Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 9 Godaan Kak Stella

Perkataan Stella melayang dari pikiran Hans karena teralihkan oleh pendekatannya yang agresif. Sejujurnya, kecantikan Stella jauh melebihi Isabell. Termasuk kepribadian dan bentuk tubuhnya. Apa lagi, Stella lebih dewasa. Di pemandian Hans bisa melihat lekukan menonjol Stella tanpa harus menundukkan kepala. Wangi parfum Stella bercampur aroma merangsang kelopak mawar dalam air. Sebagai pemuda yang bersemangat, mana tahan dia menghadapi godaan seperti ini. Hawa panas di perut Hans makin membara. Telinganya berdengung, perkataan Stella tidak masuk sedikit pun di kepalanya. Namun, tepat ketika dia sedang menikmati indahnya momen ini, pintu ruang Paviliun Merak tiba-tiba terbuka. Sebelum Hans sempat mencerna situasi, Stella tiba-tiba memeluknya dan berbalik ... Dalam pelukan ini, Hans tidak tahan lagi. Darah segar mengucur keluar dari hidungnya dan dorongan dari bawah perutnya sudah mencapai batas. Pada saat yang sama, Stella melompat keluar dari pemandian. Tangannya memegang sebuah pisau pendek entah sejak kapan. Hans yang masih di dalam pemandian tertegun. Apa yang terjadi? Mengapa pelayan di sini ingin membunuh Stella? Namun, dia segera tersadar. Setelah menyeka mimisannya, tangannya meraba-raba dasar pemandian. Hans juga ingin mencari semacam pisau pendek yang dipegang Stella. Meski dia tidak mengerti keadaannya, dia tahu bahwa Stella orang yang baik. Pasti orang yang datang adalah penjahat. Sebelum Hans menemukan senjata, dua pelayan berkemeja putih sudah bersimbah darah. Kak Stella sangat terampil! Wanita itu sangat terampil bertarung menggunakan pisau. Ayunannya berkecepatan tinggi dan lihai. Dua pelayan itu datang untuk menyambut kematian! "Eh?" Setelah menumpas penyerangnya Stella menoleh ke belakang. Punggung bertatonya terlihat jelas pada mata Hans. Wanita itu sangat gagah berani dan tubuhnya memancarkan keganasan. "Kamu cari apa?" Stella mengerutkan kening. "Aku mau cari pisau buat membantumu!" jawab Hans. "Nggak ada pisau di sana. Bukannya kamu sudah punya tombak?" ujar Stella dengan serius. "Tombak apa?" tanya Hans kebingungan. Stella seketika tertawa terbahak-bahak. Anak ini menggemaskan sekali. Stella tertawa lepas hingga dadanya kembang kempis. Suasana tegang pun sirna dalam sekejap. Stella mendekati pemandian dan berbisik di telinga Hans, "Kamu beneran punya, kok." "Aku ..." Hans akhirnya paham. Stella sedang menggodanya dan tombak yang diucapkan punya arti lain. Pria itu langsung tertunduk malu. Dia benar-benar kehilangan kendali. Lagi pula, siapa yang bisa tahan? Kak Stella sangat menawan. Di depan pintu paviliun, serombongan orang datang membawa parang, besi batangan, serta senjata lainnya. Mereka mengenakan seragam pelayan. Hans menatap semua ini dan merasa heran. Kak Stella sebenarnya siapa? Mengapa mereka kelihatan seperti orang-orang jahat? "Kak Stella, kamu nggak apa?" ucap salah seorang dari mereka. Dia adalah pria botak yang tadi. Ekspresinya terlihat geram. Stella melambaikan tangan dan tidak berkata apa-apa. Pria botak mengangguk dan seorang pelayan segera menyeret kedua mayat keluar dan menutup pintu. Setelah pintu ditutup, Stella pergi ke tempat istirahat sambil menutupi tubuhnya dengan handuk. Hans masih duduk di pemandian. Sebenarnya, tubuh bagian bawahnya sudah mereda sekarang. Bagaimanapun juga, dia baru menyaksikan seseorang dibunuh. Senafsu apa pun dirinya, rasa takut tetap tidak dapat dihindarkan. "Aku mungkin harus tinggal di sini dulu beberapa hari." Di tempat istirahat, Stella mengambil segelas anggur merah dan minum seteguk. "Aku minta seseorang buat mengantarmu pulang nanti." "Pokoknya, makasih." "Bukan apa-apa." Hans melambaikan tangan. Stella