Bab 17
Shania membuka pesan.
Leo membalas. [Pada hari Jumat, saya menemani Pak Xander menemui klien di Kota Aria. Nona Shania boleh mengantar jas ke sana.]
Shania tertegun. "Hah?"
Sekarang, Shania menjadi bertanya-tanya.
"Xander mau bertemu denganku lagi?"
"Apalagi itu hotel!"
Hotel itu masih sepi. Meskipun menjerit sekeras apa pun atau ada peristiwa pembunuhan atau kebakaran, tidak akan ada yang tahu.
"Pak Xander ... mau melakukan apa?"
Shania tidak berani menebak macam-macam.
Bukan karena dia pengecut dan tidak berani mengambil kesempatan di depan mata, tetapi karena dia sulit memahami isi pikiran Pak Xander. Shania hanya fokus kariernya, tidak ingin terlibat hal-hal rumit dengan pria itu.
Setelah berpikir sejenak, Shania akan meniru cara yang sama, yaitu tidak membalas pesannya dulu.
Di parkiran lantai bawah.
Leo memasukkan ponsel ke saku dengan menghela napas.
Meskipun Pak Xander mengatakan tidak perlu memaksa Shania, Leo merasa bahwa Pak Xander tidak benar-benar bermaksud seperti itu. Lagi pula, Leo mendengar dari Jeffry bahwa Nona Shania yang berinisiatif melamar pekerjaan. Pasti ada kesalahpahaman antara keduanya, jadi Leo ... bertindak atas inisiatifnya sendiri.
Hanya dengan bertemu, mereka berdua bisa bicara baik-baik.
Namun, Nona Shania juga keras kepala.
Mobil Bentley keluar dari kompleks perumahan, berpapasan dengan mobil Ferrari yang datang melintas dari tepi jalan.
Jevan memarkir di tepi jalan, tepatnya di luar kompleks perumahan.
Dia tidak bisa menghubungi Shania, Shania juga tidak membalas pesannya, emosi Jevan hampir meledak.
Tidak lama kemudian, Jevan meminta anak buahnya mengirimkan daftar nama penghuni di kompleks perumahan Puri Mutiara ke ponselnya.
Namun, yang membuatnya terkejut bukanlah nama Shania, melainkan nama seorang pria yang tinggal satu gedung dengan Shania ... Xander Candrika?
"Apa dia adalah putra Keluarga Candrika?" pikir Jevan.
Jevan juga sudah dengar tentang kepulangan Xander.
Keluarga Candrika dikenal sebagai keluarga yang rendah hati. Anggota keluarganya jarang muncul di publik. Xander juga berada di lingkungan pergaulan yang berbeda dengan Jevan. Namun, Jevan pernah beberapa kali bertemu dengannya. Saat berumur 16 tahun, dia pernah melihat Xander menyendiri saat acara perjamuan.
Shania diam-diam membeli apartemen, bahkan satu gedung dengan apartemen Xander ... Apakah mereka berdua memiliki hubungan terlarang?
Apakah ini hanya kebetulan?
Jevan teringat dengan kejadian di lapangan golf.
...
Setelah berada di rumah barunya selama dua jam, Shania mengemudikan mobilnya keluar dari kompleks perumahan. Namun, dia melihat sebuah mobil Ferari yang familier dan langsung menginjak rem.
Jevan sedang merokok, asap berwarna putih mengepul di sekitar wajahnya.
Ekspresi Jevan terlihat menakutkan.
Shania langsung berpikir dengan cepat.
Saat Shania mengemudikan mobilnya ke arah Jevan, Shania sudah memikirkan strategi.
Shania berinisiatif turun dari mobil, lalu masuk ke kursi depan dan bertanya duluan, "Kenapa kamu di sini? Kamu membuntutiku?"
Jevan mengambil ponsel yang ada di atas dasbor dengan tangan yang sedang memegang rokok, lalu melemparkannya ke atas paha Shania. "Jelaskan."
