Bab 3
Setelah menjual rumah, aku kembali ke rumah yang kutempati bersama Chelan. Saat membuka pintu, rumah begitu gelap dan sepi.
Sepertinya Chelan sudah lama tidak pulang. Mungkin dia sibuk merawat Natalia di rumah sakit.
Aku tersenyum sinis.
Mungkin ini lebih baik. Aku juga tak ingin berhadapan dengannya.
Kebanyakan barang-barangku ada di kamar tamu. Bertahun-tahun ini, aku sering bertengkar dengan Chelan karena Natalia.
Saat diam-diaman, aku selalu pindah ke kamar tamu. Setiap kali, akulah yang mengalah lebih dulu.
Sambil berkemas, aku tersenyum getir ketika mengingat semua ini. Dulu, aku memang sangat lemah di depannya.
Tak ada satu pun barang Chelan yang aku simpan. Setelah dua jam, aku menyeka keringat di kening dengan tisu.
Ponselku tiba-tiba berdering. Ketika kulihat siapa yang menelepon, itu adalah ibuku. Aku ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon.
Aku menyapa, "Halo, Bu."
Suara ibuku yang sudah tua terdengar gembira ketika bertanya, "Nana, gimana? Sudah ambil akta nikah? Kapan kamu dan Chelan akan mengadakan pestanya?"
Tenggorokanku terasa tersumbat. Aku ingin berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Setelah lama terdiam, di tengah desakan ibuku yang kebingungan, aku mencoba menahan tangis ketika menjawab, "Bu, aku nggak jadi menikah."
Ibuku bertanya, "Apa yang terjadi? Nana, kenapa?"
Nada bicaranya mulai cemas.
Dengan tenang, aku menyampaikan keputusanku, "Aku dan Chelan nggak cocok, Bu."
Nada ibuku langsung naik ketika membalas "Nana, kalian sudah pacaran bertahun-tahun. Kenapa sekarang kamu baru bilang nggak cocok? Jangan bersikap kekanak-kanakan. Kamu ini sudah 27 tahun, bukan anak kecil lagi."
Ibuku bahkan tidak bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya mendesakku untuk menikah.
Mataku langsung berkaca-kaca. Aku menutup mulut sambil berusaha keras menahan diri agar isakanku tak terdengar.
Setelah sekian lama, aku baru menegaskan, "Bu, aku nggak mau nikah!"
Ibuku memarahi, "Kamu ini! Kalau nggak nikah, kamu mau apa?"
Mendengar ucapan tegas dariku, nada ibuku makin tinggi saat menambahkan, "Nana, bicarakan baik-baik kalau ada masalah. Masa bertahun-tahun hubungan kalian bisa berakhir begitu saja?"
"Aku memang mau mengakhirinya," jelasku.
Sebelum ibuku bisa mengucapkan lebih banyak, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari ujung telepon.
Aku coba memanggil ibuku, tetapi tidak ada respons.
Aku bertanya dengan panik. "Bu! Bu, kenapa? Jawab aku, Bu!"
Terdengar suara rintihan kesakitan samar-samar dari ujung telepon yang langsung menusuk telingaku.
Hatiku seketika terasa seperti diremas. Aku panik, lalu buru-buru memutus sambungan. Segera, aku membuka rekaman kamera CCTV rumah.
Mungkin karena terlalu cemas, ponsel di tanganku yang gemetar terlepas begitu saja dan menggelinding ke bawah sofa.
Aku buru-buru berlutut dan meraih ponsel di bawah sofa.
Di layar kamera, terlihat ibuku sedang memegangi dadanya dengan ekspresi penuh kesakitan. Dia berusaha untuk meraih obat yang ada di meja.
Aku hanya bisa menyaksikan semua itu tanpa daya. Betapa berharapnya aku bisa segera berada di sana untuk membantunya.
Benar. Sekarang, aku harus menelepon dan mencari bantuan!
Hanya ada satu pikiran di kepalaku saat itu, yaitu menyelamatkan ibuku.
Segera, aku menelepon tanteku yang tinggal satu gedung dengan kami.
Aku terus berdoa agar tanteku cepat mengangkatnya.
Aku terus-menerus berdoa.
Belasan detik menunggu sambungan terasa seperti ratusan tahun.
Akhirnya, tanteku pun mengangkat telepon.
Aku tak bisa menahan tangis ketika berujar, "Tante, ibuku kambuh! Tolong cepat ke rumahku! Cepat!"
Tanteku kaget mendengar suaraku yang penuh kepanikan. Dia langsung berlari ke rumahku.