tersenyum dan menambahkan. "Kamu penasaran sama pekerjaanku? Kenapa mereka mau menculik dan membunuhku tadi malam dan hari ini?" Hans mengangguk serius sambil menatapnya. Stella mendesah. "Aku mengelola aset dan perusahaan suamiku yang sudah meninggal. Tapi ada orang yang mau merampasnya dari tanganku." "Aku baru dapat kabar penting yang mengancam nyawa lawanku. Lawanku panik dan berusaha membunuhku dengan segala cara." "Oh." Hans mengangguk dan mendesah dalam hati. Ternyata Kak Stella janda. Meski begitu, Stella masih terlihat muda untuk menjanda. Umurnya baru sekitar 25 tahun, bukan? Sayang sekali menjanda pada saat masih sangat muda. "Kamu anak baik, jadi aku nggak mau kamu terlibat ..." "Aku bukan anak kecil." Byur! Hans berdiri di pemandian. Akan tetapi, dia buru-buru duduk karena merasa tidak nyaman. "Hahaha. Ngakunya bukan anak kecil, tapi masih malu-malu." Stella tertawa terpingkal-pingkal. Baru setelah puas tertawa, dia berkompromi. "Oke, oke, kamu bukan anak kecil. Kamu pria dewasa, 'kan?" "Pulanglah dulu. Tunggu kerjaanku selesai, nanti aku temani kamu bersantai, ya?" "Aku ..." Hans menggaruk kepalanya. "Aku mau di sini membantumu. Aku juga bisa bertarung, kok." Stella menggeleng. "Nggak perlu. Kamu harus bekerja, 'kan? Kalau nggak berangkat kamu bisa kehilangan pekerjaan." "Tapi ..." Hans terus menggaruk-garuk kepalanya dengan cemas. "Menurutlah dan pergi kerja. Kamu nggak bisa membantu masalahku." Stella bangkit menuju tepi pemandian. Dia mengulurkan tangan pada Hans. "Ayo, naik." Jantung Hans berdebar-debar lagi dan dia refleks menerima uluran tangan Stella. Stella memegangnya dengan lembut dan Hans pun melangkah dari pemandian. Kali ini, Stella menatapnya dengan serius. Dia menarik handuk dari tubuhnya dan membantu menyeka wajah Hans. "Dengarkan aku. Aku sangat berterima kasih. Kalau nggak ada kamu tadi malam, aku mungkin ..." "Makasih." Sambil mengatakan itu, dia memeluk Hans dengan lembut dan menepuk punggung tegap pria itu. Namun, detik berikutnya, Stella kembali tersenyum dan menatap ke bawah tanpa kata. Hans merasa ingin ditelan bumi ... Kak Stella sedang mengucapkan perpisahan, menapa dia malah mempermalukan diri seperti ini? Stella juga tersipu malu, dia mengumpat dalam hati. Dasar anak nakal. Kejantanan anak ini terlalu menggebu-gebu. Bukannya anak nakal ini pernah punya pacar? Mengapa masih begini? "Oke, oke, nanti Kak Stella bantu carikan pacar baru. Biar nggak gampang bangun sembarangan." Hans buru-buru melilit tubuhnya dengan handuk dan berkata sambil menundukkan kepala, "Kak Stella, aku pergi dulu ..." Kemudian, dia keluar dengan terbirit-birit. Stella hanya tertawa. Setelah Hans benar-benar keluar, tawanya perlahan berhenti. Dia mengambil handuk lain dan menutupi tubuhnya kembali. "Masuklah." Tap! Pria botak yang sejak tadi berjaga di luar segera masuk setelah diperintahkan. Ekspresi Stella yang tadinya hangat menjadi dingin. Pria berkepala botak banjir keringat. Dua pelayan tadi adalah anak buahnya, tetapi mereka melancarkan pembunuhan terhadap Stella. Dia telah lalai, jadi akan menerima jika Stella menyalahkannya. Akan tetapi, Stella tidak menyinggung kedua pembunuh itu. Dia hanya memerintahkan dengan nada dingin. "Kita lakukan malam ini. Tinggalkan rencana sebelumnya." "Buatkan janji temu sama Toby pukul enam nanti. Tempatnya kamu yang tentukan." "Baik, Kak Stella, serahkan padaku." Pria botak itu mengangguk. "Bagus, terus minta orang ke sini buat bersihin lantai." "Baik, tapi ..." Pria botak berpikir sejenak. "Kak Stella, kita mungkin nggak bisa andalin Toby. Gimana kalau dia nggak peduli sama putrinya?" Stella melambaikan tangan. "Aku tahu apa yang harus kulakukan."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.