Bab 9
Clarine yang tampak tampan memegang kemudi dengan satu tangan, melaju kencang di jalan. Audio mobil memutar lagu dari Aria yang berjudul "Api Pembalasan yang Membara di Hati".
Clarine tidak takut Steven menyelidiki tentang dirinya. Dia hanya tidak mengerti kenapa pria itu memperlakukan Clarine seperti bukan siapa-siapa maupun mempertanyakan tentang dirinya selama tiga tahun. Lalu, tiba-tiba pria ini penasaran tentang Clarine ketika pernikahannya sudah di ujung tanduk?
Ternyata pria itu tidak memiliki harga diri. Begitu kamu mengejarnya dan memperlakukannya dengan penuh perhatian, yang kamu dapatkan dari pria itu hanyalah penghinaan. Namun, begitu kamu bersikap cuek padanya dan menganggapnya seperti pria brengsek, dia malah langsung mendekatimu dengan bodoh.
Tiba-tiba Clarine melirik ke kaca spion mobil dan mengernyitkan dahinya.
Tak jauh dari belakangnya tampak sebuah mobil Lamborghini milik Steven yang tanpa henti mengejarnya!
"Mau mengejarku? Jangan harap."
Bibir merah Clarine melengkung ke atas dengan ekspresi jahat dan kakinya menginjak pedal gas penuh.
Suara di malam itu bagaikan sambaran petir yang mengarah ke kiri dan menghilang dalam sekejap mata!
"Cepat, ikuti dia!" desak Steven dengan penuh konsentrasi yang duduk kursi samping sopir.
Felix belum pernah mengendarai mobil secepat ini dan jantungnya hampir copot!
Setelah menyetir dengan susah payah, akhirnya bisa melihat lampu belakang mobil Clarine. Walaupun Steven memasang ekspresi datar, diam-diam dia merasa lega.
"Pak Steven, kemampuan menyetir Nyonya Clara hebat sekali! Nggak sia-sia tertempel stiker Toko Tahu Fujiwara ... " kata Felix seraya menghela napas dengan kagum.
"Toko Tahu Fujiwara apanya?" tanya Steven tidak paham seraya mengernyitkan keningnya.
"Lihatlah belakang Nyonya Clara!"
Wajah Steven tiba-tiba tampak kesal dan menakuti Felix hingga berkeringat dingin. "Aku salah ... Maksudku lihat mobil belakang Nyonya Clara!"
Steven melihat lebih dekat dan memang ada stiker berwarna putih di belakang mobil Bugatti.
Stiker itu tertulis "Toko Tahu Fujiwara AE86".
Agak lucu, sih.
"Apa Anda tidak tahu? Nyonya Clara sangat suka nonton anime, terutama anime 'Intial D'. Tiap kali saat saya melihat Nyonya, dia selalu menonton anime ini di TV ruang tamu."
Felix semakin antusias dengan berkata, "Saya tak menyangkanya karena Nyonya Clara begitu lembut. Saya selalu mengira Nyonya adalah orang yang lembut dan tak mampu menjaga dirinya sendiri."
Jangankan Felix, Steven pun tertipu oleh wanita ini.
Yang lebih membuatnya frustasi adalah Steven tak mengenal istrinya sebaik sekretarisnya sendiri!
"Wah! Nyonya Clara menambah kecepatannya!"
"Ayo cepatlah. Kalau nggak, aku akan potong gaji tahunanmu!" gertak Steven seraya menggertakkan gigi belakangnya. Wajah tampannya tampak canggung dan pucat bagaikan patung.
Felix memang takut gajinya dipotong, tetapi dia lebih takut kehilangan nyawanya.
Akhirnya, Clarine melakukan dua tikungan tajam nan indah berturut-turut sehingga Felix dan Steven tak bisa melihat lampu belakang mobil Clarine lagi.
"Hi, hilang ... " ucap Felix dan sekujur tubuhnya lemas.
