Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Natalia menambahkan, "Kak Chelan tahu hari itu ulang tahunku, jadi sengaja mengajakku ke sana. Kamu nggak marah, 'kan?" Aku menatapnya tanpa berkata apa-apa, lalu menutup pintu dalam diam. Aku sedang diam-diaman dengan Chelan. Setiap kali bertengkar karena Natalia, kami pasti akan diam-diaman untuk sementara. Chelan sudah terbiasa. Sebab, biasanya tidak lebih dari tiga hari aku pasti akan mendekatinya duluan dan meminta maaf. Sebelum sempat tertidur, pintu kamarku digedor keras. "Wilona Shea!" seru Chelan yang marah. Aku membuka pintu, lalu dia langsung mengarahkan ponsel ke wajahku. "Berapa kali harus kujelaskan? Natalia itu cuma adikku. Kenapa kamu selalu harus memusuhi dia?" tanya Chelan. Aku merasa tak bersalah ketika mendengar tuduhannya. Aku pun bertanya, "Memang aku mengapakannya?" "Kamu masih bisa bilang begitu? Hari ini, kamu pasti bicara kasar pada Natalia ketika dia datang. Ibu bilang setelah pulang ke rumah, dia terlihat aneh dan sekarang depresinya kambuh lagi sampai harus dirawat di rumah sakit!" jelas Chelan. Aku menatap layar ponselnya. Di sana, ada foto Natalia yang terlihat lemah terbaring di ranjang rumah sakit. Pergelangan tangannya terbalut perban tebal. Aku memberi tahu, "Aku nggak bilang apa-apa sama dia." Aku menjawab dengan jujur. Aku memang tidak bicara apa pun pada Natalia. Chelan mendengus, lalu mencengkeram leherku dengan tangan dinginnya. Pria itu berucap dengan ganas, "Kalau ada apa-apa sama Natalia, kita nggak usah nikah!" Aku ingin memaki Chelan, tetapi suaraku tidak bisa keluar. Aku berusaha mencakar-cakar tangannya dan berharap dia melepaskanku. Saat aku merasa hampir kehilangan kesadaran, Chelan mendorongku ke lantai. Dari atas, dia menatapku dan berucap dengan nada dingin, "Setelah bertahun-tahun bersama, kalau ke depannya kamu nggak cari masalah lagi sama Natalia, aku masih bisa pertimbangkan untuk nikah denganmu." Setelah itu, Chelan berbalik, mengambil kunci di meja, dan membanting pintu saat pergi. Aku duduk di lantai. Sambil terbatuk, aku menarik napas dalam-dalam. Hatiku sudah hancur berkeping-keping. Tanpa bukti apa pun, Chelan menuduhku dan bahkan menyerangku seperti orang gila. Tubuhku bergetar saat aku berdiri sambil bersandar di dinding. Aku mengangkat telepon yang berdering terus-menerus di atas meja. "Wilona, sudah lama nggak bertemu. Mau keluar minum?" tanya orang itu. Ternyata itu telepon dari teman sebangkuku di SMA. Dia mengatakan baru saja tiba di Kota Amado hari ini dan akan kembali besok setelah menyelesaikan urusannya. Setelah menenangkan emosiku, aku menyetujuinya. Michelle Xavier memilih restoran pribadi yang elegan. Dia tidak hanya mengundangku, tetapi juga beberapa teman lama yang tinggal di Kota Amado. Suasananya santai. Semua orang saling bercerita tentang kehidupan masing-masing dan mengenang masa-masa dulu. "Wilona, kamu dan Kak Chelan gimana? Sudah menikah belum?" Michelle bertanya demikian sambil mengangkat alis. Dulu saat kami SMA, aku dan Chelan sudah pacaran. Kemudian, kami masuk universitas yang sama sehingga semua orang mengira kami akan menikah. Aku menarik kerah sweterku ke atas, lalu menunduk untuk menatap gelas penuh minuman di depanku dan meneguknya sampai habis. "Belum. Sepertinya nggak jadi," balasku. Yulian Zola bertanya sambil mengernyit, "Kamu atau dia yang nggak mau?" "Dia," jawabku. Tiba-tiba Yulian menghantam meja. Sumpit di depannya jatuh ke lantai. Yulian bertanya, "Pasti karena Natalia, 'kan? Aku sudah pernah bilang, selama ada Natalia, kalian berdua nggak akan bisa pacaran dengan tenang. Tapi, kamu malah nggak peduli!" Aku hanya bisa tersenyum pahit dan menggeleng. Dulu, aku pikir Chelan hanya terlalu memanjakan adiknya. "Natalia?" tanya Sharon Lewis sambil membuka ponselnya. Kemudian, dia memperlihatkan video kepada kami. Di video itu, Natalia terlihat histeris memukuli seorang pria paruh baya dengan sepatu hak tingginya. Pria itu mencengkeram pergelangan