Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 7

"Kamu istirahat saja dulu, biar aku membantu ibumu beres-beres!" Benny tersenyum hangat sambil bangkit. Namun, dia tiba-tiba menyadari bahwa dia baru saja salah bicara. Dia bertukar pandang dengan Devan, lalu hanya bisa tersenyum pahit. Tidak ada penjelasan. Di hati Devan, juga tiba-tiba muncul perasaan aneh. "Ayah, kamu nggak salah bicara!" batin Devan. Benny membawa kotak P3K, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Setelah menaruhnya, dia langsung menuju dapur. Rania sudah menyiapkan air di panci, menunggu sampai airnya mendidih. Ekspresinya tampak sedikit linglung, seolah tenggelam dalam pikirannya. "Jangan dipikirkan lagi. Lihat dirimu, kamu tampak kehilangan semangat seperti ini. Dulu waktu kita meninggalkan Kota Andalus, kamu nggak seperti ini." Benny berujar sembari menghela napas. "Anak itu pasti sudah ditindas oleh Keluarga Atmaja. Kalau nggak, dia nggak akan datang ke sini. Aku tahu betul seberapa kuat hatinya!" Rania mengerucutkan bibirnya, lalu menghela napas pelan. "Aku juga bisa melihatnya. Tapi kalau dia sendiri nggak mau bicara, apa kita bisa memaksanya?" Benny membalas dengan sedikit nada putus asa. Keduanya tak bisa menahan diri dan kembali menghela napas berat. Suasana di dapur menjadi sunyi, hanya terdengar suara api yang membakar di bawah panci. "Benar-benar bikin marah saja! Selama dia tumbuh besar, aku nggak pernah sekali pun memukulnya. Atas dasar apa Keluarga Atmaja bisa berani main tangan padanya?" "Kalau aku sampai hilang kesabaran, bisa apa Keluarga Atmaja yang kecil itu? Aku pasti akan menuntut keadilan untuk anak itu!" "Apa orang-orang ini pikir kalau aku mudah ditindas?" Benny mengepalkan tinjunya, tampak raut kebencian di wajahnya. Seolah-olah dia sudah memutuskan untuk bertindak! "Sudahlah!" "Anak itu nggak pernah bilang kalau dia ditindas oleh Keluarga Atmaja. Kita juga nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" Rania buru-buru mencoba menenangkannya saat melihat Benny tampak makin tersulut. Barulah Benny mengangguk, menutup mulutnya. Namun, kemarahan masih tampak jelas di wajahnya. "Nanti saat makan, kita bicara lagi. Lihat apakah dia mau menceritakan bagaimana sebenarnya kepalanya bisa terluka." Rania memberi saran dengan hati-hati. "Baiklah!" Benny mengangguk dengan berat, tetapi tidak bisa menahan diri untuk berdecak kesal. "Meski itu ulah Keluarga Atmaja, kita berdua ini siapa? Kita bahkan nggak punya hak untuk ikut campur!" Untuk sejenak, mereka kembali terdiam. Sebagai orang tua angkat di masa lalu, bagaimana mereka bisa mencampuri urusan orang tua kandung Devan? "Tapi kamu juga lihat sendiri lukanya. Lukanya besar sekali. Kalau sedikit lebih parah, tulangnya mungkin akan hancur!" "Kalau dia terluka karena dirampok di luar, itu masih bisa diterima. Tapi kalau benar karena Keluarga Atmaja, itu hanya menunjukkan kalau hidupnya nggak baik sama sekali dalam tiga tahun terakhir ini!" Rania yang merasa tidak tahan, mengusap air matanya. Hatinya terasa sangat perih. Kemudian, dia melirik Benny. Penuh dengan amarah. "Semua ini salahmu! Waktu itu kamu yang memaksa menyetujui kepergiannya. Sekarang dia malah diperlakukan seperti ini!" Rania mengeluh dengan nada penuh rasa kesal. "Ini adalah pilihannya sendiri. Aku juga nggak mungkin mengurus semuanya secara rinci untuknya, 'kan?" "Tapi ini yang terakhir kalinya. Setelah ini, nggak akan ada yang bisa menindasnya lagi!" Benny berkata dengan penuh keyakinan. Kemudian .... Benny dan Rania muncul membawa sepiring pangsit yang masih mengepul hangat. Mereka juga membawa bawang putih yang sudah dikupas, serta sepiring cuka. Ini adalah cara kesukaan Devan untuk menikmati pangsitnya. Kedua orang tua angkatnya mengingatnya dengan sangat baik. "Benar-benar luar biasa!" Devan yang sudah menelan ludah sejak tadi, langsung menyantapnya dengan lahap. Dia sangat lapar, serta sangat merindukan rasa ini. Satu gigitan. Benar! Inilah rasanya! Inilah yang dia cari! Devan makan dengan cepat, lebih karena perasaan terharu dan puas. Dia tidak pernah menyangka bahwa dirinya masih punya kesempatan untuk mencicipi masakan ibunya lagi! "Jangan buru-buru, makanlah pelan-pelan!" "Aku sampai berpikir apakah di Keluarga Atmaja kamu nggak pernah makan sampai kenyang?" "Lagi pula, nggak