Steven memukul jendela mobil dengan tinjunya dan urat di dahinya menonjol.
Clara, kenapa kamu harus berpura-pura padaku?
Sebenarnya siapa dirimu?
*
Di malam hari, Rio dan Gerry datang ke vila pribadi adiknya.
Di dapur terbuka yang luas, Rio dan Gerry sedang menumis dan memotong sayur. Sementara itu, Clarine mengunyah permen lolipop sambil menonton para pria tampan sedang memasak.
"Ok, Bram, tangkap!"
Clarine melihat pertempuran mereka dari layar dan bertepuk tangan dengan bangga.
"Dik, kamu hebat sekali," seru Gerry dengan matanya yang ceria. Dia adalah salah satu dari empat bersaudara yang paling ramah.
"Lihatlah, Prabu Baduga dari dunia pembantaian yang nggak pernah mengecewakan."
Clarine berlurut di atas kursi dan lengannya menopang permen lolipop yang berada di meja dengan sangat imut.
"Hei, jangan banyak omong. Mending kita main satu putaran dan aku akan mengajarimu cara menjadi orang yang baik."
"Terakhir kali Dik Clarine membuat masalah denganmu, kamu hampir kehilangan akunmu. Mending kamu nggak usah cari gara-gara sama dia," kata Rio sambil mengambil sepotong daging sapi dan memasukkannya ke dalam mulut Clarine.
"Njir ... Terakhir kali itu si Bram yang tiba-tiba memaksa keluar dari misi! Kalau nggak, kita pasti bisa menang!" kata Gerry tidak terima.
"Aku mau mulai masak. Dik Clarine, kamu alergi asap, jadi pergilah ke ruang tamu," kata Rio mendesak Clarine dengan lembut.
Clarine tertegun dan merasa ada ingus di hidungnya.
Clarine tidak berani mengatakan pada kedua kakaknya bahwa dirinya alergi terhadap asap dan menjadi pembantu di dapur rumah keluarga Octavian selama tiga tahun. Setelah mencium asap minyak selama tiga tahun, tangannya menjadi kasar hingga kapalan karena sering menumis. Perlahan dia juga menjadi kebal dengan asap minyak.
Kalau Clarine mengatakannya, Rio mungkin masih bisa menunjukkan belas kasihan karena yakin padanya, tetapi tiga kakaknya yang lain mungkin akan membuat seluruh anggota keluarga Octavian punah.
Clarine adalah anak kesayangan di keluarga Tanuwijaya. Dia tak pernah beres-beres rumah, memasak, maupun mencuci bajunya sendiri. Bagaimana orang dari keluarga Octavian bisa memperlakukannya begitu buruk?!
Namun untungnya, Clarine sudah kembali pulang dan tak ingin merendahkan dirinya lagi demi seorang pria yang tak akan pernah bisa dia dapatkan.
Saat itu, ponsel Rio berdering.
Rio buru-buru menyeka tangannya dan mengeluarkan ponsel dari celemeknya, lalu dia menatap Clarine dengan tatapan mata yang rumit.
"Clarine, nih mantan suamimu lagi."
"Cih! Apa dia sudah gila!"
Wajah Clarine memerah karena marah dan lolipop di mulutnya pun jatuh ke atas meja.
"Apa maksudnya? Apa Stevani selalu meneleponmu, Kak Rio?"
Gerry duduk di samping Clarine dan secara alami mengambil permen lolipop di atas meja, lalu berkata, "Nggak mungkin, deh. Bukankah sebelumnya kalian bertemu ketika menonton kembang api di Laut Sabit dan Stevani menganggapmu sebagai pacar yang tampan?"
"Ya."
"Anjir! Gimana reaksinya!" kata Gerry.
"Kenapa? Apa aku nggak pantas?" tanya Rio yang mengenakan celemek sambil tersenyum dengan ekspresi penuh kasih sayang.
