Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 10

Mobil itu melaju menuju Bahari Indah dan Teguh pun turun dari mobil. Hanum melambaikan tangannya pada Teguh. "Tabib Kromo, lain kali bertamulah ke klinik kakkeku kala senggang. Aku akan membuatkan secangkir teh yang enak untukmu sebagai ucapan terima kasih." "Pasti." Ketika kembali dan berada di depan pintu masuk rumah Rina, Teguh mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu. Krek! Pintu tiba-tiba terbuka. Paras elok Rina menatap Teguh yang berdiri di depan pintu. "Aku punya sistem keamanan di sini. Kalau kamu terlambat lima menit lagi, kamu harus tidur di depan pintu." "Ini pertama kalinya aku pergi ke Kota Senggigi, jadi mau jalan-jalan melihat sekitar," kata Teguh datar. "Masuklah." Rina berbalik dan duduk di sofa. Sepasang kakinya yang jenjang terangkat tinggi, membuat mata Teguh berbinar karena terpesona. "Besok, bangun pagi dan ikut aku ke rumah Kakek." "Setelah bertemu kakekku, kamu nggak boleh mengomentari apa pun yang ingin aku katakan." "Apa kamu mengerti?" hentak Rina dengan nada bicara yang tegas. "Baik." Teguh menyetujuinya. Baru setelah itu Rina berdiri dan langsung naik ke lantai dua. Begitu mengunci pintu kamarnya, Rina menerima telepon dari Zakir. "Rina, kamu sudah bilang ke Teguh mengenai hal itu?" "Jangan khawatir, Ayah." "Aku sudah bicara pada Teguh. Dia nggak akan ngomong sembarangan besok." Suasana langsung menjadi hening. Malam tiba. Sebelum tidur, Rina berulang kali memastikan jika pintunya sudah terkunci. Dia juga meletakkan alat kejut listrik dan semprotan cabai di samping tempat tidurnya. Keesokan harinya, di pagi buta. Rina membawa Teguh ke kediaman keluarga Yulianto. Mereka bertemu dengan Yoga yang sedang sarapan. Yoga melambaikan tangan ke arah Teguh. "Teguh, apa kamu sudah terbiasa tinggal di Kota Senggigi selama dua hari ini?" jawabnya dengan senyuman ramah. "Lumayan," jawab Teguh sambil balas tersenyum. "Bagus kalau begitu." Tiba-tiba saja, Yoga mengubah topik pembicaraan. "Teguh, aku meminta Rina untuk mengatakan sesuatu kepadamu. Bagaimana pendapatmu mengenai hal itu?" Teguh terdiam sejenak mendengarnya Mengenai hal apa? Rina tidak mengatakan apa-apa. Teguh menoleh dan melirik Rina. Rina pun berjalan menghampiri Yoga, menjawab, "Kakek, kemarin aku sudah membicarakannya dengan Teguh. Teguh bilang, dia nggak punya pengalaman kerja. Jadi, dia nggak mau jadi manajer." "Teguh memutuskan untuk cari pengalaman dengan menjadi asistenku di kantor dulu, baru kemudian membicarakan lagi tentang hal itu nanti." Sambil berkata seperti itu, Rina mengedipkan matanya pada Teguh. Teguh langsung mengerti apa yang dimaksud oleh Rina dan menyetujuinya. "Kakek Yoga, posisi ini yang paling cocok untukku saat ini. Setidaknya aku mendapatkan pengalaman kerja dulu." "Baiklah." Yoga mengelus jenggot putihnya, menekankan, "Untungnya sebagai anak muda, kalian punya ide yang bagus. Tapi, jangan kamu meremehkan cucu menantuku." "Aku mengerti." Wajah Rina yang cantik itu tiba-tiba merona dan dia berkata, "Kakek, kami pamit dulu ke perusahaan." Tidak lama kemudian, keduanya sampai di Grup Jagaraga. Di dalam kantor Presdir. Rina duduk di kursi bos. Sambil mendongak, dia berkata kepada Teguh, "Mulai sekarang, kamu bertanggung jawab atas kebersihan kantorku. Aku akan menggajimu 20 juta per bulan. Apa ada masalah?" "Nggak masalah," jawab Teguh. "Kalau begitu, kamu bisa mulai