Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Teguh tertawa mendengarnya. Dia sendiri diperintah oleh gurunya pergi ke Kota Senggigi dengan maksud membalas budi. Kalau Rina yang terlibat dalam perjanjian pernikahan itu sendiri saja meminta perjanjiannya dibatalkan, tentu saja dia tidak ada masalah. Toh, dia juga dipaksa. Menatap Teguh yang terdiam, tersirat rasa kasihan dalam suara Rina. "Aku tahu membatalkan pernikahan ini adalah pukulan berat bagimu." "Tapi kamu juga bisa lihat kesenjangan di antara kita. Hidup kita nggak ada kesamaan sama sekali." "Asalkan kamu yang maju minta pernikahannya dibatalkan ke kakekku, aku bersedia memberimu uang. Jumlahnya cukup buat dihabiskan seumur hidup." "Pulanglah ke gunung dan pinang beberapa perempuan untuk menjadi istrimu. Lupakanlah perjodohan ini dan kamu bisa menjalani hidupmu baik-baik!" "Tapi ..." Rina berhenti sejenak. Ekspresi wajahnya semakin dingin dan suaranya juga jadi semakin tajam. "Kalau kamu menggangguku dan memanfaatkan kakekku untuk memaksaku, aku bersumpah, kamu nggak akan bisa hidup tenang!" Mengancam! Mengancam secara terang-terangan! Teguh jadi merasa agak kesal. Raja Serigala agung yang melanglang buana selama sepuluh tahun. Para pimpinan musuh dari timur bahkan bisa sangat ketakutan hingga kencing di celana begitu mendengar namanya. Sekarang sedang diancam seorang wanita! Selain itu ... Siapa yang minta kakek Rina menyelamatkan gurunya? Teguh menarik napas dalam-dalam. "Oke," jawabnya tenang. Melihat Teguh setuju dengan sangat terpaksa, wajah dingin Rina melunak sedikit. Huh! Rupanya pria ini sadar diri, tidak keras kepala mengganggunya. Dia memakai kembali kacamata hitam di wajah ovalnya dan mengambil tas LV-nya, bersiap keluar dari Kafe Lilian. "Kamu ikut aku ketemu Kakek sekarang. Nanti kamu yang bilang ingin membatalkan pernikahan." Berjalan berdampingan keluar dari kafe, orang-orang banyak yang menoleh kembali, ingin melihat Rina sekali lagi. Wanita secantik bidadari adalah pemandangan yang sangat langka! Sementara itu Teguh yang mengenakan pakaian biasa otomatis tidak dihiraukan. Sebuah Ferrari berwarna merah terparkir di depan kafe. Rina membuka pintu Ferrari, sontak pemandangan indah dari seorang wanita cantik di samping mobil yang cantik membuat orang-orang terpesona. "Masuk." Rina memerintah, lalu duduk di kursi pengemudi. Setelah Teguh duduk di kursi samping pengemudi, dia kembali memberi perintah, "Ingat, yang minta membatalkan itu kamu. Jangan sampai kamu bilang yang nggak ..." "Ding, ding, ding!" Suara deringan ponsel yang datang tiba-tiba menyela perkataan Rina. Rina segera mengangkat panggilan itu. Entah apa yang dikatakan orang di ujung sana, muncul raut cemas di wajah cantiknya. "Oke!" "Aku pulang sekarang!" Rina mengakhiri panggilan dan menjejakkan kaki di pedal gas dengan sekuat tenaga. Tubuh Teguh terhempas tanpa henti. "Nona Rina, ada apa?" tanyanya sambil mengeryitkan dahi. Rina tidak menjawab. Hingga Ferrari itu berhenti di gerbang kediaman keluarga Yulianto, akhirnya dia menoleh dan berkata pada Teguh, "Penyakit kakekku kambuh. Waktu masuk nanti, kamu nggak usah ngomong apa-apa." Mereka masuk rumah beriringan dan berjalan melewati koridor panjang menuju sebuah ruangan yang besar. Dalam ruangan besar itu, berdiri tiga orang lelaki paruh baya. Mereka adalah tiga putra keluarga Yulianto, bernama Zakir, Adi, dan Darya. Saat ini, mereka berdiri mengelilingi sebuah tempat tidur yang terbuat dari kayu cendana. Seorang lelaki tua tengah terkejang-kejang terbaring di atasnya. Dia adalah Yoga Yulianto, kepala keluarga Yulianto. Di samping tempat tidur ada satu lelaki tua lagi dengan jenggot dan kumis putih, berlagak seperti orang paling hebat sedunia. Dia sedang menusukkan jarum pada titik-titik berbeda di tubuh Yoga. Rina berjalan menuju sisi Zakir Yulianto dan segera bertanya, "Ayah, bagaimana keadaan Kakek sekarang?" Zakir menghela napas lega. "Untungnya, Pak Husada tiba tepat waktu dan menstabilkan kondisi kakekmu dengan akupunktur ..." Belum juga dia selesai berbicara. Dia lalu melihat Teguh yang berdiri di belakang Rina. Dia pun mengerutkan dahi dan bertanya, "Rina, siapa dia?" Rina melirik ke arah Teguh . "Ayah, dia yang pernah dibilang Kakek!" jawabnya dengan nada menghina. "Jadi dia?" Sorot mata Zakir penuh rasa tidak suka. Setelah