Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 9

Sebelum Marco bisa menjawab, Carina berkata, "Ayah, ini nggak ada hubungannya dengan Marco. Aku bosan di rumah dan ingin kerja. Marco menghormati keputusanku dan sangat mendukungku." Marco terdiam. Dengan demikian, Marco terpaksa harus mendukung Carina. Jika dia menyangkal, ayah pasti akan curiga ada masalah dalam pernikahan mereka. "Benar, Ayah. Carina dulunya memilih untuk tinggal di rumahku demi aku. Sekarang aku sudah berdikari dan mengambil alih perusahaan keluarga. Carina juga bisa mengejar cita-citanya." Marco hanya bisa berkata seperti itu. Michael tampak paham dan lega. Michael memberikan senyuman penuh kasih kepada Carina. "Ternyata begitu. Bagus kalau kamu kerja. Kamu dulunya sangat berprestasi, pasti bisa meraih kesuksesan. Ayah juga mendukungmu." Carina merasa terharu dan tersenyum. "Terima kasih atas dukungan Ayah. Aku akan menjenguk Ayah kalau ada waktu." "Anak muda sekarang sibuk kerja. Kamu istirahat saja kalau ada waktu. Ada perawat di sini, nggak perlu khawatir dengan Ayah." Michael melambaikan tangan. Lalu, Michael mengubah topik dan bertanya tentang Berlina, "Apa kamu sudah menjenguk ibumu akhir-akhir ini? Apakah dia baik-baik saja?" Tatapan mata Marco berubah. Marco berujar sebelum Carina sempat menjawab, "Ibu tinggal di panti jompo dengan lingkungan dan fasilitas terbaik di Kota Arlen. Perawatnya juga dipilih dengan cermat oleh Ayah. Apa lagi yang perlu dicemaskan?" Entah mengapa, Carina merasa nada suara Marco agak sarkas. Carina bertanya-tanya dalam hati, Marco sepertinya selalu tidak senang ketika Michael menunjukkan kepedulian terhadap ibunya. Michael menatap Marco selama beberapa saat. Dia perlahan berbaring. "Sudah sore, kalian pulang saja." "Oke, kami akan datang lagi minggu depan." Setelah itu, Carina dan Marco meninggalkan bangsal. Begitu keluar dari rumah sakit, Marco menoleh pada Carina yang wajahnya putih. "Ayo makan. Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Matahari terbenam mewarnai langit dengan warna oranye terang. Memang sudah jam makan. Carina tidak menolak karena mengira Marco ingin membicarakan tentang perceraian. Mobil Cayenne hitam parkir tak jauh dari sana. Marco membukakan pintu kursi depan dan meletakkan tangannya yang ramping di sisi pintu. Begitu Carina duduk, Marco menutup pintu dan masuk ke kursi penumpang. Mobil Cayenne melaju dengan stabil. Restoran Yurana adalah restoran yang sering dikunjungi oleh Carina dan Marco. Marco memilih kursi dekat jendela. Pelayan memberikan menu. Marco dan Carina tidak bisa makan pedas. Marco membuat pesanan seperti sebelumnya, yaitu makanan dengan cita rasa hambar. "Itu saja ...." "Tunggu." Carina memotong perkataan Marco. Carina mengambil menu di tangan Marco dan membuka beberapa lembar ke belakang. Carina dengan santai menyebutkan beberapa lauk. "Tambahkan ayam cabai hijau dan mapo tahu. Terima kasih." Pelayan mengambil menu dan berjalan keluar. Marco kebingungan. "Bukankah kamu nggak bisa makan pedas? Kenapa kamu tambah dua lauk itu?" Carina mengambil teh gandum di meja dan meminumnya. Carina menjawab dengan nada datar, "Aku paling suka makan pedas." "Kenapa kamu pernah nggak bilang sebelumnya?" "Kamu nggak bisa makan pedas dan marah kalau mencium bau cabai. Kakimu sakit sebelumnya, jadi aku selalu mengalah demi kesehatanmu. Aku nggak mau