Shania mengambil ponselnya. Dari layar ponsel yang menyala, Shania melihat nama pemilik kompleks perumahan Puri Mutiara lantai paling atas.
Shania mengembalikan ponselnya dan berkata, "Aku sudah kerja bertahun-tahun, apa salahnya aku membeli rumah? Aku membeli rumah dengan uangku, bukan uangmu."
Jevan menatapnya tajam dan tidak terpengaruh oleh ucapannya. "Shania, jangan mencoba mengelabuiku. Apa uang yang kupermasalahkan? Buat apa kamu beli rumah? Kenapa nggak memberitahuku?"
"Aku nggak perlu menjelaskan. Aku hanya ingin memiliki rumah yang benar-benar milikku. Apa salah memiliki rumah atas namaku?"
Saat itu, Keluarga Senjaya mengatakan bahwa Shania punya niat mengambil uang Keluarga Senjaya, lalu memaksanya untuk menandatangani perjanjian pranikah yang baru.
Jevan tertegun, lalu dia tertawa karena kesal. "Selama bertahun-tahun, aku nggak pernah pelit denganmu. Aku juga menghadiahkan satu set perhiasan untukmu. Apa masih kurang?"
Shania terdiam.
Jevan mengeluarkan dompetnya, mengambil kartu kredit emas dan kartu kredit hitam di dalamnya secara acak, dan melemparkan ke arah Shania. "Suka beli rumah? Belilah rumah atas namamu. Belilah sampai puas.
Shania tersenyum. "Pak Jevan sangat murah hati."
Mungkin dia berharap Shania harus terus menerima pengkhianatannya demi uang, seolah-olah Shania adalah sebuah robot yang tidak memiliki perusahaan.
Sepertinya, itu bagus.
Namun, Shania tidak mau hidup seperti robot.
Shania mengambil dompet yang terjatuh, kemudian menaruh semua kartu kreditnya kembali di tempat semula. "Sementara ini aku nggak mau beli. Kalau aku mau beli rumah, aku akan minta uang padamu."
Dia meletakkan dompet di atas kaki Jevan. Ketika ingin menarik tangannya kembali, Jevan menahan tangannya. Sambil menatap Shania, Jevan bertanya, "Apa kamu sudah nggak memercayaiku lagi?"
"Kamu baru sadar sekarang?" pikir Shania.
Shania merasa Jevan sangat menjengkelkan sekaligus imut. Dengan tersenyum, Shania berkata, "Nggak peduli aku percaya atau nggak, yang penting kamu bahagia."
Shania melepaskan tangannya.
Pada saat itu, telepon berbunyi.
Shania terdiam sejenak. Jangan-jangan Pak Leo yang menghubunginya karena Shania belum membalas pesannya.
Jevan menyadari wajah gugup Shania. Dengan tatapan tajam, Jevan berkata, "Kalau aku telepon, kamu nggak menghiraukan aku, tapi kamu malah terima telepon dari orang lain?"
Shania mengeluarkan ponselnya.
Muncul nama "Bu Wina" di layar ponselnya.
"Sialan!" pikir Shania.
Saat tahu yang menghubungi adalah ibunya, tatapan Jevan lebih tenang. "Angkatlah."
Shania berpikir hanya tersisa beberapa hari lagi, mertuanya khawatir dia berubah pikiran, jadi menghubunginya untuk memberi peringatan.
Shania mengangkat telepon. "Aku sedang bersama putramu. Apa kamu mau menyapanya dulu?"
Saat mendengar itu, Wina langsung menahan kata-katanya. "Nggak perlu, aku hanya ingin bertanya, apa kamu masih menginginkan tas yang kamu incar terakhir kali?"
"Mau. Semua tas di rumah sudah kukirim ke tempat perawatan, jadi aku kekurangan tas."
"Hm, datanglah ke rumah untuk ambil tas itu."