tangan Natalia dengan kasar dan berucap kepada orang-orang di sekitar, "Istriku lagi marah, kalian jangan ikut campur!" Tatapan Natalia penuh ketakutan. Dia menangis sambil memohon kepada orang di sekitarnya, "Bu, bukan begitu ... Tolong aku! Tolong aku!" Di akhir video, seorang pria jangkung muncul dan memarahi pria itu. Dia mengatakan bahwa dia sudah melaporkannya ke polisi. Baru setelah itu, pria paruh baya itu pergi dengan ekspresi marah. Dia berbisik sesuatu di telinga Natalia sebelum pergi. Sharon berucap dengan nada kasihan, "Video ini sudah tersebar di daerah kami. Mereka bilang pria itu gila. Sekarang, harus hati-hati kalau keluar rumah. Saat pertama kali lihat, aku merasa orang di video itu mirip Natalia." Aku membalas, "Itu memang dia." Suaraku dalam ketika mengatakan itu. Wajah wanita di video itu sangat mirip dengan Natalia, bahkan pakaiannya juga cocok. Chelan pernah memberitahuku secara samar bahwa Natalia pernah dilecehkan saat kecil. Itu meninggalkan trauma besar dalam hidupnya. Mungkin percobaan bunuh dirinya juga ada hubungannya dengan pria gila itu. Yulian berucap, "Sudahlah, nggak usah bahas dia lagi! Aku sudah lama bilang, Chelan bukan orang baik. Kapan kamu mau putus sama dia?" Yulian yang sudah agak mabuk terlihat kesal. Rasanya kalau aku bilang masih mencintai Chelan, dia mungkin akan mengamuk. Di luar, mulai hujan gerimis. Entah kenapa, memar di leherku mulai terasa sakit. Aku menatap tetesan hujan di jendela. Suara samar pun keluar dari bibirku. "Mungkin dalam beberapa hari ini," ucapku. Seminggu kemudian, Chelan menghubungiku lagi. Entah bagaimana, kejadian Natalia masuk berita. Saat aku melihatnya, ada kelanjutan dari kasus itu. Dilaporkan bahwa pria tersebut sudah dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Wanita dalam insiden itu sekarang berada di bawah perlindungan ketat keluarganya. Mungkin sekarang Chelan sudah tahu kebenarannya dan sadar bahwa dia salah menuduhku. Namun, Chelan tidak meminta maaf saat menelepon. Dia hanya bilang akan pulang malam ini untuk makan malam. Aku menjawab santai, "Ada lagi?" Saat itu, aku sedang menandatangani kontrak dengan agen properti. Setelah memastikan semua sudah benar, aku menandatanganinya. Chelan terdiam sejenak sebelum berucap, "Wilona, tentang kejadian hari itu ... " Aku menunggu Chelan melanjutkan. Hanya saja, ternyata aku tetap tidak mendengar permintaan maaf. Chelan berujar, "Wilona, ayo kita nikah. Besok, aku akan menunggumu di Kantor Catatan Sipil." Aku tersenyum sinis dan merasa sangat sedih. Apakah selama ini aku terlalu pengertian sehingga Chelan berani bertindak sesuka hati? Setelah semua luka yang Chelan buat, dia malah berpikir bahwa pernikahan bisa menebus segalanya. Apakah baginya aku begitu murahan? "Nggak perlu," jawabku. Nada suara Chelan terdengar tidak senang ketika bertanya, "Apa maksudmu?" Aku berjalan ke dekat jendela, lalu menatap Kota Amado, tempat aku tinggal selama bertahun-tahun meski jauh dari kampung halaman. Dulu, aku pindah dan menetap di sini demi Chelan karena semua keluarganya tinggal di Kota Amado. Aku menabung untuk membeli rumah ini. Aku berharap setelah menikah, ibuku bisa pindah ke sini agar aku bisa lebih mudah merawatnya. Sekarang, aku sadar betapa durhakanya diriku. Ibuku yang sudah setengah baya bisa-bisanya ingin kupaksa pindah ke kota asing. Pikiranku tidak pernah sejernih sekarang ini. "Maksudku, kita putus saja," ucapku. Chelan ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi aku bisa mendengar suara Natalia dari ujung telepon. "Kak Chelan! Kak Chelan, di mana kamu?" Chelan segera memintaku untuk jangan mencari masalah, lalu menutup telepon. Agen properti yang berdiri di sampingku pura-pura tidak mendengar apa pun. Dia berujar sambil tersenyum, "Nona Chelan, uangnya akan masuk dalam waktu 24 jam." Aku mengangguk, lalu menyerahkan kunci rumah kepada agen properti tersebut sambil berucap, "Mohon bantuanmu."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.