ada yang akan merebut makananmu." Rania berujar sambil tersenyum. "Enak sekali!" Devan menjawab dengan mulut penuh makanan, tersenyum simpul. Benny dan Rania yang melihat cara Devan makan, merasa hati mereka makin tersayat. Mereka makin yakin bahwa hidup Devan di Keluarga Atmaja sungguh tidak baik. Keduanya tidak berkata apa-apa lagi, hanya duduk diam memperhatikan Devan makan. Sudah lama sekali mereka tidak merasakan kehangatan seperti ini. Setelah Devan selesai makan, Rania menyendokkan semangkuk sup untuknya. Devan meminumnya dengan lahap, lalu menghela napas panjang, merasa sangat nyaman. Bahkan luka di kepalanya tidak terasa sakit lagi. "Devan, sebenarnya apa yang terjadi di Keluarga Atmaja?" Rania bertanya dengan lembut, nadanya penuh perhatian. Tatapan penuh kasih sayang itu membuat hati Devan tersentuh. Dia tidak lagi menyembunyikan apa pun, langsung menceritakan semua yang terjadi di Keluarga Atmaja. Devan menceritakan bagaimana Keluarga Atmaja sudah memperlakukannya selama tiga tahun terakhir ini. Semua ini membuat Benny dan Rania merasa sangat marah hingga tubuh mereka bergetar. "Keluarga Atmaja memang bajingan! Apakah mereka masih bisa disebut manusia? Bagaimana bisa mereka melakukan hal seperti itu?" "Padahal kalian satu keluarga, tapi mereka begitu waspada hingga menghina dirimu. Apakah mereka sama sekali nggak peduli kalau kalian berbagi darah yang sama?" "Bagaimana mungkin mereka tega berbuat seperti itu? Bagaimana bisa?" Rania merasa sangat tersakiti, hingga bibirnya bergetar. Dia merasa sangat sedih, juga sangat terluka. Seluruh ruangan dipenuhi dengan aura penuh kemarahan. "Nggak perlu dipikirkan lagi. Aku sudah sepenuhnya memutuskan hubungan dengan Keluarga Atmaja!" "Ini adalah surat pernyataan yang kutandatangani saat aku pergi. Surat ini juga sudah ditandatangani oleh Fredi. Jadi aku nggak perlu takut mereka akan menggangguku lagi." Devan menjelaskan dengan tenang, sambil menunjukkan surat pernyataan pemutusan hubungan yang dia simpan. Ketika Benny dan Rania melihat surat itu, mata mereka langsung membelalak. Mereka saling bertatapan, merasa sangat terkejut. Bagaimana mungkin Devan bisa sampai melakukan hal seperti ini? "Ini bukan surat yang mereka paksa kamu tanda tangani, 'kan?" Benny bertanya dengan curiga. "Bukan, ini atas keinginanku sendiri." Devan membalas sambil tersenyum, terlihat tanpa beban. Ada perasaan lega yang terpancar dari dirinya. Benny dan Rania bisa merasakan kebahagiaan di hati Devan. "Karena kalian sudah putus hubungan, mulai sekarang kamu tinggal di rumah ini saja!" "Kalau mereka berani datang untuk mengganggumu lagi, aku akan melindungimu. Lihat saja siapa yang berani menyentuhmu!" Benny berseru dengan penuh amarah. "Mereka nggak akan datang lagi. Mereka malah senang aku pergi." Devan terkekeh. "Sudah, jangan ganggu Devan lagi." "Biarkan dia istirahat dengan baik. Besok kita lihat bagaimana lukanya." "Kalau lukanya parah, dia harus segera dibawa ke rumah sakit. Jangan sampai terlambat!" Rania menyela pembicaraan keduanya, lalu melihat Devan dengan tatapan tertekan. "Ya, ya! Ayo istirahat yang baik dulu." Benny mengangguk setuju. Kemudian, Rania membawa Devan ke sebuah kamar. "Kamar ini selalu kami siapkan untukmu. Aku sering membersihkannya, jadi nggak akan ada debu." "Malam ini kamu bisa tidur dengan tenang di sini. Istirahatlah lebih awal!" Rania memberikan peringatan pada Devan. "Baiklah!" Devan mengangguk sambil tersenyum. Benny dan Rania pun meninggalkan ruangan, tak ingin mengganggu Devan lebih lama. Di dalam kamar. Devan memandangi sekelilingnya dengan perasaan campur aduk. Semuanya masih sama seperti dulu. Seolah-olah dia kembali ke tiga tahun yang lalu. Di sini, dia punya kamarnya sendiri, bisa makan sampai kenyang, serta merasakan kasih sayang. Sangat berbeda dari hidupnya di Keluarga Atmaja. Devan berbaring di tempat tidur, merasakan kenyamanan yang lembut di bawah tubuhnya. Kelopak matanya mulai terasa berat, tak bisa dikendalikan. Tak lama kemudian, dia pun tertidur. Tak tahu berapa lama dia tertidur. Sinar matahari menembus jendela hingga menyentuh wajahnya, memberikan kehangatan yang makin terasa. Tiba-tiba, Devan merasakan sesuatu yang berat menindih tubuhnya. "Kakak! Kamu benar-benar pulang!"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.