Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Ketika tinggal beberapa sentimeter, Jason langsung mendorong Melisa. "Melisa, jaga batasan. Jangan lakukan hal-hal yang nggak sepantasnya." "Aku suruh sopir antar kamu pulang." Setelah itu, Jason mengabaikan Melisa. Jason melempar jas ke ranjang dan pergi membuka jendela. Lalu, Jason mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku, memasukkan rokok ke mulut dan menyalakan rokok menggunakan korek api logam. Kecuekan Jason membuat Melisa patah semangat. Melisa menatap Jason dengan sedih. "Jason, aku sudah begini, memangnya kamu masih belum paham apa maksudku?" "Aku sukarela." "Apalagi aku tunanganmu. Bukankah sudah seharusnya aku melakukan hal-hal ini?" Jason menjentikkan abu rokok yang dia pegang. Jason menatap Melisa dengan mata tenang beriak, sama sekali tidak ada hasrat bahkan jika Melisa telanjang di depan mata. "Melisa ... ada hal-hal yang bisa dilakukan, tapi bukan sekarang. Aku nggak berminat untuk itu." "Pakai bajumu. Kalau nggak mau pergi, suruh pelayan siapkan kamar tamu untukmu." "Jason ... kenapa kamu nggak menginginkanku?" Melisa melihat pria itu berjalan menuju ruang kerja tanpa menoleh ke belakang. Begitu pintu ruang kerja ditutup, kesedihan terpapar jelas di mata Melisa. Air mata Melisa mengalir turun. Melisa tidak bisa berkata-kata. ... Malam hari! Tidur Carla tidak nyenyak malam ini. Carla mengigau dengan ekspresi menderita, "Jangan ... jangan ke sini ...." "Ah!" Carla bangkit duduk. Dahi Carla dibasahi keringat dingin sehingga rambutnya menempel di pipi. Carla terengah-engah seraya memandang kamar yang gelap. Mendengar deruan angin di luar, sepertinya akan turun hujan. Kamar itu agak panas. Untunglah ... semua itu hanya mimpi! Carla bergegas pergi menutup jendela. Selama berhari-hari, Carla memimpikan hal yang sama. Carla bermimpi dirinya disiksa oleh seorang pria dan dikubur di tempat pembuangan sampah yang kotor dan bau. Rasa sesak itu membuat Carla sangat tidak nyaman. Carla haus sehingga pergi ke dapur untuk minum. Sesaat kemudian, jantung Carla yang berdebar perlahan menjadi stabil. Carla melihat jam, baru jam 3 lewat subuh. Carla masih harus bersekolah besok. Carla kembali berbaring dan tidur dalam penerangan cahaya lampu. Di tengah kelinglungan, Carla mendengar bunyi alarm jam setengah lima pagi. Dalam keadaan pusing, Carla pergi ke kamar mandi untuk mandi. Lima belas kemudian, Carla keluar rumah. Carla memakai seragam sekolah baru dan memikul tas, lalu berlari menuju halte bus. Pas sekali. Jika telat beberapa detik, Carla tidak akan keburu naik bus. Bus terpagi tidak terlalu ramai. Seperti biasa, Carla duduk di bangku dekat pintu belakang, lebih dekat untuk turun bus dan bisa menikmati pemandangan di luar jendela. Di halte berikutnya, entah ada apa hari ini, masuk sekelompok wanita tua. Carla buru-buru berdiri dan memberikan tempat duduk. Baru lewat tiga halte, bus itu sudah berdesakan. Sopir berseru, "Ayo, geser ke dalam!" Carla yang berdiri di dekat pintu belakang langsung terimpit ke pojok. Carla memeluk tasnya erat-erat. Saat bus berbelok tajam, Carla terhuyung dan tidak sempat berpegangan pada gagang sehingga terempas ke belakang. Di luar dugaan, Carla tidak terjatuh, melainkan ... menabrak dada yang kekar dan mencium aroma yang familier. Irvan! Carla menahan napas. Seketika, jantungnya berdebar dengan kencang dari biasa. Irvan memakai seragam hitam, menyematkan kartu sekolah di depan dada, menyisingkan lengan baju, menyandang tas di sebelah bahu, dan memegang pegangan di samping. Tinggi badan Irvan sekitar 180 