"Terima kasih."
Keduanya mengakhiri panggilan setelah percakapan singkat.
Jevan bertanya dengan ragu, "Sejak kapan kalian menjadi akur?"
Shania berkata, "Bukankah justru bagus kami akur? Apa kamu berharap aku terus-menerus bertengkar dengan ibumu?"
" ... "
Wanita ini pandai menggunakan kata-kata untuk membungkam orang dan mengaburkan inti permasalahan.
Emosi Jevan mereda. Sebelumnya, dia mengamati ekspresi wanita itu saat melihat daftar pemilik kompleks perumahan. Wanita itu sama sekali tidak melirik nama Xander. Selain itu, topik yang wanita itu bahas hanya seputar dirinya yang ketahuan membeli apartemen. Mengenai tinggal di gedung apartemen yang sama dengan Xander sepertinya memang hanya kebetulan.
Jevan berpikir bahwa Shania hanya ingin meluapkan emosi padanya, sehingga wanita itu melakukan hal tanpa sepengetahuannya.
Wanita itu mengira bahwa membeli sebuah apartemen kecil dengan uang sendiri sudah cukup menunjukkan keberanian.
Wanita itu juga meributkan masalah sepele.
"Aku antar kamu pulang." Jevan menyalakan mobil.
"Mobilku ... "
"Aku akan suruh orang membawa mobilmu ke rumah."
Jevan tidak memberi dia kesempatan untuk menolak atau melawan, dia langsung mengunci pintu dan mengemudikan mobilnya.
Tinggal beberapa hari lagi, Shania jadi lebih berhati-hati dalam bertindak.
Dia tidak keluar rumah sama sekali.
Pada saat yang sama, dia juga membayangkan reaksi Jevan saat tahu mereka sudah bercerai.
Pada awalnya, pria itu pasti marah besar.
Shania tidak mau melihat kemarahannya, jadi dia memutuskan pergi berlibur. Shania membutuhkan waktu menenangkan diri.
Jika semuanya berjalan lancar, Jevan lama-kelamaan akan menerima kenyataan. Bagaimanapun juga, "Si Manis" kesayangannya sangat ingin menjadi istrinya. Shania pergi tanpa cari keributan, seharusnya Jevan senang.
"Ada satu lagi," ucap Siska memperingatkan di telepon. "Kamu harus hati-hati dengan mertuamu. Dia belakangan ini suka membuat masalah, takutnya dia cari masalah denganmu."
"Tenang saja, sebelum mendapatkan akta cerai, dia nggak akan berbuat macam-macam karena takut aku berubah pikiran."
Shania menjawab dengan tegas.
Wina hanya akan menyebarkan kabar di luar bahwa dia sudah putus dengan putranya dan akan menikah dengan putri Keluarga Gustama. Jika dia ingin mengatakannya, ya silakan saja.
Pada hari Jumat sore, Shania sudah memesan tiket ke Eldora. Kemudian, Wina menghubunginya lagi.
Sudah tiga hari sejak telepon terakhir dari Wina.
Shania tahu bahwa ada yang ingin disampaikan Wina, tetapi Wina tidak berinisiatif menghubunginya duluan.
Shania mengangkat telepon. "Halo, Bu Wina."
"Mari kita bertemu untuk membuat kesepakatan."
"Suruh pengacaramu membahas masalah ini dengan pengacaraku."
"Shania, dari nominal dua triliun naik menjadi tiga triliun. Aku hanya memintamu datang untuk tanda tangan, kamu malah bersikap angkuh di depanku. Hari ini, kamu harus datang. Aku tunggu kamu di Hotel Aria. Hotel ini sepi, nggak akan ada yang mengganggu kita."
"Hotel Aria?" pikir Shania.
Shania teringat pesan dari Leo.
Xander hari ini juga pergi ke Hotel Aria. Kenapa semua orang pergi ke sana?