Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 7

Di ruang pasien. Ketika Hendrik yang terkapar sakit melihat kedatangan Clarine, dia langsung kembali ceria dan matanya berbinar. "Clara! Cepatlah ke sini! Datanglah pada Kakek!" Clara dengan cepat mengubah sikapnya dan duduk dengan patuh di samping Hendrik. "Kakek, bagaimana perasaan Kakek? Ada yang terasa nggak nyaman?" "Kalau ada yang terasa nggak nyaman pun, Kakek akan langsung sembuh selama melihatmu!" Hendrik menarik tangan Clarine dan bertanya dengan cemas, "Clara, bocah nakal itu bilang kalian bercerai. Apa itu benar?" "Ya, Kek. Kami bercerai." Bulu mata Clarine yang panjang bergetar dan hatinya terasa hampa. "Bocah nggak berperasaan itu sudah dibutakan hatinya! Istri sebaik ini nggak mau dan malah ingin menikahi cewek biadab itu?!" kata Hendrik sambil berjuang untuk bangun dan melotot dengan kesal. Steven khawatir dengan kesehatan kakeknya, jadi dia tidak berani menanggapi sembarangan. "Kek, jangan marah. Aku yang nggak ingin melanjutkan pernikahan ini lagi. Aku dan Steven ... nggak cocok," kata Clarine dengan suara lembut untuk menghibur Hendrik sambil menepuk punggung Kakek Hendrik. Mata Steven mengecil dan menjadi hitam pekat. Ternyata wanita ini tidak mengeluh maupun mengadu di hadapan Kakek. Dia malah memanfaatkan kakek untuk membalaskan dendamnya pada Steven. Apa mungkin wanita ini ingin menggunakan cara yang tidak biasa ini untuk merebut hati Steven dan menyelamatkan pernikahan mereka yang sudah di ujung tanduk? "Clara, dari mana kamu mendapatkan kepercayaan diri untuk berpikir kalau aku pasti tertarik padamu?" pikir Steven di dalam hati. "Clara, apa kamu merasa teraniaya di rumah kami? Apa Mellisa bersikap jahat padamu?" tanya Hendrik dengan sedih. "Tanpa Kakek, aku sadar kalau pandangan hidupku dengan Steven nggak sejalan. Kami nggak bisa saling mencintai. Jadi, perpisahan ini adalah yang terbaik bagi kami berdua." Mata cerah Clarine memancarkan sedikit kesedihan dan berkata, "Kakek jangan salahkan Steven. Selama tiga tahun ini, kami sudah saling meninggalkan kenangan indah. Itu sudah cukup. Kami nggak menyesal." Steven mengerutkan keningnya. Ada perasaan yang melonjak di hatinya dan sulit untuk dijelaskan. Di dalam ingatan Steven, dia tidak ingat memiliki kenangan indah bersama Clara. Dia bahkan tidak memberinya upacara pernikahan resmi. Namun, karena dipaksa oleh kakeknya, Steven buru-buru mengurus surat nikah, lalu Clara datang ke rumah keluarga Octavian dengan membawa koper sederhana dan menjadi istri Steven hanya dalam nama. Apa wanita ini benar-benar merasa ada kenangan indah? Ironis sekali. "Clara ... Apa mungkin ... Aku yang salah?" Mata Hendrik menjadi basah. Dia menghela napas karena menyesal dan berkata, "Kakek sungguh berharap kamu bisa bahagia bersamanya ... Aku nggak menyangka bocah payah ini akan mempermalukan diriku, hah! Pada akhirnya, ini adalah kesalahan Kakek karena nggak memperlakukanmu dengan baik." "Jangan bicara seperti itu, Kek. Takdir selalu datang dan pergi. Aku benar-benar ikhlas. Sungguh." Setelah 13 tahun cinta buta pada Steven, kini Clarine mengikhlaskannya. Tuhan tahu seperti apa rasa sakit yang sudah Clarine rasakan selama ini. Namun, Steven sudah membulatkan keputusannya. Kalau Clarine terus terhubung