Bab 9
Jevan segera melepas jas, kemudian berjongkok dan menutupi tubuh Qiara yang telanjang.
Qiara menangis histeris, seolah-olah langit runtuh.
"Shania, keluar dari sini!" Jevan sangat marah. Dia tidak menyadari wajah Shania yang memucat.
Rafael sudah bisa mengendalikan amarahnya. Kemudian, dia bergegas memapah Shania sambil berkata, "Apa Anda nggak apa-apa?"
Shania menggigit bibir. Dengan sorot mata penuh amarah, Shania berkata, "Jevan, kamu benar-benar membuatku muak."
Shania mendorong Rafael. Dengan tubuh terhuyung-huyung, Shania pergi.
Jevan merasa dadanya sakit. Sorot mata Shania barusan seperti mengisyaratkan bahwa dia akan pergi selamanya.
Jevan merasa panik.
Rafael mengatakan, "Bu ... Bu Shania sepertinya mengalami cedera di pinggang yang parah."
Jevan tertegun sejenak.
Jevan teringat tadi dia menarik Shania dengan kasar tanpa pikir panjang. Dia pun terbayang ekspresi kesakitan di wajah Shania. Setelah itu, tidak peduli seberapa keras Qiara menangis, dia langsung bangkit berdiri dan mengejar Shania.
"Siska, aku ingin mengakhiri hubunganku dengannya lebih cepat. Aku benar-benar ... muak melihat wajahnya."
Shania bersandar di sudut lift. Dengan suara yang hampir tidak terdengar saat menelepon, suaranya terdengar tertekan dan terisak.
Dia tidak bisa kembali ke departemen proyek dengan penampilan yang begitu memalukan, hanya bisa menahan rasa sakit dan meninggalkan perusahaan, kemudian mengemudikan mobil ke rumah barunya.
Saat mendengar nada putus asa Shania, Siska segera mengambil tas dan kunci mobilnya, lalu berjalan keluar dengan cepat. "Kamu di mana?"
Shania memberi tahu alamatnya.
Siska mengatakan, "Oke, aku segera ke sana."
Siska bukan saja pengacara yang mengurus perceraian Shania, dia juga teman masa kecil Shania. Siska sangat mengenal Shania, meskipun Shania terlihat lembut, sebenarnya dia memiliki harga diri tinggi dan keras kepala.
Sejak memergoki Jevan selingkuh, Shania masih berusaha terlihat tenang sambil mengurus perceraian dan tidak pernah menangis di depan Siska walaupun kenyataan sungguh menyakitkan.
Jika tidak melukainya begitu parah, suara Shania tidak akan terdengar begitu putus asa.
"Jevan, dasar bajingan terkutuk!" maki Siska dalam hati.
"Ya, aku menunggumu."
Shania menutup telepon. Dia memejamkan mata sambil bersandar.
Rambut panjangnya menutupi wajah, menghalangi semua cahaya di sekitarnya, pikirannya seolah-olah terseret ke dalam pusaran hitam yang tak berujung, terus jatuh ke bawah ...
Entah sudah berapa lama.
"Sudah?"
Suasana yang awalnya hening, tiba-tiba Shania mendengar suara seorang pria yang jernih dan berat di dalam lift.
Shania tiba-tiba membuka mata dan berbalik.
Shania melihat seseorang yang mengenakan jas hitam dan kemeja putih. Perpaduan antara hitam dan putih menciptakan tekstur keren dan mewah. Shania menengadahkan kepala, matanya langsung bertatapan dengan mata seorang pria yang indah.
"Ternyata kamu ... "
Shania mengenali pria itu. Sambil bergumam, Shania menatap pria itu dengan mata terbelalak.
" ... "
Xander dibuat pusing oleh wanita yang sepertinya kehilangan separuh jiwanya ini.
Shania mengikutinya dari parkiran sampai masuk lift. Setelah itu, Shania berjalan ke pojokan lift dan tidak bergerak sama sekali.
Pria itu membungkuk ke depan.
Tubuhnya menjulang tinggi, tingginya kira-kira 192 sentimeter.
Shania refleks mengangkat tangan untuk mengadang. "Kamu mau apa ... "
Sebelum selesai bicara, pria itu memegang lengan Shania. Selanjutnya ... Pria itu mendorong Shania ke samping, kemudian menekan tombol lift.
Shania terdiam.
Baru saat inilah, kesadaran Shania benar-benar kembali.
Lift dari tadi tidak bergerak karena tombol lift belum ditekan.
Shania berdiri di depan tombol lift, sehingga pria itu tidak bisa menekan tombol.
Suasana menjadi canggung.
Benar-benar canggung.
Lift mulai naik.
Ketika lift naik ke lantai 5, Shania pelan-pelan menekan tombol sekaligus melihat lantai yang ditekan pria itu.
Lantai 46, lantai paling atas.
