Bab 6
Di hadapan Devan berdiri pasangan tua yang tak lain adalah ayah angkatnya, Benny Wisesa, serta ibu angkatnya, Rania Edwin.
Meski usia mereka baru sekitar empat puluhan, rambut mereka sudah tampak beruban karena beban hidup yang berat.
Wajah mereka pun penuh dengan jejak-jejak waktu.
Ketika melihat wajah-wajah yang begitu familier, kenangan di benak Devan seketika meluap.
Satu demi satu momen penuh kehangatan yang terkubur di dalam hatinya kembali muncul seperti kilasan gambaran.
Inilah rumah yang sesungguhnya. Inilah keluarga yang sebenarnya!
Tak ada tipu muslihat, tak ada intrik.
Hanya ada kasih sayang dan kebahagiaan!
"Devan, kepalamu kenapa? Kenapa kamu pulang selarut ini?"
"Apa terjadi sesuatu?"
"Apakah ada yang merampokmu? Kita harus melapor polisi. Apa yang mereka ambil darimu?"
Ketika Rania melihat keadaan Devan yang mengenaskan, dia merasa hatinya seolah disayat pisau, tak bisa mengendalikan emosinya.
Matanya mulai basah saat menatap luka di kepala Devan.
Dia memegang tangan Devan erat-erat, ingin melindunginya sepenuhnya.
"Nggak ada yang merampokku. Aku nggak apa-apa."
Devan tersenyum pahit sambil menggelengkan kepalanya.
"Jangan di luar terus. Ayo kita masuk, kita bicarakan di dalam!"
Benny menarik napas dalam-dalam, buru-buru membawa Devan masuk ke dalam rumah.
Dia khawatir Devan benar-benar dirampok. Jika ada orang yang mengikutinya, situasinya mungkin akan makin berbahaya.
Ketika Devan masuk ke ruang tamu, semua terasa sangat akrab.
Tak ada yang berubah sejak terakhir kali dia pergi.
Meski Devan telah terlahir kembali setelah melewati banyak tahun, rumah ini tetap sama.
Rasanya seolah dia benar-benar kembali ke masa lalu.
"Devan, tunggu sebentar, Ibu akan ambil kotak P3K!"
Rania tergesa-gesa pergi.
"Duduklah dulu."
Benny berkata kepada Devan.
"Baik!"
Devan meletakkan koper dan tas ranselnya, lalu duduk di sofa dengan perasaan tidak nyaman, seperti duduk di atas duri.
Perasaan ini sungguh aneh.
Rasanya seperti dia kembali ke rumah, tetapi ada kekhawatiran bahwa semua ini hanyalah ilusi.
"Kenapa datang selarut ini?"
Benny melirik koper dan ransel itu, menunjukkan kekhawatirannya.
Devan datang di tengah malam dengan membawa barang-barang.
Jelas menunjukkan bahwa sesuatu telah terjadi.
"Aku ...."
Devan berhenti berbicara, kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan.
Apa yang bisa dia katakan?
Bahwa di Keluarga Atmaja dia diperlakukan buruk, difitnah, serta ditekan?
Bahwa dia tidak bisa menahannya lagi sehingga memutuskan untuk meninggalkan Keluarga Atmaja?
Akhirnya, dia hanya bisa kembali ke sini?
Seketika itu juga, Devan tersenyum pahit.
"Nggak apa-apa, Ayah ... Paman hanya bertanya saja, nggak ada maksud lain!"
"Waktu kamu pergi, aku sudah bilang kalau apa pun yang kamu alami, tempat ini akan selalu menjadi rumahmu!"
"Selama kamu kembali, kami akan selalu menyambutmu!"
Benny tersenyum hangat, menepuk bahu Devan.
Hanya saja, ketika dia menyebut panggilan itu, terlihat jelas ada sedikit rasa kehilangan.
Devan tentu bisa merasakannya, seolah-olah ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi akhirnya hanya terdiam.
Tepat pada saat itu.
Rania kembali dengan membawa kotak P3K.
Dia mengambil alkohol untuk membersihkan luka Devan, lalu mengelap darah yang sudah mengering.
Namun, saat dia melihat luka di kepala Devan, air mata tidak bisa ditahan lagi.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu bisa jadi seperti ini?
"Siapa yang melakukannya? Aku akan membalasnya meski harus mengorbankan nyawaku!"
"Bagaimana kalau luka di kepalamu ini nggak bisa sembuh?"
Rania berbicara sambil menyeka air matanya dengan lengan bajunya.
Suara isak tangisnya membuat hati Devan hangat, tetapi juga menimbulkan rasa bersalah.
Inilah kasih sayang keluarga yang sesungguhnya. Inilah perhatian yang tulus!
Namun, karena lukanya, dia telah membuat orang-orang yang peduli padanya menjadi begitu sedih.
"Nggak apa-apa, ini hanya luka kecil di permukaan."
Devan tersenyum manis, dengan tatapan lembut menatap Rania.
Ibu angkatnya ini telah menderita terlalu banyak.
Mulai sekarang, Devan berjanji untuk melindungi keluarga ini dengan baik!