mengalah lagi sekarang. Tentu saja aku makan apa yang aku suka." Marco terdiam. Kecuekan Carina membuat Marco sedikit jengkel. "Kamu mengungkit soal kerja di depan Ayah hari ini, dan sekarang bahkan bertentangan denganku soal selera makan. Apakah berikutnya kamu akan mengumumkan pada semua orang bahwa kita sudah pisah rumah?" Marco menyeruput teh gandum dan terus mengernyit. "Kesabaranku terbatas. Aku nggak punya waktu untuk menemanimu membuat onar. Perhatikan batasnya. Kalau nggak, nasi sudah menjadi bubur." Carina awalnya mungkin tidak bisa menahan emosi saat mendengar kata "membuat onar", tetapi sekarang Carina sudah mempunyai rumah dan pekerjaan. Carina juga memiliki harapan untuk masa depan. Jadi, Carina tidak terlalu emosi. Carina berkata dengan tenang, "Marco, aku katakan sekali lagi, aku bukan membuat onar. Aku pasti cerai denganmu. Sekalipun kamu nggak setuju, aku tetap bisa menggugat perceraian setelah kita pisah rumah selama setahun." Marco menatap mata Carina yang indah dan bersih. Carina bersikap serius saat berbicara, tidak seperti bercanda. Akan tetapi, Marco tidak percaya Carina benar-benar ingin bercerai. Marco selalu meyakini bahwa Carina pindah keluar dari vila dan mencari pekerjaan untuk melampiaskan kesedihan, serta ingin mendapatkan perhatian darinya. Marco memang merasa bersalah pada Carina dan bersedia memakluminya, tetapi harus ada batasan dalam membuat onar. Lama-kelamaan, Marco juga akan jengkel. Marco mengernyit lagi. Marco berucap dengan jengkel, "Hubunganku dengan Rosa nggak melanggar batas. Aku nggak mau menjelaskannya lagi. Ibumu memang melakukan kesalahan. Aku mewakili ibuku untuk minta maaf dan memberimu kompensasi. Aku juga sudah menyuruh ibuku kembali ke kediaman besar. Apa lagi yang membuat nggak puas? Kenapa kamu terus mengotot?" Carina berkata dengan lugas, "Ibumu dan pujaan hatimu itu hanya perangsang. Nggak ada dasar cinta di antara kita. Apa artinya mengikat kita bersama secara paksa? Lebih baik saling melepaskan. Kamu bisa mengejar pujaan hatimu, sedangkan aku bisa mengejar kebebasanku." Apa yang Marco tangkap dari ucapan Carina adalah Carina memprotes bahwa dia tidak mencintainya. Benar juga, wanita mana yang bisa menoleransi suaminya tidak mencintainya? Marco berhenti mengernyit karena merasa dugaannya benar. "Meskipun aku nggak mencintaimu, kita sudah membuat kesepakatan sebelum menikah. Selain cinta, aku bisa memberimu kemakmuran dan kemasyhuran. Bukankah sudah begitu selama bertahun-tahun?" Carina terdiam. Carina kehabisan kata-kata. Rasanya seperti berbicara dengan tembok, mereka bahkan tidak sefrekuensi. Carina tidak peduli dengan cinta Marco. Apa yang membuat Carina kecewa terhadap Marco adalah dia tidak mendapatkan penghormatan dan pembelaan yang sepantasnya dimiliki oleh seorang istri. "Aku tegaskan untuk terakhir kali, aku pasti cerai denganmu." Tidak perlu berbicara panjang lebar. Tepat saat itu, makanan dihidangkan. Carina sibuk makan dan tidak menggubris Marco. Marco sangat jengkel. Dia merapatkan bibir, tidak ingin berbicara lagi. Tak sampai setengah jam, acara makan yang hening itu berakhir. Marco pergi membayar. Carina langsung berjalan ke pintu keluar restoran tanpa menunggunya. Sialnya, Carina berpapasan dengan orang yang dikenalnya di depan pintu .... Mereka adalah Henry dan Andrea.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.