Bab 7
William melangkah perlahan mendekati Yohana, lalu memasukkan sebutir obat ke mulutnya.
Sambil menatapnya dengan rasa iba, dia berkata, "Makanlah obat ini agar pendarahannya berhenti. Aku akan membalut lukamu."
Yohana menuruti perkataannya, mengangguk dengan patuh, kemudian meneguk air untuk menelan obat tersebut. Dia lalu mengulurkan lengannya di depan William, menunggunya untuk mulai membalut luka itu.
Sikapnya yang begitu penurut ini sangat berbeda dibandingkan dinginnya dia saat berhadapan dengan Gilbert.
Perbedaan sikap ini membuat dada Gilbert terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang merambat dan melilitnya erat hingga membuatnya sulit bernapas.
Dia menyaksikan William membuka perban yang tadi dililitkan olehnya, tanpa ragu membuangnya ke lantai.
William kemudian mengambil obat semprot khusus untuk menghentikan pendarahan dan menyemprotkannya ke luka Yohana.
Gerakan William begitu lancar, mulai dari memberi obat hingga membalut luka. Setiap tindakannya bagaikan duri yang menusuk dalam ke hati Gilbert.
Mereka sudah menikah selama empat tahun. Yohana yang dulunya mencintainya sepenuh hati, kini lebih memercayai orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan darah.
Yohana memilih menceritakan kondisi kesehatannya kepada William, tetapi tidak pernah sekalipun membiarkan Gilbert mengetahuinya.
Perbedaan perlakuan ini membuat Gilbert cemburu hingga hampir kehilangan akal.
Gilbert kehilangan kendali dan berkata dengan suara keras, "Yohana, kamu sama sekali nggak pernah memberitahuku bahwa kamu memiliki penyakit seperti ini. Kita sudah bersama selama empat tahun! Apa kamu nggak pernah menganggapku sebagai suamimu?"
Yohana yang kehilangan banyak darah tampak pucat, bibirnya nyaris tidak berwarna.
Namun, perkataan Gilbert tetap mengejutkannya.
Selama empat tahun pernikahan, Gilbert tidak pernah menyadari penyakitnya. Bukannya mencari alasan untuk dirinya sendiri, dia malah menyalahkan Yohana.
Kalau saja dia lebih peduli, seharusnya sudah sejak lama dia mengetahui penyakitnya.
Saat melahirkan anak mereka, Yohana sengaja menyembunyikan kondisinya agar Gilbert tidak khawatir.
Sebab saat itu, dia masih berpikir bahwa Gilbert mencintainya.
Dia tahu, jika Gilbert mengetahui penyakitnya, dia tidak akan pernah mengizinkannya mengambil risiko melahirkan anak itu.
Dulu, Yohana mencurahkan seluruh cintanya untuk menjaga pernikahan mereka. Dia memberikan semua ketulusan yang dimilikinya demi membangun keluarga yang bahagia.
Namun, kenyataan yang ditemuinya adalah bahwa semua itu hanyalah bagian dari konspirasi orang lain.
Gilbert hanya menginginkan seorang anak untuk diberikan kepada Miranda. Jika saat itu dia mengungkapkan penyakitnya, Gilbert mungkin tidak akan peduli dengan hidup atau matinya dan tetap memaksa Yohana melahirkan.
Semua kekhawatirannya hanyalah ilusi belaka dan usahanya sia-sia.
Dari awal hingga akhir, Gilbert hanya memanfaatkannya. Tidak ada cinta di antara mereka.
Mengingat semua itu, Yohana merasa sangat menyesal.
Satu-satunya hal yang dia syukuri adalah bahwa dia masih hidup.
Dia tidak menjawab pertanyaan Gilbert, melainkan menoleh kepada William dan berkata, "Aku sebenarnya ingin memasak iga asam manis untuk Kirana hari ini, tapi sepertinya aku harus ingkar janji."
William mengangkat alisnya. Dia menatap Yohana, lalu berkata, "Istirahatlah dengan baik. Kamu nggak perlu ngapa-ngapain. Kamu kehilangan banyak darah. Aku harus membuatkan sup ayam untukmu. Soal Kirana, serahkan saja padaku."
