Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

"Emily, sudah, ya. Jangan berpikir macam-macam ... " Ethan jarang memiliki inisiatif untuk bersikap lembut dan mungkin dia tidak menganggap serius kata-kataku. Saat dia ingin meraih tanganku lagi, aku pun langsung menepisnya. Aku masih marah padanya karena gejolak emosiku yang sedang meluap. Namun, aku juga merasakan sedikit sensasi tidak nyaman di perutku. Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. "Aku dan dia sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi," ujar Ethan dengan suara lirih. "Lagi pula, kita berdua sudah menikah ... " Saat berbicara, dia memelukku dari belakang. "Kamulah istriku." "Lepaskan aku!" Aku berusaha melepaskan diri, tetapi dia malah memelukku lebih erat. "Tolong jangan marah, ya?" Aku terkejut dengan sikap Ethan yang tiba-tiba menjadi lembut seperti ini. Selama ini, akulah yang selalu berusaha membuatnya senang, tetapi sekarang dia yang berusaha membujukku ... Dulu, hal kecil seperti ini sudah bisa membuatku merasa sangat bahagia hingga berhari-hari lamanya. Namun, saat ini kebahagiaan itu tidak bisa kurasakan lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Avery sudah cerai dengan suaminya." "Jangan bercanda," sahut Ethan dengan nada tidak percaya. Aku pun segera menunjukkan unggahan yang ada di media sosial Avery sambil berkata, "Lihat saja sendiri!" Ethan hanya melirik sebentar, lalu kembali memelukku. Dengan suara tenang, dia berkata, "Ya sudah. Biarkan dia menjalani kehidupannya sendiri dan kita pun juga sama." Aku menatapnya dengan ragu-ragu dan tidak yakin dengan apa yang baru saja dia katakan. Apakah aku sudah terlalu curiga dan salah paham padanya? Saat pikiranku sedang melayang, aku mendengar suara Ethan melalui interkom. Dia memanggil sekretarisnya untuk datang ke ruangan. Aku pun langsung melepaskan pelukan Ethan saat melihat seseorang masuk. Dia pun tampak tidak keberatan dan langsung memberi perintah pada sekretarisnya, "Batalkan semua janjiku sore ini. Setelah itu, telepon Dokter Charles dari Rumah Sakit Emberton. Sampaikan padanya kalau kamu menelepon untuk membahas tentang janji yang sudah aku buat sebelumnya." Aku menoleh dengan kaget. Dokter Charles dari Rumah Sakit Emberton? Beliau adalah dokter penyakit dalam ternama di Kota Emberton! Sulit sekali bertemu beliau, apalagi membuat janji temu dengannya. Aku sudah mencoba berkali-kali, tetapi selalu gagal. Ethan menatapku dengan bingung, lalu bertanya sambil tersenyum tipis, "Kenapa? Bukannya hari ini kamu mau jenguk ibumu?" "Ya ... tapi, apa janji temu dengan Dokter Charles itu untuk ibuku?" Ethan mengangguk. Aku menarik napas dalam-dalam dan merasa terharu sekaligus sedih ketika melihat bahwa Ethan masih ingat tentang ibuku. Kami berdua sudah menikah selama dua tahun, tetapi pernikahan tersebut kami rahasiakan. Selain keluarga Matthew dan teman dekat Ethan, hampir tidak ada orang yang tahu tentang diriku. Selama dua tahun ini, Ethan memperlakukanku dengan baik dan di depan orang lain, dia selalu menghormatiku sebagai istrinya. Setelah menunggu cintanya selama sepuluh tahun, menikah dengannya adalah kebahagiaan terbesar bagiku. Seharusnya aku bisa merasa puas dan bahagia ... Namun, apa saat ini aku terlalu sensitif? Meskipun Avery adalah cinta pertama Ethan, hubungan tersebut terjadi di masa lalu. Mereka berdua bahkan sudah sama-sama menikah. Jadi, kenapa aku masih khawatir? Apakah Ethan akan meninggalkanku untuk bersatu kembali dengan Avery? Namun, ibuku sangat senang dengan pernikahanku dan sekarang aku sedang mengandung anaknya Ethan ... Apa mungkin karena sedang hamil aku jadi lebih sensitif? Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun akhirnya berkata pada Ethan, "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu ... " Namun, sebelum menyelesaikan kalimatku, telepon Ethan tiba-tiba berdering. Aku mengikuti arah pandangnya dan melihat nama 'Avery' tertera di layar. Kata-kata yang ingin kuucapkan pun langsung tertahan di tenggorokan. Aku mendorongnya pelan dan melepaskan pelukannya. "Angkat saja." "Nggak usah." Ethan langsung mematikan telepon tersebut. "Kamu mau bilang apa tadi?" "Aku ... " Namun, sebelum sempat melanjutkan, teleponnya kembali berdering. Panggilan itu masih dari Avery. Ethan mengerutkan kening sambil menatap layar ponselnya. Wajahnya tampak kesal, tetapi dia tetap mengangkat telepon tersebut. "Halo, Avery? Ada apa?" Aku menunduk dan menghindari tatapannya. Mataku justru tertuju pada perutku ... Bayi yang dulu sangat kudambakan sekarang justru membuatku merasa sedih ... Tanganku refleks mengelus perutku, sementara aku mencoba mengendalikan emosiku. "Apa?" Ethan terlihat sangat terkejut. "Oke, aku mengerti. Jangan ke mana-mana. Aku akan segera ke sana!" Setelah menutup telepon, Ethan menatapku seraya berkata, "Avery kecelakaan. Aku harus pergi ke sana." Sambil bicara, dia mengambil kunci mobilnya dan bergegas keluar. "Sayang ... " Aku mencoba menghentikannya dengan raut wajah penuh keterkejutan. Tiba-tiba, Ethan yang sudah sampai di pintu seperti teringat sesuatu. Dia menatapku dengan ragu-ragu, lalu berkata, "Emily, nanti sekretarisku akan antar kamu pulang. Besok kita ke Rumah Sakit Emberton untuk jenguk ibumu, ya?" Setelah itu, Ethan pun langsung pergi. Aku menatap kepergiannya dan merasa sangat terpukul. Rasanya seperti disiram air es dan dinginnya terasa sampai ke tulang. Saat itu, aku ingin sekali tertawa. Ternyata ... Ethan tetap memilih Avery daripada aku! Dia meninggalkanku begitu saja ... Aku menunduk sambil menyentuh perutku. Untuk sesaat, aku berpikir bahwa mungkin akan lebih baik jika aku tidak melanjutkan kehamilan ini. Aku pun akhirnya berjalan keluar perusahaan seorang diri dan tidak membiarkan sekretaris Ethan mengantarku pulang. Di luar, foto Avery yang tersenyum cerah di layar LED seakan menertawakan keputusasaanku. Tidak jauh dari sana, aku melihat apa yang Avery sebut sebagai 'kecelakaan'... Mobil Maybach hitam berhenti di pinggir jalan dengan lampu darurat menyala. Ada sebuah van yang menabrak bagian belakangnya, tetapi tampaknya kerusakannya tidak terlalu parah. Tidak lama kemudian, Ethan datang dengan raut wajahnya yang terlihat khawatir. Ben pun langsung menghampirinya dan sepertinya sedang menjelaskan sesuatu. Avery juga keluar dari mobilnya dan terlihat kesal saat memegang dahinya. Kemudian, dia menghampiri Ethan dan mengeluh pada pria itu. Saat melihat interaksi pria tampan dan wanita cantik itu, mereka memang tampak seperti pasangan yang serasi. Perlahan, penglihatanku mulai kabur dan tanpa sadar aku pun menangis. Saat aku sedang menyeka air mataku, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingku. Seketika itu juga, pintu mobil tersebut terbuka dan sepasang sepatu bot militer hitam yang kokoh mendarat di tanah. Sosok tegap keluar dari mobil dan siluet kakinya yang berotot terlihat jelas di bawah sinar matahari. Sinar mentari musim panas menyilaukan mataku. Aku mendongak dan wajah tampan pria itu terpampang jelas di hadapanku. Alisnya tegas, matanya berbinar tajam dan memancarkan aura pemberontakan. Aku pun mengernyit. "Jayden Carter?" gumamku dalam hati. Aku ingat pria ini adalah sahabat