dengannya, harga dirinya akan hilang. Clarine tidak ingin menjadi wanita yang kejam dan menjijikkan hanya demi mendapatkan sedikit cinta dari seorang pria. "Xavier, cepat siapkan hadiah ulang tahun untuk menantu cucuku!" Pak Xavier buru-buru mengenakan sarung tangan putih dan mengambil sebuah kotak perhiasan beludru merah yang cantik. Kotak itu dibuka dan di dalamnya hanya terdapat sebuah gelang gelang giok koleksi khusus yang sempurna tanpa cacat! Clarine bisa menilai barang berharga. Sekali lihat saja, dia tahu bahwa itu adalah barang turun-temurun yang setidaknya berumur seratus tahun! "Kakek, bukankah itu milik Nenek ... " ucap Steven terkejut ketika melihat gelang itu. "Ya, ini adalah tanda cinta yang kuberikan pada nenekmu saat itu. Ini adalah harta yang diturunkan oleh nenek moyang keluarga Octavian kita yang diturunkan pada kakek buyutmu." Ketika Hendrik berbicara, dia mengambil gelang tersebut dan menatap ke arah kilauan cahaya. Sorot matanya tampak lembut dan berkata, "Sebelum nenekmu meninggal, dia memberitahuku kalau di antara semua perhiasannya, ini adalah gelak giok favoritnya. Kuharap aku bisa memberikan gelang ini pada menantu cucuku yang memuaskan di masa depan." "Sekarang nenekmu sudah meninggal. Aku akan memberikan ini pada Clara yang paling kusukai. Hanya dialah yang pantas mendapatkan barang sebagus ini." "Nggak bisa, Kek. Ba, barang ini terlalu berharga. Apalagi kami sudah bercerai ... " kata Clarine sambil mendorong hadiah itu dengan cemas. "Meskipun kamu dan Steven tidak bersama lagi, kamu tetaplah menjadi satu-satunya menantu cucu yang kuakui!" Kakek langsung geram begitu melihat Clarine tidak mau menerimanya dan berkata, "Kalau kamu nggak mau, aku buang saja!" "Jangan!" Clarine buru-buru meraih tangan kakek. Hatinya gemetar ketakutan dan menambahkan, "Aku ambil. Terima kasih, Kakek!" "Duh! Anak yang baik!" Hendrik memasangkan gelang itu ke tangan Clarine. Clarine terlahir dengan kulit yang mulus. Dengan gelang berwarna hijau transparan, gelang giok itu tampak lebih bersinar di tangannya yang seputih salju. Steven belum pernah melihat tangan Clarine dengan cermat. Sekarang setelah dilihat lebih dekat, tangan Clarine tampak putih, lembut nan mulus. Namun, dengan gelang yang berkilauan membuat tangannya benar-benar indah. "Dasar bocah nakal. Apa yang kamu berikan pada Clara untuk hadiah ulang tahunnya?" tanya Hendrik tidak senang. "Kakek, Steven ... sudah memberiku hadiah yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup." Steven diam-diam mengepalkan genggaman tangannya dan bibir tipisnya mengerucut hingga memucat. Pada hari ulang tahun Clara, Steven benar-benar memberikan "hadiah ulang tahun" untuknya, yakni surat cerai. "Clara, sarkasme darimu benar-benar hebat!" kata Steven di dalam benaknya. "Clara, apa perceraianmu dan Steven sungguh ... Nggak bisa didiskusikan ulang?" tanya Hendrik yang masih belum menyerah. "Kakek ... " Clarine memegang tangan Hendrik dengan lembut untuk membujuknya, lalu berkata lagi, "Kalau Kakek benar-benar menyayangiku, Kakek harus mendukungku dan membiarkanku menjalani kehidupan yang kuinginkan. Oke?" "Duh! Karena masalahnya sudah menjadi bubur, Kakek nggak bisa apa-apa lagi. Kakek hanya memintamu untuk menunggu sampai ulang tahun Kakek ke-80 