Menghadapi pengabaian Yohana dan menyaksikan interaksi manis mereka membuat darah Gilbert merasa marah.
Dia bisa melihat cinta yang terpancar dari mata William saat menatap Yohana. Dia bahkan bisa mendengar kebahagiaan di suaranya saat menyebutkan nama anak mereka.
Gilbert hampir bisa membayangkan kehidupan bahagia mereka bertiga sebagai sebuah keluarga.
Sebuah kebahagiaan yang dulu pernah dia miliki, tetapi kini sudah lenyap.
Dengan tatapan yang tajam seperti bilah pisau, Gilbert menatap Yohana dan William bergantian.
Suara Gilbert menjadi lebih dingin, "Yohana, ini jawabanmu? Selama ini kamu nggak pernah menganggapku sebagai suamimu. Kamu lebih percaya padanya daripada aku, 'kan?"
Wajah lembut Yohana saat berbicara dengan William menghilang. Dia kembali memasang ekspresi datar dan menjawab tegas, "Benar."
Gilbert makin marah mendengar jawaban itu.
Dia menggertakkan gigi dengan keras dan berkata, "Yohana, kamu benar-benar pandai berakting, ya. Bertahun-tahun membangun citra sebagai istri yang baik dan ibu yang penuh kasih pasti sangat melelahkan."
Yohana tersenyum tipis lalu berkata, "Kita sama saja. Bertahun-tahun kamu berakting sebagai pria baik-baik pasti juga lelah, 'kan, Pak Gilbert?"
"Yohana, siapa bilang aku hanya berpura-pura? Perasaanku padamu selama ini, apa kamu benar-benar nggak tahu? Semua kebaikanku selama bertahun-tahun, apa hanya dianggap angin lalu? Bisa-bisanya aku nggak sadar kalau kamu begitu berhati dingin dan nggak berperasaan!" teriak Gilbert.
Yohana tidak tahu dari mana Gilbert mendapatkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata seperti itu.
Apakah dia lupa siapa yang menikahinya hanya untuk melindungi Miranda dari bencana?
Siapa yang merancang skenario agar dia hamil dan melahirkan anak untuk Miranda?
Siapa pula yang menyebarkan fitnah tentang dirinya hingga anaknya tidak mau mengakuinya sebagai ibu?
Rumah yang dia bangun dengan susah payah dihancurkan oleh tangan Gilbert sendiri. Anak yang dia pertaruhkan nyawanya untuk lahir ke dunia direnggut darinya tanpa belas kasihan.
Semua impiannya hancur di tangan pria itu.
Dia yang menyebabkan Yohana menderita depresi berat hingga beberapa kali berada di ambang hidup dan mati.
Gilbert tidak hanya membawa mimpi buruk ke dalam hidupnya, tetapi juga menciptakan luka yang tiada akhir. Dengan segala kerusakan yang telah dia lakukan. Bagaimana bisa Gilbert masih berani untuk menyalahkannya?
Mengingat semua itu, Yohana mengepalkan tangan erat-erat dan berkata dengan suara dingin, "Berhati dingin? Kamu menjadikan aku sebagai tameng, lalu menjebakku agar melahirkan anakmu. Kalau dibandingkan denganmu, aku rasa aku masih jauh dari sebutan kejam."
Ekspresi Gilbert menjadi lebih muram, lalu berkata, "Siapa yang menjebakmu? Yohana, jelaskan ucapanmu!"
Yohana tertawa sinis.
Dia sangat ingin menuntut keadilan untuk dirinya yang dulu. Dia ingin tahu, ketika Gilbert mengambil semua keputusan itu, pernahkah pria itu memikirkan perasaannya?
Namun, empat tahun telah berlalu. Kebenciannya terhadap pria itu kini sudah tidak sepenting dulu.
Ketika Yohana mengetahui kondisi putrinya, dia sempat berpikir untuk membalas dendam pada Gilbert.
Gilbert tidak hanya menghancurkan hidupnya, tetapi juga membuat putrinya lahir dengan penyakit serius.
Namun seiring waktu berlalu, kebenciannya memudar.
