Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 16

Selesai makan, Shania duduk di sofa. Setelah beberapa kali menghapus dan mengetik ulang pesan dengan Leo, akhirnya Shania membatalkan niatnya. Shania berpikir, "Apa yang sebenarnya diinginkan Xander?" "Setelah memberi ukuran baju, dia sudah nggak mau jas barunya?" "Dia sengaja mempermainkan aku?" Dia tidak dapat memahami pikiran bos ini, dia juga tidak tertarik memahami pikirannya. Selain urusan jas yang belum selesai ini, mereka tidak ada hubungan apa-apa. Terdengar suara langkah kaki dari ruang tamu. Shania menutup laman obrolannya, kemudian menurunkan kakinya yang ditekuk. "Di mana pakaian, sepatu, tas, dan perhiasanmu?" tanya Jevan setelah masuk ke ruangan. " ... " Shania terkejut. "Jevan sudah tahu?" "Apa pria berengsek ini salah minum obat?" pikir Shania dalam hati. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Jevan tiba-tiba ingin makan malam di rumah. Kemudian, dia naik ke lantai atas dan memeriksa ruang pakaian? "Pakaian dan sepatu sudah dibawa ke laundry, sedangkan tas dan perhiasan sudah dibawa ke tempat perawatan," jawab Shania dengan tenang walaupun hatinya gugup. "Sebanyak itu dibawa semua?" "Ya, nggak boleh? Aku bosan, jadi aku merapikan ruangan. Pakaian dan sepatu di lemari sangat banyak, aku sendiri bingung mana yang sudah dipakai dan mana yang belum, jadi lebih baik semuanya aku bawa ke laundry untuk dibersihkan. Tas dan perhiasan juga, sudah lama dipakai, berlian jadi nggak berkilau, tas juga bagian tepinya sudah rusak, jadi selama ada waktu, aku bawa semua ke tempat perawatan dan perbaikan." Alasan Shania masuk akal dan buktinya kuat. Jadi, dia tidak membohongi Jevan sepenuhnya. Jevan merasa aneh, tetapi dia percaya setelah mendengar penjelasan Shania. Shania menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Kalau dipikir-pikir, setiap pulang ke rumah, dia pasti sibuk membersihkan rumah. "Nggak perlu buru-buru. Masih ada waktu, bereskan pelan-pelan." "Ini juga karena sebentar lagi aku pergi berlibur. Sebelum pergi, aku ingin membereskan rumah." Tidak ada yang salah pada kata-katanya, tetapi membuat Jevan merasa tidak nyaman. Saat melihat tas belanja warna biru, Jevan membungkuk dan mengambilnya. "Ini buat aku ... " "Bukan ... " Shania refleks berteriak untuk mencegahnya, dia juga menghalangi Jevan mengambilnya. Keduanya belum menyelesaikan perkataannya, tetapi keduanya terdiam pada saat yang sama. Ekspresi Jevan berubah dingin dan menakutkan. Shania merespons cepat dengan mengatakan, "Ini untuk ayahku." " ... " Jevan berkata dengan nada kecewa, "Kamu beli untuk ayahmu, apa nggak kepikiran beli untukku?" Shania bertanya balik, "Kamu butuh jas?" "Heh, mungkin jas yang ditinggal di rumah Qiara lebih banyak daripada di rumah," cibir Shania dalam hati. Jevan terdiam. Shania mengabaikannya. Kemudian, Shania mengangkat jas yang ada di sofa, mengenakan sandal, lalu keluar dari ruang tamu dan berlari ke atas. Shania mengunci diri di dalam ruang kerja. Tidak lama kemudian, dia mendengar suara mobil yang melaju pergi. Shania menghela napas lega. ... Hari berikutnya adalah hari Minggu, cuacanya sangat cerah. Shania pergi ke SMA tempat dia dan Jevan dulu bersekolah. Hari ini, sekolah libur, tetapi dia masih melihat ada satu atau dua anak yang mengenakan seragam sekolah di jalanan. Shania berjalan santai sambil mengunjungi tempat-tempat penuh kenangan bersama Jevan. Kelas tempat mereka duduk bersama, jalan setapak dengan deretan pepohonan yang mereka lewati, taman bermain tempat mereka berlari bersama... Akhirnya, Shania datang ke hutan bambu di sebelah danau buatan. Di sana, dia menggali kotak yang mereka kubur bersama di pojokan yang tersembunyi. Pada malam sebelum ujian masuk universitas, Jevan mengajaknya ke sini. Saat itu, suasana sangat gelap. Mereka menggunakan lampu ponsel sebagai penerang, kertas diletakkan di atas lutut untuk menulis. Jevan berkata, 20 tahun kemudian, mereka berdua harus datang ke sini dan membuka kotak bersama. Cahaya yang lembut menyinari matanya, lebih terang dari bintang-bintang. Shania tersenyum