dekat Ethan dan merupakan tokoh berpengaruh di kalangan elit Emberton. Dulu, mereka berdua terkenal dengan sebutan "Duo Tampan Universitas Emberton" saat masih belajar di Universitas Emberton. Namun, aku ingat dia bergabung dengan militer saat aku menikah dengan Ethan. Mengapa dia ada di sini? "Emily? Ternyata benar itu kamu." Jayden tersenyum tipis dan tatapannya agak menggoda. Namun, matanya yang gelap dan dalam seperti sumur kuno membuatku sulit menebak apa yang sebenarnya dia pikirkan. "Kenapa kamu menangis di sini sendirian?" "Aku nggak menangis ... " Tentu saja aku tidak mau mengaku kalau sedang menangis, apalagi di depan orang yang dekat dengan Ethan. Jayden hanya tersenyum, seolah tidak mendengar penyangkalanku. Dia pun melirik ke arah mobil yang kecelakaan, lalu kembali menatapku. "Mau pulang ke kediaman keluarga Matthew? Kebetulan searah, aku bisa antar kamu." "Nggak usah, aku ... " Belum sempat aku selesai bicara, Jayden menyela, "Bagaimana kalau aku telepon Ethan saja? Biar dia yang antar kamu pulang?" "Jangan!" Aku langsung menolak. Jayden tersenyum, lalu membuka pintu mobil dan bersandar di sana. Dia menoleh padaku dan berkata, "Kalau begitu, cepat masuk ke mobil." Aku merasa tidak punya pilihan lain selain menurut. "Aku nggak mau pulang. Aku harus ke Rumah Sakit Emberton." "Nggak masalah, kebetulan searah. Aku bisa mengantarmu." Aku terdiam mendengar jawabannya. Mobil kami pun melewati Ethan dan Avery. Aku pun tidak bisa menahan diri untuk melirik mereka. Saat itu, Avery tampak panik dan langsung memeluk erat lengan Ethan ... Aku segera mengalihkan pandanganku, tetapi jari-jari Jayden yang menggenggam kemudi menarik perhatianku. Tangannya terlihat kuat, tetapi juga lentik. Dalam hati, aku tidak bisa tidak mengakui bahwa Jayden memang diberkahi banyak kelebihan. Wajah tampan, keluarga kaya, pintar, dan masih banyak lagi. Pria ini terlihat sangat sempurna. Sama seperti Ethan, mereka berdua sangat beruntung dan dimanjakan oleh kehidupan. "Emily, bagaimana kabarmu?" Saat aku sedang melamun, tiba-tiba aku mendengar suara beratnya. Aku langsung mendongak dan bertatap mata dengannya. "Aku baik-baik saja," kataku sambil segera mengalihkan pandangan. Dulu, aku pernah menyukai Ethan selama bertahun-tahun. Jadi, aku cukup mengenal teman-temannya. Aku tahu Jayden terkenal sangat nakal dan sulit diatur. Keluarganya sangat berpengaruh, jadi dia bukan orang yang bisa disepelekan. Pengalaman bertahun-tahun di militer telah membentuknya menjadi pria yang karismatik dan berwibawa. Aura dingin yang melekat padanya membuatnya tampak begitu tegas, bahkan saat sedang bersantai. Jayden melirikku sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Tiba-tiba, matanya berubah gelap sekali seperti tinta hitam yang pekat. "Kamu masih sama saja seperti dulu, ya? Nggak bisa bohong ... " katanya. Aku terkejut dan menatapnya. "Maaf ... " Jayden tersenyum tipis. Raut wajahnya terlihat sopan, tetapi sorot matanya tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. "Tadi aku mendengar pertengkaranmu dengan Ethan." Pertengkaranku dengan Ethan? Aku terkejut dan langsung melihat ke arah sepatunya. Sepatu bot militer hitam! Kemudian, aku sadar bahwa bayangan hitam yang tadi berdiri di depan pintu saat aku dan Ethan sedang bertengkar ternyata adalah Jayden. Saat itu, dia pasti datang untuk bertemu dengan Ethan ... Namun, mengapa dia tiba-tiba pergi lagi? Ketika aku sedang melamun, Jayden menoleh ke arahku sambil tersenyum nakal. "Emily, apa kamu mau bercerai darinya? Aku bisa membantumu."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.