sentimeter. Tatapan matanya yang tegas tertuju pada pemandangan di luar bus. Carla bertubuh mungil dan kurus, dengan gaya rambut ekor kuda. Dari jauh, Carla seolah-olah dilindungi secara menyeluruh oleh Irvan. Tangan Irvan yang terentang memisahkan Carla dari orang asing, memberi ruang kebebasan untuk gadis itu. Bus bergoyang-goyang sehingga Carla tidak punya tempat untuk berpegangan selain gagang yang dipegang oleh Irvan. Punggung mereka saling bersentuhan dari waktu ke waktu. Carla menundukkan kepala, tersenyum tanpa sadar. Carla mencium aroma yang familier dan bercampur detergen bunga. Akan tetapi, aroma itu membuat Carla merasa sangat tenang. Irvan adalah satu-satunya orang yang mendukung Carla tanpa syarat di kehidupan lampau, tidak peduli seberapa jahat Carla. Di kehidupan lampau, Carla sangat jahat. Akan tetapi, Irvan adalah satu-satunya orang yang berkata pada Carla, "Nggak peduli kamu menjadi seperti apa, kamu akan selalu menjadi mutiaraku!" Di kehidupan lampau, saat Irvan menjadi bos perusahaan internet yang bernilai triliunan, Irvan menghabiskan uang miliaran hanya untuk merayakan ulang tahun Carla. Jason pun tidak pernah melakukan hal itu untuknya .... Carla mengingat kembali apa yang telah terjadi di kehidupan lampau. Tanpa sadar, bus tiba di depan gerbang sekolah. Carla termangu, lalu turun. Carla berjalan dengan lambat, tetapi pria di belakang tidak kunjung melewati Carla, tetap mengikuti Carla. Saat hampir tiba di gerbang sekolah, Carla berhenti. "Irvan." Carla memberanikan diri untuk memanggil Irvan. Begitu Carla menoleh ke belakang, Irvan berjalan lewat dengan ekspresi kosong, seolah-olah tidak melihat Carla. Irvan berjalan dengan sangat cepat sehingga Carla tidak bisa menyusulnya. Saat Carla memasuki gerbang sekolah, Irvan sudah memakai manset piket merah dan berdiri di depan gerbang untuk memeriksa orang yang masuk dengan membawa kartu sekolah. Irvan sama sekali tidak berniat untuk menghiraukan Carla. Tampaknya itu karena ucapan Carla waktu itu sangat keterlaluan. Carla menundukkan kepala dengan sedih dan melangkah masuk. Di sepanjang hari itu di sekolah, Carla mencoba mencari kesempatan untuk berbicara dengan Irvan dan meminta maaf secara pribadi. Namun, Carla tidak menemukan kesempatan yang tepat. Pagi itu berakhir dalam ketidakfokusan. Pada siang hari ... Carla duduk di baris belakang saat ujian. Carla kebetulan dapat melihat pelajaran olahraga yang diikuti oleh kelas Irvan. Mereka sedang bermain basket di lapangan. Sesi pelajaran ini adalah ulangan mendadak berupa setengah lembar soal ulangan dengan durasi 25 menit. Tujuannya untuk menguji pengetahuan dan soal dasar matematika. Teman sebangku Carla mengingatkannya, "Carla, kamu sedang lihat apa? Cepat kerjakan soal, nanti sudah harus kumpul." Barulah Carla tersadarkan. Kertas ulangan itu bersih, sama sekali belum diisi! Carla segera memfokuskan diri dan menulis nama. Tiba-tiba .... Carla menyadari bahwa dia menulis .... Irvan Jonathan! Karmel yang menyadari hal itu memelototi Carla dengan mata lebar. "Carla, apa kamu sudah gila? Apa kamu tahu ini pelajaran siapa?" "Kenapa kamu tulis nama Irvan?" Carla dengan panik menghapus nama itu. Akan tetapi, tinta pena tidak dapat dihapus menggunakan penghapus pensil. Carla hanya bisa mencoret nama itu dan berusaha mengerjakan soal dalam waktu yang tersisa. Ketika Carla baru saja mengerjakan tiga soal pertama, sudah waktunya untuk mengumpulkan kertas ulangan .... Saat mengumpulkan kertas ulangan, hanya ada satu pikiran di benak Carla .... Mampus!

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.