan, tapi aku cuma punya seorang kakak laki-laki yang pemarah!" Justin mengulurkan tangannya hendak menghentikan Adelia, tetapi gagal. Pada akhirnya dia hanya mencium bau obat yang samar. Jihan dan Daffa pun tertawa. "Aduh, siapa ya yang minta bercerai begitu sadar ... " goda Jihan dengan jahil. "Yah, tapi karena kakimu sudah sembuh, saatnya Ibu dan Ayah pindah lagi untuk memberikan kalian ruang berduaan." Justin pun menjelaskan dengan putus asa, "Ini nggak seperti yang Ibu pikirkan." Justin pun hendak memberi tahu bahwa dia hanya perlu rasa percaya dengan Adelia. Jihan berniat menggoda putranya lagi, tetapi Bibi Eni yang mendengar suara bergegas menyelamatkan Justin. "Den Justin, Den Nathan datang. Dia sudah lama menunggu di ruang kerja." "Aku naik sekarang." Justin pun mengemudikan kursi rodanya keluar dari ruang tamu, lalu naik ke atas dengan lift. "Kita benar-benar mendapatkan menantu yang baik," kata Jihan dengan emosional. "Menurutku mereka cocok sekali!" timpal Bibi Eni. "Bu Adelia juga lebih cantik daripada ... " "Jangan pernah menyebut nama wanita jalang itu lagi!" tegur Jihan. Kepalanya langsung terasa sakit setiap kali membahas soal nama itu. "Baik." Bibi Eni pun urung menyelesaikan kalimatnya. Bu Adelia memang lebih cantik! Di ruang kerja. Nathan membaca setumpuk berkas dengan bosan, lalu menengadah saat mendengar suara pintu dibuka dan berkata, "Ya ampun, aku nyaris ketiduran. Kamu benar-benar memberikan proyek itu ke Revan?" Justin menutup pintu dengan lembut, jari-jarinya yang panjang terlihat pucat karena cahaya lampu. "Mana mungkin dia bisa sebangga itu kalau bukan karena kuberi?" Untuk menghancurkan seseorang, justru harus memberikan mereka kesempatan berbangga hati terlebih dulu. Nathan mengangkat kakinya sambil tertawa sinis. "Aku yakin sebentar lagi keluarga putra sulung akan menangis. Ada area berbahaya di lahan itu, makanya kamu rela memberikannya kepada mereka. Dengan begitu, Grup Viel bisa mendapatkan denda pembatalan kontrak." "Kamu keren banget, Justin! Aku suka caramu!" puji Nathan sambil mengacungkan ibu jarinya. Justin pun menunduk, membuat wajahnya tampak berpendar di bawah sinar lampu. "Aku nggak akan pernah lupa tentang kecelakaan mobil itu." Justin pasti sudah tidak bisa menggunakan kedua kakinya lagi jika bukan karena Adelia. Kondisi mentalnya pasti akan merosot jauh dan membuatnya jadi orang gila. Nathan pun mendekatkan kepalanya, lalu bertanya dengan nada jahil, "Gimana rencanamu untuk balas budi ke Adelia? Untuk sementara ini 'kan kamu nggak mungkin memberikan tubuhmu." "Apa yang ada di otakmu cuma hal mesum kayak gitu?" sindir Justin sambil menatap Nathan dengan dingin. "Apa benar berita di luar sana yang mengatakan kalau kamu jadi mandul gara-gara kecelakaan itu? Kamu nggak merasa tertarik dengan istrimu?" Omong kosong Nathan itu membuat ekspresi Justin menjadi dingin. Nathan pikir dia sudah menyinggung batas kesabaran Justin, jadi dia langsung menepuk mulutnya dan mengalihkan topik, "Kamu nggak takut keluarga putra sulung tahu siapa dia kalau dia terus mengekor di sisimu?" "Nggak." Justin pun menjawab dengan nada santai, "Keluarga putra sulung itu terlalu sombong dan percaya diri. Felix itu mata-mata mereka. Mana mungkin mereka menduga Adelia adalah murid Roman." Pernyataan ini terkesan agak sombong. "Tapi, dia dan keluarga Saputra ... " Nathan mendadak teringat betapa buruknya kondisi kaki Justin. Bahkan para dokter yang terkenal hebat pun tidak bisa mengobatinya. Mana mungkin ada yang percaya? "Dia itu pernah belajar ilmu kedokteran, jadi nggak aneh juga 'kan kalau dia bisa mengobati orang lain? Aku akan menjaga identitasnya dengan baik, jadi kamu juga harus merahasiakannya." Nathan mengangguk, ini namanya menjaga sebuah kerahasiaan. Dia juga awalnya tidak percaya saat membaca hasil penyelidikan itu. Nathan bahkan memeriksanya berulang kali karena takut salah. "Paman dan Bibi juga nggak boleh tahu? Sampai kapan kamu mau menyembunyikannya dari mereka?" "Sampai aku bisa berdiri," jawab Justin sambil merapikan lengan bajunya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.