Setelah menutup telepon, aku langsung menghubungi ambulans, lalu kembali melihat kamera CCTV. Aku berharap ada yang segera masuk untuk membantu ibuku.
Pada saat itu, aku belum pernah merasa begitu menyesal. Aku menyesal karena meninggalkan ibuku sendirian di rumah demi menetap di Kota Amado.
Aku menyesal telah memberitahunya tentang perpisahanku dengan Chelan. Hal itu berujung memicu penyakitnya kambuh.
Perasaan bersalah terus menghantuiku.
Aku bersalah. Aku tak akan mengulangi kesalahan ini lagi.
Akhirnya dua menit kemudian, terdengar suara seseorang memasukkan kode di pintu rumah. Tante muncul seperti penyelamat. Dia cepat-cepat melangkah dan menyuapi ibuku dengan obat di atas meja.
Melalui kamera CCTV, aku melihat wajah ibuku yang awalnya pucat perlahan membaik. Sementara itu, ponsel di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai.
Tante meneleponku untuk memberi tahu bahwa kondisi Ibu sudah lebih baik.
Aku meminta tolong kepadanya untuk membawa ibuku ke rumah sakit demi pemeriksaan lebih lanjut.
Setelah menutup telepon, pikiranku mulai tenang. Detak jantungku yang kencang juga perlahan kembali normal.
Aku menarik napas panjang, lalu mempercepat proses pengemasan barang-barangku.
Keinginanku untuk meninggalkan Kota Amado menjadi makin kuat.
Kurir masih dalam perjalanan. Sambil berbicara dengan Tante untuk memastikan kondisi ibuku, aku terus menunggu.
Fokusku sepenuhnya pada obrolan dengan Tante sampai-sampai tidak menyadari bahwa Chelan sudah berdiri di depanku
Suara jatuhnya buket bunga yang Chelan bawa membuatku mendongak. Aku terkejut melihatnya berdiri di sana.
Hari ini, Chelan mengenakan setelan jas yang rapi, bahkan lengkap dengan dasi. Rambutnya tertata rapi. Itu menambah kesan dewasa dan tampan.
Di lantai, tergeletak buket mawar yang jatuh.
Mata Chelan penuh amarah yang ditahan. Dia bertanya sambil menggertakkan gigi, "Wilona, apa maksudmu?"
Aku membalas, "Sudah kubilang, kita putus. Kamu nggak paham, ya?"
Emosi yang meluap-luap membuatku kehilangan kesabaran. Ucapanku agak tergesa-gesa.
Chelan menendang meja sofa di ruang tamu hingga kacanya pecah.
Dia menunjuk foto kami yang kubuang ke tong sampah dan berseru marah, "Hari ini, aku mau ajak kamu ke Kantor Catatan Sipil buat nikah! Apa maksud semua ini?"
Ternyata Chelan berpakaian rapi untuk menikah denganku. Aku sempat berpikir, dia baru saja menjemput Natalia dari rumah sakit.
Aku menjawab, "Sudah nggak perlu ... "
Sebelum aku bisa melanjutkan, Chelan menyela, "Sudah kubilang kita akan menikah! Apa lagi yang kamu mau? Sudah cukup belum ributnya? Hmph! Kalau kamu nggak nikah denganku, apa yang bakal kamu bilang ke ibumu?"
Melihat wajahnya yang percaya diri, aku menyadari bahwa Chelan tahu tentang keinginan ibuku agar aku segera menikah.
Chelan ternyata mengetahuinya.
Jadi, Chelan selama ini sadar dan sengaja menundanya selama tiga tahun. Sekarang, dia baru setuju untuk menikah secara terpaksa?
Aku merasa sangat sedih.
Sebenarnya aku jatuh cinta pada orang seperti apa ...
Aku menatap Chelan dalam diam. Melihat tatapanku yang penuh kehampaan, amarah Chelan perlahan mereda. Dia mulai mencoba membujukku dengan lembut, "Aku salah karena pernah ingkar janji. Nana, jangan ribut lagi, ya?"
Perasaanku mulai goyah. Bukan karena Chelan, tetapi karena ibuku.
Aku takut ibuku akan sakit lagi jika mengetahui masalah ini. Aku tahu betapa pentingnya pernikahanku baginya. Daripada menikah dengan pria hasil perjodohan, tentu ibuku akan lebih memilih Chelan yang sudah bersamaku selama bertahun-tahun.
Lebam di leherku terus mengingatkanku untuk tidak menyerah begitu saja.
Akan tetapi, ibuku yang masih terbaring sakit membuat hatiku ragu.
Saat aku sedang bimbang, sebuah kejadian tak terduga membantu membuat keputusan itu untukku.