selesai, baru kamu bisa pergi? Hanya tersisa beberapa hari lagi," kata Hendrik memaksa Clarine untuk tetap tinggal dan enggan melepaskannya. "Kakek, mana pantas," kata Steven dengan suara yang dalam dan tegas seraya mengerutkan keningnya. "Kenapa nggak pantas? Apa pantas kamu membawa anak dari keluarga Liam datang untuk memberi penghormatan padaku dan diperkenalkan sebagai menantu cucuku?! Mellisa dan keponakannya ingin mengendalikan semua pria di keluarga Octavian dan melakukan apa pun sesuka mereka! Kamu wujudkan saja sana impian mereka!" Hendrik sangat kesal sampai menggebrak kasur dengan keras. "Kalau kamu masih menganggap aku sebagai kakekmu, dan ingin aku hidup dua tahun lebih lama, menjauhlah dari perempuan keluarga Liam! Kuberi tahu padamu, sampai mati pun aku nggak pernah menganggapnya!" ... Di luar pintu, Rachel berjalan ke sana dan ke sini dengan cemas. Dia menggertakkan giginya dan menghentakkan kakinya dengan kesal. "Jangan jalan seperti itu. Kepalaku pusing." Mellisa mengusap pelipisnya dan menggeleng kepalanya seraya berkata, "Kamu nggak bisa mengendalikan emosimu. Kamu 'kan sudah tahu sikap kakek tua itu padamu sejak lama. Padahal dia sudah bau tanah, jadi dia bisa berapa lama lagi menahan Steven darimu? Kamu hanya perlu menggenggam erat hati Steven. Itu sudah cukup." "Walaupun begitu, kalau dia nggak mati, dia nggak bakal mengakuiku. Akhirnya, aku nggak bisa menikahi Kak Steven secara terang-terangan!" kata Rachel dan segera menutup mulutnya, lalu melihat sekeliling dengan gugup. "Saat itu, kakek tua itu juga menolak aku menikahi keluarga ini dengan keras, tapi apa yang bisa kulakukan? Toh pada akhirnya aku masih bisa menikah dengan pamanmu dengan cara yang menawan." Mellisa mengangkat kuku yang baru dimanikur untuk mengaguminya dan berkata, "Tiap manusia yang punya hati pasti akan luluh. Toh itu adalah cucunya sendiri. Selama Steven mendukungmu, mau bersikeras pun, pasti suatu hari nanti Kakek Tua itu akan luluh hatinya!" Rachel memikirkannya dan emosinya jauh lebih tenang. Saat ini, akhirnya pintu ruang pasien terbuka. Pak Xavier mengantarkan dua pasangan muda itu keluar. Rachel buru-buru menyingkirkan pemikirannya dan menyambut mereka dengan lembut. Tiba-tiba mata Rachel mengecil dengan tajam! Gelang giok di pergelangan tangan Clarine begitu indah sehingga membuat Rachel sulit mengalihkan pandangannya dari gelang itu. Keindahan gelang yang ada di pergelangan tangan Clarine jauh lebih kuat daripada warisan keluarga yang lain! Padahal ketika Clarine baru masuk ke dalam belum ada, tetapi begitu keluar dari ruangan sudah ada. Siapa lagi kalau bukan karena pemberian lelaki tua itu?! Rachel sangat cemburu hingga wajahnya tampak begitu kesal. Tiba-tiba dia memikirkan rencana licik dengan menabrak Clarine. "Ah!" Sebenarnya Rachel ingin berpura-pura kakinya terpelintir dan jatuh menimpa tubuh Clarine dengan menariknya, lalu mengambil kesempatan untuk menghancurkan gelang itu. Tak disangka Clarine menyipitkan matanya dan tubuhnya berpose dengan anggun. Rachel langsung jatuh tepat di hadapan Clarine dan jatuh mencium lantai! Kemudian terdengar suara "brak". Gelang yang dikenakan pada tangan Rachel pun hancur dan terbelah menjadi dua bagian!

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.