"Mata Stevani tuh buta. Kamu nggak terlihat seperti cowoknya! Kamu jelas lebih pantas menjadi sosok ayah."
Saat ini kedua bersaudara ini mulai saling bercanda. Clarine benar-benar mau meledak.
Kalau ditambahkan satu mantan suaminya, mereka bertiga bisa membuat satu pertunjukan.
"Mau angkat?" tanya Rio.
"Nggak!"
"Angkat!"
Rio masih mendengarkan perkataan Clarine dan menekan tombol speaker.
"Aku mencari istriku," kata Steven dengan nada yang lebih natural daripada pagi tadi, bahkan ada sedikit rasa posesif.
"Sialan ... "
Emosi Gerry meledak-ledak, tetapi akhirnya Clarine membanting kepala Gerry ke meja.
"Pak Steven, sekarang Clara bukan istrimu. Kalian sudah bercerai," kata Rio dengan tenang untuk mengingatkan Steven dan bahkan dia mengganti panggilan untuk adiknya agar tidak terungkap.
"Dia tahu kalau sekarang dia masih istriku dan di hatinya juga," kata Steven dengan nada dingin hingga bisa membekukan seluruh dapur.
"Steven, kamu begitu agresif dan mengejar mobilku. Sebenarnya apa maksudmu?" ucap Clarine mematikan speaker dan menjawab telepon dengan tidak sabar.
"Ada yang ingin kukatakan empat mata bersamamu."
Clarine masuk ke sebuah kamar dan menutup pintu. Dia menarik panas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab telepon itu lagi.
"Cepat katakan. Aku sibuk sekali."
"Kenapa kamu mengganti nomormu?" tanya Steven dengan nada dingin.
"Aku ingin memulai dari awal dan memutuskan hubunganku dengan masa lalu."
"Nanti Kakek akan kesulitan menghubungimu. Beri nomor barumu padaku agar aku bisa menghubungimu," kata Steven dengan sikap yang sudah sewajarnya.
"Kamu bisa menemukanku dengan sangat mudah. Telepon saja Pak Rio dan kamu bisa menemukanku," kata Clarine mencibir sambil mengangkat sudut bibirnya.
"Clara, apa ini caramu balas dendam padaku?"
Steven menggertakkan giginya dan mendesak, "Kalau kamu meninggalkanku, kamu nggak akan bisa hidup bersama Rio! Di hadapanku kamu dipanggil Clara Bernard. Di hadapan Rio, nanti di depan Rio kamu dipanggil siapa?"
"Steven!" Clarine marah dan mengepal genggamannya dengan erat.
"Kamu terlalu naif kalau mau balas dendam padaku dengan cara seperti ini. Kamu pikir aku peduli kamu mau bersama pria mana?"
Steven marah dan membalasnya dengan tertawa, "Aku hanya nggak ingin Kakek kecewa padamu. Aku nggak ingin Kakek menemukan kalau wanita yang dia hargai malah bertingkah nggak bermoral dan nggak tahu malu!"
"Walaupun kamu ingin melepaskan diri dariku, kuharap kamu periksa perkataan dan tindakanmu sebelum ulang tahun Kakek yang ke-80 dan jangan biarkan rumor menyebar ke telinga Kakek!"
Clarine sangat marah hingga tak bisa mengucapkan kata sepatah pun. Jadi, dia langsung menutup teleponnya.
Di dalam kegelapan, punggung Clarine menempel ke dinding dan napasnya terengah-engah, tetapi dia tak mampu meredakan rasa sakit karena ditusuk oleh Steven.
Kenapa masih begitu menyakitkan? Padahal sudah sepakat untuk membunuh perasaan pada Steven.
Clarine menggosok sudut matanya dan kekecewaan yang mendalam perlahan membuat matanya memerah.
"Steven ... Kenapa kamu bisa melihatku seperti itu ... Ternyata cintaku selama 13 tahun padamu itu salah ... "