Shania memiringkan tubuhnya dengan canggung. Suasananya terasa aneh.
Saat itu suara ponsel di samping berbunyi. Terdengar suara pria mengatakan, "Ada apa? Hah? Ukuran pakaianku? Nona Shania yang tanya ... "
Shania menoleh dengan canggung. Saat ini, Shania merasa canggung hingga tidak bisa berpikir jernih
Shania menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya, "Nggak keberatan, 'kan?"
Ekspresi Xander terlihat tenang.
"Ting!"
Pintu lift terbuka.
Shania merasa terselamatkan, dia langsung keluar lift sambil memegang pinggangnya.
...
Saat Siska tiba, Shania berbaring di atas tempat tidur besar di kamar. Saat ini, sepertinya Shania sudah tenang. Dia tampak cantik saat berbaring di tempat tidur, tetapi sebenarnya hatinya sedang rapuh.
"Apa yang terjadi?" tanya Siska sambil berjongkok di samping tempat tidur.
Shania berusaha konsentrasi.
Kejadian canggung di lift telah menghilangkan kesedihan dalam hatinya, sekarang hatinya mulai tenang.
Shania menceritakan kejadian di kantor dengan nada tenang.
Siska benar-benar marah.
"Kamu masih kerja di Grup Mahesa, tapi Jevan sudah nggak sabar memasukkan wanita jalang itu ke kantor, bahkan mereka berbuat cabul di siang bolong. Nggak hanya itu, dia juga mendorongmu dengan kasar!"
"Apa Jevan sekarang benar-benar terobsesi dan nggak tahu malu hingga nggak mau menutupi perselingkuhannya?"
"Shania, mereka berdua terang-terangan menantangmu. Kamu yakin mau cerai?"
Shania bergerak.
Saat ingin membalik badan, Shania merasa pinggangnya sakit.
Shania memutuskan tetap berbaring, "Kamu tahu, aku memilih cara ini bukan karena aku takut padanya. Aku ingin memberitahunya bahwa akulah yang nggak menginginkannya lagi. Seorang pria yang kotor dan busuk seperti itu nggak akan membuatku terjerat, sebaliknya aku akan membuangnya seperti sampah."
Siska merasa sakit hati.
Siska mengelus kepalanya sambil berkata, "Katanya, kamu hebat. Kenapa kamu membiarkan dia menyakitimu seperti ini?"
"Hanya emosi sesaat," ucap Shania dengan tersenyum sinis. "Tinggal dua minggu lagi. Meskipun nanti mereka berdua telanjang bulat di depanku, aku nggak akan melakukan apa-apa."
"Nggak takut matamu rusak?"
"Setidaknya, mungkin aku merasa mual."
"Ya, aku juga akan mual."
Siska menemaninya sebentar. Setelah memastikan Shania baik-baik saja, dia pergi membeli salep untuk sakit pinggang Shania.
Langit di luar sudah malam.
Jevan mencari ke semua tempat yang biasa dikunjungi Shania, menghubungi semua teman-temannya, bahkan pergi ke rumah mertuanya.
Namun, dia masih belum menemukan Shania.
Siska adalah orang pertama yang Jevan hubungi, tetapi Siska menjawab tidak tahu.
Jevan menghubungi Siska untuk kedua kalinya ... Setelah dihubungi sebanyak 10 kali, Shania berkata, "Angkat saja, dia mungkin sudah tahu kamu pulang dari firma hukum sejak sore."
"Pria berengsek, dia baru cemas sekarang." Siska berjalan ke balkon dan mengangkat telepon. Siska berkata, "Jevan, bukankah harusnya kamu senang kalau Shania menghilang? Mulai sekarang, nggak ada lagi yang mengganggu hubunganmu dengan wanita jalang itu!"
Setelah mendengar kata-kata Siska, Jevan langsung yakin bahwa Shania sedang bersama Siska. Jevan berkata dengan suara serak, "Suruh dia angkat telepon."
"Aku nggak tahu dia ada di mana. Oh, mungkin saja Shania sudah nggak tahan dan bunuh diri di laut. Kamu mau mencarinya ke laut?"
Setelah itu, Siska menutup telepon.
Siska sengaja ingin membuat Jevan makin cemas.
Ekspresi wajah Jevan menjadi muram.
Ponsel Siska berbunyi lagi. Kali ini, Shania muncul dan berkata, "Aku saja yang angkat."
Siska menyerahkan ponsel kepadanya.
Shania mengangkat telepon dan berkata, "Jangan ganggu Siska, sebentar lagi aku pulang."
Jevan terdiam sejenak. Napas berat pria itu makin berat, lalu bertanya dengan hati-hati, "Kamu ada di mana?"
"Aku jemput kamu sekarang!"
"Bagaimana kondisi pinggangmu?"
"Masih sakit?"
"Huh ... " Shania tertawa, lalu berkata, "Jevan, sikap pura-puramu ini membuatku geli."