bersih-bersih sekarang." Rina membuka laci dan mengeluarkan sebuah tas dokumen. Setelah Rina meninggalkan kantor, Teguh mulai menjelajahi kantor tersebut. Sebagai seorang prajurit profesional, naluri Teguh berkata bahwa ada penyadap di kantor Rina. Setelah menjelajahi kantor Rina, Teguh akhirnya menemukan lima buah alat penyadap. Kemudian, dia menghancurkan semua alat penyadap tersebut. Setelahnya, Teguh berdiri di depan jendela prancis tinggi mengagumi Sungai Qupang yang berkelok-kelok di kejauhan. Teguh sangat suka berdiri di tempat tinggi dan melihat ke bawah. Karena berdiri di tempat tinggi, membuatnya bisa melihat lebih jauh. Siang harinya. Rina kembali. Dengan seorang wanita berseragam, berambut pendek. Wanita itu memiliki sepasang mata yang cerah dan penuh kewaspadaan. Aura yang kuat terpancar dari tubuhnya. Bagi Teguh, aura ini … Sangatlah familier. Hanya prajurit lama yang sudah bertempur di medan perang, akan memiliki aura semacam ini. Rina memperkenalkan, "Teguh, aku ingin memperkenalkan. Ini Sarah Wijayanto. Dia pengawal pribadi peraih medali emas yang dipilih ayahku untukku." "Sarah pernah menjadi juara turnamen bela diri wanita pada usia 18 tahun. Kemudian, pada usia 20 tahun, dia bergabung dengan pasukan khusus wanita di zona perang selatan." "Selama lima tahun pengabdiannya, Sarah sudah melaksanakan 20 misi yang sangat sulit. Dia telah dianugerahi tiga penghargaan tingkat pertama, lima penghargaan tingkat kedua, dan sembilan penghargaan tingkat ketiga." "Setelah pensiun, Sarah mendirikan tim pengawal wanita, yang khusus bertanggung jawab memberikan perlindungan pribadi yang nggak bisa dilakukan pengawal laki-laki." Rina menceritakan masa lalu Sarah secara gamblang. Nada suaranya mengandung ancaman yang sangat kuat. Jelas terlihat jika Rina sedang mengancam Teguh. Teguh hanya mengedikkan bahu, tanpa memasukkannya ke dalam hati. Bagaimanapun, keduanya hanya berakting saja. Rina tidak lagi menghiraukan Teguh. Dia melirik arloji di pergelangan tangannya. Sekarang sudah hampir jam 12 siang. "Sarah, aku akan membawamu ke rumahku terlebih dulu, untuk meletakkan barang-barangmu." "Nona Rina, tunggu sebentar." Sarah berkata kepada Rina, "Lantaran aku sudah menerima uangmu, aku harus bertanggung jawab atas keamananmu. Aku ingin memeriksa kantormu untuk melihat apakah ada alat penyadap." "Kalau begitu, terima kasih banyak." Rina merasa sangat puas dengan profesionalisme Sarah. Sarah memeriksa kantor Rina dengan cermat, tetapi tidak menemukan satu pun alat penyadap di sana. Sarah tidak tahu. Sebelum dia datang, Teguh sudah menyingkirkan semua alat penyadap di sana. Setelah memastikan tidak ada penyadap di kantor Rina, mereka bertiga kembali ke Bahari Indah. Di jalan. Sarah sedang memberikan wawasan tentang keamanan kepada Rina. Namun, tatapan Teguh selalu tertuju pada kaca spion. Dari saat mulai masuk mobil sampai sekarang. Teguh menemukan ada dua minibus yang mengikuti mereka dari belakang. Jelas, minibus tersebut bukan sekadar lewat saja. Ketika mereka hendak memasuki Bahari Indah, sebuah minibus menyalip cepat dan menghalangi jalan di depan mereka. Diinn ... diinn ... Rina membunyikan klakson sebanyak dua kali. Minibus tersebut tetap bergeming. Rina bersiap untuk mundur, mengambil jalan lain. Namun, sebuah minibus lainnya melaju dari arah belakang, ikut menghalangi jalan di belakang mereka.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.