mendengar tentang rencana ayahnya untuk menikahkan Rina dengan Teguh, dia pertama-tama meminta seseorang menyelidiki Teguh. Seorang pemuda miskin dari daerah pegunungan yang tandus, berkhayal bisa menikahi putri kesayangannya. Mimpi saja sana! Teguh mengabaikan Zakir dan memusatkan perhatian ke arah tangan Pak Husada. Teknik pengobatan Pak Husada memang cukup ahli. Sayangnya, akupunktur yang dia gunakan saat ini bukanlah metode pengobatan yang tepat, malah hanya akan memperparah keadaan Pak Yoga. Pak Yoga pernah menyelamatkan hidup gurunya dulu. Dia datang ke sini dengan maksud membalas budi, tentu saja dia tidak akan tinggal diam membiarkan Pak Yoga jatuh sakit. Pada saat ini, Pak Husada memutar-mutar jarum perak di jarinya dan bersiap menusuk titik akupunktur pusat kepala Yoga. Teguh segera menyela, "Kalau jarum ini ditusuk di sana, Pak Yoga nggak akan hidup lama." Suara tiba-tiba ini membuat orang-orang terpaku. Gerakan Pak Husada yang hendak menusukkan jarum pun terhenti. Dia berbalik dan memandang Teguh dengan kesal. "Tahu apa kamu? Beraninya kamu meragukan keahlian pengobatanku?" "Aku mengatakan yang sebenarnya, kenapa harus takut?" Teguh menjelaskan, "Pembengkakan energi dan darah di tubuh Pak Yoga disebabkan karena angin berlebih yang memerangkap meridian. Kalau jarum perak terakhir ini dipasang di titik puncak kepala, angin berlebih ini akan berkumpul di satu titik. Bisa-bisa nanti meridiannya meledak." "Terserah mau percaya atau nggak!" Wajah Pak Husada tampak tidak senang. "Bocah sok tahu, kamu mau beradu denganku? Kamu pikir kemampuanmu lebih hebat dariku?" timpalnya dengan nada dingin. "Pak Husada, jangan marah dulu." Zakir buru-buru berkata untuk mencari muka, lalu mengomeli Teguh, "Pak Husada ini dokter jenius yang terkenal di Kota Senggigi. Di luar sana, banyak orang-orang yang mengantre memohon pada Pak Husada untuk menyembuhkan mereka. Atas dasar apa kamu mempertanyakan kemampuannya?" Wajah cantik Rina juga berubah galak dan dia menatap Teguh dengan tajam penuh rasa tidak senang. "Teguh, kamu nggak berhak bicara di sini!" Teguh hanya mengedikkan bahu. "Aku cuma mengingatkan dengan maksud baik. Kalian mau percaya atau nggak, itu urusan kalian. Yang penting kalian jangan menyesal nanti," jawabnya datar. "Diam!" Zakir langsung naik pitam, telunjuknya menunjuk ke arah pintu. "Seseorang, usir dia dari sini!" teriaknya. "Tunggu." Pak Husada melambaikan tangannya mencoba menghentikan. "Kalau memang dia pikir dia lebih hebat dariku, biarkan dia tetap di sini dan lihat bagaimana aku menyembuhkan Pak Yoga." "Huh!" Zakir mendengus dingin. Karena Pak Husada yang mengatakannya sendiri, Zakir hanya bisa patuh. Kalau tidak disuruh berhenti, dia pasti sudah mengusir bocah nekat ini keluar. Tanpa pusing-pusing memedulikan Zakir, Teguh bersandar di bingkai pintu menyaksikan Pak Husada memasang jarum akupunktur. Pak Husada kembali memutar-mutar jarum terakhirnya. Setelah membakar mata jarum hingga merah, dia menusukkan jarum itu dengan lembut di titik akupunktur puncak kepala Yoga. "Ugh ..." Saat jarum perak itu ditusukkan di titik puncak kepala, Yoga mengerang lemah. Tak lama, tubuhnya berhenti mengejang dan wajah pucatnya kembali berwarna. "Astaga!" "Teknik pengobatan Pak Husada memang hebat!" "Memang sudah semestinya. Semua orang tahu kemampuan Pak Husada terbukti ampuh. Nggak bisa dibandingkan dengan orang-orang yang mau cari muka saja." Mendengar sanjungan ini, Pak Husada hanya membelai jenggot putihnya. Dia sudah lama berkecimpung di dunia pengobatan dan sudah terlalu sering mendengar pujian. Dia berbalik ke arah Teguh dan bertanya, "Bagaimana? Mau bilang apa lagi kamu sekarang?" Teguh yang bersandar di bingkai pintu melirik Pak Husada dan perlahan mengacungkan lima jari. "Pak Yoga hanya bisa hidup selama ini." "Lima hari?" Pak Husada tertegun sejenak, lalu mendengus dingin. "Bocah sok tahu, memang pandai buat keributan. Sekarang aku sudah mengobati Pak Yoga dengan akupunktur, nanti ditambah dengan obat cair, penyakit Pak Yoga pasti akan sembuh total. Bisa-bisanya kamu asal ngomong?" Teguh tidak menghiraukan Pak Husada. Dia pun mulai menghitung mundur. Dari lima jari yang diacungkan, satu per satu semakin berkurang. "Lima!" "Empat!" "Tiga!" "Dua!" "Satu!"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.