Bab 12 Luapan Amarah
Stella tidak memedulikan enam pembunuh berpakaian hitam dan terus memprovokasi Harlan. "Ternyata kamu cuma pengecut. Selama masih hidup, aku pasti bisa membunuhmu."
"Kesempatan itu mungkin nggak pernah ada."
"Cadas, habisi dia!"
Harlan memerintahkan dengan wajah merah padam karena marah.
Cadas dan lima orang lainnya segera mengepung Stella.
Namun, tiba-tiba walkie-talkie yang dibawa Cadas berbunyi. "Bang Cadas, ada taksi yang datang."
"Hah?"
Cadas dan kelima pembunuh terkejut, sedangkan Harlan mengernyit.
Cadas segera menjawab melalui walkie-talkie. "Ada apa?"
"Taksinya sudah pergi, tapi seorang pemuda berumur sekitar dua puluhan sedang menuju lobi utama."
"Pak Harlan, apa yang harus kita lakukan?"
Cadas memandang ke arah Harlan.
Harlan merebut walkie-talkienya. "Tanyakan tujuannya ke sini. Kalau nggak ada urusan, suruh dia pergi."
"Baik, Pak Harlan."
Ada penjaga yang bersiaga di luar pintu.
Harlan sudah tidak sabar dan mengisyaratkan Cadas serta yang lainnya untuk melanjutkan.
Sementara itu, Hans memasuki lobi utama.
Ada yang janggal di tempat ini. Dia melihat beberapa mobil mewah di tempat parkir, tetapi pintu masuk lobi tidak dijaga oleh siapa pun.
Begitu Hans masuk, seorang pria berbaju hitam tiba-tiba muncul entah dari mana.
"Pak, cari siapa?"
Pria berbaju hitam itu bertanya dengan ramah sambil tersenyum.
Hans memicingkan mata. Dia sudah bertemu dengan semua pelayan kemarin, tetapi tidak dengan orang ini.
Ingatan Hans tajam, jadi dia yakin tidak salah kenal.
"Saya teman sekelas Javier. Dia minta saya ke sini untuk melamar pekerjaan. Apa dia ada di sini?"
Hans bertanya dengan serius.
"Oh, maksud kamu Javier yang itu, ya?"
Pria berbaju hitam tersenyum. "Javier sedang mengikuti pelatihan di kota dan baru kembali besok. Coba hubungi lagi besok."
"Oh, kalau begitu terima kasih. Saya akan kembali besok."
Hans tidak menunjukkan ekspresi yang mencurigakan. Lagi pula, penampilannya yang lugu dan bicaranya yang agak malu-malu tidak membuat curiga pria berbaju hitam.
Namun, di balik penampilan Hans yang lugu, pria berpakaian hitam tidak tahu sebenarnya dia adalah orang yang sangat cerdik.
Tidak ada yang bernama Javier di sini.
Saat Hans berbalik, dia memicingkan mata untuk melirik pria itu sejenak.
Hanya sekali pandang, Hans mendapati di pinggang pria itu terselip belati tiga sisi.
"Celaka, Kak Stella dalam bahaya."
Sambil terus berjalan, Hans sekilas melihat sebuah pena yang tergeletak di meja kasir.
Pena itu tiba-tiba melayang tanpa suara dengan sendirinya.
Pria berbaju hitam hanya memperhatikan Hans di depannya tanpa menyadari pena dari meja kasir sudah melesat ke arahnya.
Begitu pena hampir mencapai pria berbaju hitam, Hans tiba-tiba berbalik.
Saking kagetnya pria itu segera meraih belati dari pinggangnya.
"Omong-omong, apa kakak botak ada di sini?" tanya Hans sambil tersenyum.
"Siapa kakak botak yang kamu maksud …"
"Wus" Sebelum pria berbaju hitam itu selesai bicara, pena berputar dengan cepat dan menancap ke pergelangan tangan kanannya yang memegang belati!
"Aaah!"
Pria berbaju hitam menjerit kesakitan.
Pada saat yang bersamaan, Hans menerjang sekuat tenaga untuk menghantam pria itu.
Dalam sekejap, lutut Hans menghantam dagu pria berbaju hitam itu, sebelum akhirnya terdengar bunyi "krak" yang nyaring, seolah giginya remuk.
Pria berbaju hitam kehilangan kendali dan terhuyung ke belakang.