lega, lalu mengambil kapsul miliknya dari dalam kotak. "Selamat tinggal, Jevan," ucap Shania dalam hati. ... Pada saat yang sama, Jevan sedang berada di ruangan kantor manajer departemen proyek. Jendela tirai ditarik, pintu juga tertutup. Orang-orang di departemen proyek semuanya menahan rasa penasaran mereka. Jevan sedang memeriksa proposal proyek yang dibuat oleh Qiara sambil mengernyit. Qiara tidak menghiraukan suasana hati Jevan yang buruk, dia bersandar di bahu Jevan, sementara tangannya terus bergerak, berusaha menggoda Jevan. Qiara mungkin tidak secantik Shania, tetapi Qiara jauh lebih liar, menggoda, dan tahu cara menarik perhatian pria. Dengan sikap proaktif dan keberaniannya, dia berhasil membuat beberapa pria terpikat. Seorang pria bisa berhubungan fisik tanpa terpengaruh oleh perasaan. "Kak Jevan, apa kamu ingin di sini ... " "Diam!" Suasana hati Jevan sedang buruk. Jevan melepaskan tangannya, lalu meletakkan proposal proyek itu dengan keras di atas meja. "Jadi, ini adalah proposal yang kamu buat setelah begadang selama seminggu?" Jevan tahu bahwa pekerjaan Qiara tidak akan sebagus Shania, tetapi dia tidak menyangka Qiara sebodoh ini. Ini konyol dan tidak masuk akal! Jevan memijat dahi karena frustrasi. Jevan merindukan hari-hari saat Shania masih memimpin departemen proyek, yang membuatnya merasa terbantu. Setelah dimarahi, Qiara merasa diperlakukan tidak adil. Pada saat ini, ponsel Jevan berbunyi. Jevan melirik sekilas, kemudian pergi ke dekat jendela dan mengangkat telepon. "Katakan." "Nona Shania keluar lagi hari ini. Dia pergi ke sekolah SMA dan jalan-jalan di area sekolah cukup lama. Setelah dari sekolah, dia pergi ke Puri Mutiara. Puri Mutiara merupakan kompleks perumahan elite, pengamanan ketat, sembarang orang nggak boleh masuk." Orang yang mengawasi Shania pergi melapor kepada Jevan. Jevan makin merasa aneh. SMA? Kompleks perumahan? Tiba-tiba, matanya menjadi gelap dan tajam, "Kamu bilang selain pemilik, nggak boleh masuk? Bagaimana kalau dia punya kenalan di sana?" "Pemilik rumah sudah memberi izin, jadi boleh masuk." "Kirimkan alamat kompleks perumahan itu padaku dan terus awasi dia." "Baik." Jevan menutup telepon dengan kesal. Selingkuhannya di sini tidak becus membuat proposal proyek, sedangkan istrinya di sana bertingkah aneh. Jevan berbalik dan tidak menyadari bahwa Qiara sudah menghampirinya, Qiara melingkarkan tangan di leher Jevan sambil berkata, "Buat apa kamu pedulikan dia? Bukankah kamu sudah nggak mencintainya lagi?" Jevan menahan rasa muaknya. Dia menurunkan tangan Qiara, kemudian memegang bahu Qiara dengan erat sambil berkata, "Buat ulang proposalnya. Tolong seriuslah. Kalau masih bingung, tanyalah kepala departemen proyek." Setelah mengatakannya, Jevan pergi dengan ekspresi dingin. Qiara marah dan menghancurkan semua barang di kantor. "Tanya kepada kepala departemen?" "Aku disuruh tanya?" "Orang rendahan itu nggak layak mengajariku," pikir Qiara dalam hati. Tunggu sebentar ... Ketua proyek dulunya adalah anak buah Shania. Jadi, Kak Jevan meminta Qiara bertanya kepada anak buah Shania? Saat ini, Qiara memanggil ketua tiga kelompok dengan telepon internal dan memarahi mereka habis-habisan. Ketua kelompok satu, Sonya, tidak bisa menahan diri untuk berkata sesuatu dan malah ditampar. Dua ketua kelompok lainnya tidak berani menunjukkan emosinya. "Nona besar macam apa ini? Tindakannya seperti orang gila!" pikir mereka. ... Shania meletakkan kapsul waktu di salah satu rak di rumah barunya. Tidak semua barang dibuang atau dibakar. Dia tidak hanya menuliskan nama Jevan di sini, kehidupannya tidak hanya tentang Jevan. Ponselnya berbunyi, Shania menoleh ke ponselnya. Jevan! Apakah dia juga merasakan bahwa pernikahan mereka akan berakhir sehingga Jevan peduli lagi padanya? Shania tidak mengangkat maupun mematikan ponsel. Tidak lama kemudian, ponselnya berhenti berbunyi, tetapi dia mendapat pesan masuk. Shania membuka dan membacanya. Pesan itu bukan dari Jevan, melainkan dari Leo. "Apa majikannya memberikan petunjuk baru?" pikir Shania.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.