"Apakah ini ulah anak dari Keluarga Atmaja itu?"
"Aku dengar setelah kamu kembali, dia masih tinggal di kediaman Keluarga Atmaja. Apakah kalian sempat berselisih?"
"Kalau dia berani menindasmu, bilang padaku. Besok aku akan datang mencarinya!"
Benny tak bisa lagi duduk diam. Begitu melihat luka di kepala Devan, dia langsung berdiri.
Luka ini sebesar butiran beras, sepertinya lukanya karena terkena benda tajam.
Meski luka itu kecil, tidak membutuhkan jahitan, tetapi letaknya di kepala, membuatnya jadi lebih berbahaya!
Setelah Devan kembali ke Keluarga Atmaja, Benny dan Rania terus mencari tahu informasi dari berbagai pihak.
Mereka takut kalau Devan tidak diperlakukan dengan baik.
Dengan adanya tiga orang putri di Keluarga Atmaja, mereka mengira Keluarga Atmaja akan merawat Devan dengan baik.
Namun, mereka tidak menyangka bahwa anak angkat sebelumnya juga masih tinggal di sana!
"Aku baik-baik saja. Aku sudah nggak ada hubungan lagi dengan mereka. Apa yang terjadi di masa lalu juga nggak perlu dibicarakan lagi."
Devan berbicara dengan tenang, menutupi segala hal yang pernah terjadi di masa lalu.
Benny dan Rania saling bertatapan, mata mereka tampak berkilatan.
Mereka bisa merasakan ada yang tidak beres.
Pasti ada sesuatu yang terjadi pada Devan di Keluarga Atmaja!
Namun, jika Devan tidak ingin membicarakannya, mereka juga tidak akan memaksanya untuk berbicara lebih lanjut.
Suasana tiba-tiba menjadi sedikit sunyi.
"Oh ya, di mana Erica?"
Devan memecah keheningan dengan bertanya secara proaktif.
Erica adalah putri dari Benny dan Rania, anak yang mereka miliki setelah mereka mengadopsi Devan.
"Dia sudah masuk SMA sekarang. Besok dia libur, jadi kamu akan bisa bertemu dengannya!"
"Erica selalu memikirkanmu. Dia selalu ingin mengunjungimu."
"Besok, begitu dia pulang, dia pasti akan sangat senang!"
Rania berkata sambil tersenyum penuh kehangatan.
"Ya, tiga tahun berlalu begitu cepat!"
Devan merasa sedikit terharu.
Dia bertanya-tanya seperti apa sekarang gadis kecil yang dulu selalu mengikutinya ke mana-mana itu.
Dia ternyata sudah duduk di bangku SMA.
"Aku juga ingin meminta tolong sesuatu!"
"Aku akan mengikuti ujian akhir dalam waktu satu bulan. Aku perlu tinggal di alamat lama dan menggunakan dokumen tempat tinggal di sana."
"Jadi, bolehkah aku kembali ke sini? Apa nggak apa-apa?"
Devan memandang kedua orang tua angkatnya dengan penuh harap.
Tanpa sadar, dia juga meremas sudut bajunya.
Dia merasa sedikit gugup, khawatir hal ini akan menyusahkan mereka.
Namun, ada juga harapan untuk dirinya bisa kembali menjadi bagian dari keluarga ini!
"Lihat dirimu, kenapa kamu terlihat begitu canggung?"
"Bukannya aku sudah bilang kalau tempat ini akan selalu menjadi rumahmu? Kapan pun kamu ingin datang, nggak masalah!"
"Jangankan sampai ujian akhir, bahkan kalau kamu tinggal sampai menikah pun kami nggak masalah!"
Benny tertawa sambil menepuk bahu Devan, langsung menyetujui dengan senang hati.
Rania yang ada di sampingnya juga mengangguk penuh kegembiraan.
Mereka sudah lama berharap Devan akan kembali.
"Terima kasih!"
Devan tidak tahu harus berkata apa lagi. Setelah lama terdiam, dia hanya bisa mengucapkan dua kata itu.
"Kamu ini, kenapa harus sungkan begitu?"
Rania menjawab dengan senyuman.
Tiba-tiba ....
"Kruk ...."
Perut Devan mengeluarkan suara.
Dia baru menyadari bahwa dia belum makan sejak di rumah Keluarga Atmaja.
Tak disangka, perutnya mulai berbunyi di saat seperti ini.
"Jangan bilang kamu belum makan? Keluarga Atmaja itu benar-benar nggak bisa menjagamu dengan baik!"
Rania mengerutkan kening, menggigit bibirnya dengan kesal.
Wajahnya penuh rasa kesedihan dan ketidakberdayaan.
Setelah hening sejenak, dia berdiri, lalu berkata, "Aku akan memasakkan beberapa pangsit untukmu. Aku baru saja membuatnya tadi malam!"
"Nggak per ... baiklah!"
Devan awalnya ingin menolak, tetapi begitu mendengar tentang pangsit, dia langsung setuju.
Pangsit buatan ibu angkatnya adalah makanan favoritnya.
Sudah bertahun-tahun ini dia selalu merindukan rasanya.