Hans tidak mengendurkan kewaspadaannya. Sebaliknya, dia memanfaatkan momentum untuk melompat dan berlutut, tepat di dada pria berbaju hitam.
Krak!
Dia mendengar tulang dadanya patah dan pria itu langsung memuntahkan darah dari hidung serta mulutnya. Matanya melotot, sedangkan tubuhnya tergeletak di tanah.
Meski Hans memang satpam, dia tidak pernah belajar bela diri. Dia bahkan jarang sekali terlibat perkelahian.
Saat ini amarahnya terjadi semata karena keadaan yang genting.
Masa bodoh apa oria berpakaian hitam itu mati atau tidak, bahkan saat ini tangannya gemetar hebat.
Selain itu, Hans baru saja menggunakan kemampuannya untuk mengendalikan benda.
Hans terkejut saat sadar dia bisa mengendalikan pena dengan mudahnya tanpa perlu melihat, cukup dengan pikirannya.
Kemampuan ini adalah pengalaman barunya.
Hans berusaha mengatur napas sambil menarik belati bermata tiga dari pinggang belakang pria berpakaian hitam.
Belati itu memancarkan kilauan gelap yang menakutkan. Hans tahu senjata ini dari internet. Belati seperti ini adalah senjata dari zaman perang yang terbuat dari baja berkekuatan tinggi dan punya tiga sisi tajam dengan alur untuk mengalirkan darah.
Kemungkinan selamatnya kecil jika seseorang ditusuk dengan belati itu karena darah tidak berhenti mengalir.
Hans mengrenyitkan kening. Dia berpikir siapa orang ini sebenarnya? Kenapa dia punya senjata seperti ini?
"Sekarang aku harus selamatkan Kak Stella dulu."
Hans menyelipkan belati di pinggangnya dan berlari menuju Paviliun Merak.
Resor air panas sangat sunyi. Sepanjang jalan, dia mengaktifkan kemampuan tembus pandangnya sehingga bisa melihat segala sesuatu dalam jarak 20 meter.
Namun, Hans tidak melihat seorang pun di lorong.
Tak lama kemudian, Hans tiba di depan pintu Paviliun Merak dan mendengar suara dari dalam.
"Betul, sobek aja, mantap banget."
Terdengar suara yang menjengkelkan dari balik pintu.
Hans menatap pintu untuk menembusnya.
Begitu melihat kejadian di dalam, dia naik pitam, kepalanya terasa mau meledak.
Stella digantung di udara dan enam pria berpakaian hitam sedang merobek-robek celana Stella.
Pakaian atas Stella telah dilucuti dan dia telanjang dada.
Tidak terlihat keanggunan Stella yang biasanya, selain ekspresi murka dan malu.
Seorang pria berambut panjang juga sedang merekam kejadian itu sambil memutar-mutarkan ponselnya!
Darah Hans mendidih saking marahnya dan matanya merah. Tanpa pikir panjang, dia menendang pintu dengan keras!
"Brak!" Terdengar suara berdebum.
Pintu langsung hancur akibat tendangan Hans.
Kemarahan bisa memicu kekuatan yang melebihi batas.
Pada saat ini, Hans melancarkan tendangan terkuat yang pernah dia lakukan seumur hidupnya.
Setelah pintu ditendang, keenam pria berpakaian hitam yang mengelilingi Stella serentak mengeluarkan belati militer bermata tiga yang serupa.
Gerakan keenam orang itu sangat gesit, tidak diragukan bahwa mereka adalah profesional.
Saat itu juga, keenam pria itu segera mengelilingi pria berambut panjang untuk melindunginya.
Mereka agak membungkuk dan bersiap menyerang kapan saja.
"Hans, kenapa kamu datang? Cepat lari dari sini!"
Stella yang sedang digantung berteriak pada Hans.
Bagaimana Hans bisa menemukan tempat ini sendiri?
Bukankah dia sama saja cari mati?
Stella terus menggeliat dengan gelisah.
Pemuda sepolos dan sebaik Hans tidak seharusnya terlibat dalam masalahnya.
Stella siap mati, tetapi dia mau Hans kehilangan nyawa akibat dirinya.
"Hahaha, sudah jauh-jauh datang malah diminta pergi?"
Pemuda berambut panjang itu tiba-tiba tertawa, lalu memerintahkan. "Cadas, tangkap anak itu! Jangan bunuh dulu, biar dia menonton pertunjukan bersamaku!"