Satu-satunya hal yang kini dia inginkan hanyalah menyembuhkan putrinya dan menjalani hidup dengan baik.
Dengan ekspresi tenang, Yohana berkata, "Aku nggak ingin mengungkit masa lalu. Tapi aku ingin memintamu menjauh dari hidupku. Mulai sekarang, hubungan kita hanyalah sebatas orang tua murid dan guru, nggak lebih dari itu."
"Yohana ... "
Gilbert mencoba meraih pergelangan tangannya, tetapi Yohana dengan dingin menghindar.
Dia menoleh ke arah kepala sekolah dengan wajah serius.
"Pak Bimo, semua ini tindakan Leonardi. Perbuatannya ini bukan sekadar perkelahian biasa. Dia hampir menyebabkan tragedi. Aku harap pihak sekolah dapat menangani masalah ini secara adil dan memberikan penjelasan yang layak kepada Samuel."
Kepala sekolah yang sejak tadi hanya menyimak, tiba-tiba terkejut saat namanya disebut. Dia tidak menyangka akan dilibatkan dalam masalah ini.
Di satu sisi, ada Yohana, guru terbaik yang dia pekerjakan dengan gaji tinggi. Di sisi lain, ada keluarga Yonar yang tidak berani dia singgung sedikit pun. Bahkan jika dia punya beberapa kepala, dia tetap tidak berani menentang keluarga Yonar.
Dengan penuh pengalaman, kepala sekolah dengan licik menyerahkan masalah itu kembali kepada Yohana. Dia berkata, "Bu Yohana, karena aku telah memercayakan kelas ini kepadamu, maka aku yakin kamu bisa menangani ini dengan baik. Lagi pula, Leonardi adalah anakmu dan Pak Gilbert. Aku yakin kalian berdua bisa menemukan cara terbaik untuk mendidiknya. Apa pun keputusanmu aku nggak akan campur tangan."
Yohana menjawab dengan tanpa ragu, "Aku dan Pak Gilbert nggak ada hubungan apa pun. Dalam menangani masalah ini, aku nggak akan mencampurkan perasaan pribadi."
Mendengar ucapan itu, Gilbert mengepalkan tinjunya. Dia berkata, "Yohana, Leonardi itu anakmu. Kamu benar-benar nggak ingin mengurusnya lagi?"
Yohana mengangkat alis dan menatapnya dingin lalu berkata, "Mengurusnya bukan masalah, asalkan kamu memutuskan hubungan dengan anak itu. Mulai sekarang, kamu nggak boleh berhubungan dengannya lagi. Bisakah kamu melakukannya?"
"Mimpi saja," ujar Gilbert.
"Oke, kalau begitu. Kita tetap menjaga hubungan sebagai orang tua murid dan guru. Anakmu sudah melukai anak lain. Dia harus minta maaf kepada Samuel di depan umum, memohon pengampunannya, dan menulis esai penyesalan sepanjang 300 kata yang harus diserahkan kepadaku besok. Jika Pak Gilbert nggak setuju dengan keputusan ini, silakan minta kepala sekolah memecatku. Aku akan terima."
Yohana tidak menunjukkan sedikit pun belas kasih, seolah anak itu bukan siapa-siapa baginya.
Dia bahkan sudah siap untuk mengundurkan diri jika perlu.
Gilbert tahu, meskipun Yohana terlihat lembut, dia sebenarnya sangat keras kepala.
Jika sudah memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa mengubah pikirannya.
Melihat Gilbert tetap diam, Yohana menggenggam tangan Samuel dan berkata, "Karena Pak Gilbert nggak keberatan, aku akan membawa anak ini pergi."
Setelah itu, Yohana berbalik dan pergi tanpa menoleh.
Melihat punggungnya yang teguh, Gilbert mengepalkan tinjunya lebih kuat hingga terdengar suara tulang yang berderak.
Meskipun dia sudah memaksa Yohana sejauh ini, wanita itu tetap tidak memberikan tanda-tanda akan kembali.
Barulah saat ini dia menyadari, Yohana benar-benar tidak menginginkan dia maupun anaknya lagi.