Bab 5
Mendengar kalimat itu, Yohana langsung tahu bahwa Miranda sudah mengadu.
Dia tersenyum tipis, resmi seperti sedang menjalankan tugas. "Ah, nggak juga. Sekarang banyak barang murah di platform belanja online, tapi ada juga yang berkualitas. Asal pintar memilih saja. Contohnya aku, seorang ahli dalam mengenali barang palsu, jadi nggak akan tertipu," balasnya.
Ucapan Yohana seperti pedang tajam yang menusuk Gilbert.
Dia baru saja dibandingkan dengan barang murahan di platform belanja dan Yohana bahkan mengklaim dirinya ahli dalam mendeteksi barang buruk.
Bukankah itu sama saja menyebutnya tidak berguna?
Gilbert menggertakkan giginya menahan marah. "Kalau begitu, Bu Yohana, dengan keahlianmu itu, coba nilai mantan istriku. Dia pergi selama empat tahun, meninggalkan anak tanpa kabar. Menurutmu, dia masuk kategori buruk yang mana?" tanyanya.
Yohana menatapnya, matanya tenang. "Pak Gilbert, bisa kamu ceritakan kenapa mantan istrimu pergi? Saat dia pergi, apa yang sebenarnya terjadi? Setahuku, nggak ada ibu yang benar-benar tega meninggalkan anaknya, kecuali dia merasa dikhianati oleh orang yang paling dekat dengannya."
Kalimat itu membuat Gilbert terdiam, kenangan pahit Yohana saat dulu ditinggalkan kembali menghantuinya.
Dia mengepalkan tangannya erat-erat. "Bagaimanapun dia membenciku, anak itu nggak bersalah," balasnya.
Senyum Yohana perlahan memudar. "Pak Gilbert, sebelum menjadi ibu, seorang perempuan adalah individu yang bebas. Dia berhak mencintai dan menghargai dirinya sendiri. Saat berada dalam pernikahan yang nggak sehat, dia nggak seharusnya terikat oleh anak atau nilai moral yang dipaksakan. Dia punya hak untuk memilih, bukan begitu?"
Nada bicaranya tenang, tidak ada emosi berlebih, seperti dia sedang membahas seseorang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengannya.
Hal itu membuat Gilbert sulit menerimanya.
Yohana yang dulu begitu mencintai pernikahan dan anak mereka, kini terlihat begitu acuh.
Bahkan setelah empat tahun berlalu, seharusnya tidak mungkin dia berubah menjadi sedingin ini.
Gilbert menatap wajah Yohana yang tetap tersenyum lembut, sementara matanya penuh dengan bara hitam yang menyala.
Dia mencari jejak kebencian di sana, bahkan hanya secuil. Jika dia menemukannya, mungkin hatinya tidak akan terasa sehancur ini.
Namun, yang dia temukan hanyalah wajah cantik Yohana yang tersenyum tenang, seolah semua ini bukan urusannya.
Hatinya terasa tertusuk sesuatu, membuat suaranya jadi lebih parau saat bicara, "Yohana, apa yang harus kulakukan supaya kamu mau memaafkan anak kita? Karena kurangnya kasih sayang ibu, dia semakin sulit diatur. Kalau begini terus, aku takut dia akan hancur."
Yohana menundukkan pandangannya. "Bukankah ini hasil yang kalian inginkan? Memisahkan aku darinya, menciptakan jarak antara kami, lalu menceraikanku. Tujuan kalian agar aku nggak punya hubungan dengannya, dan aku sudah melakukannya. Bukankah seharusnya kamu puas, Pak Gilbert?"
"Yohana, kenapa kamu harus sedendam ini? Dia anakmu. Kamu nggak ingin dia tumbuh menjadi anak manja dan arogan, 'kan?
"Itu urusanmu, bukan urusanku. Sejak aku pergi dari keluarga Yonar, dia bukan lagi anakku. Jadi, tolong, Pak Gilbert, hadapilah kenyataan ini."
Dengan nada selembut sutra, Yohana melontarkan kata-kata yang paling menusuk.
Gilbert hanya bisa terpaku, sulit menerima kenyataan.
Hatinya mencelos. Bagaimana mungkin hati seorang wanita bisa sekeras batu?
Dia menggeram, "Sekarang dia adalah muridmu. Kumohon, jangan buat dia merasa disisihkan."
Yohana mengangguk sopan. "Tenang saja, Pak Gilbert. Aku akan memperlakukannya sama seperti murid lain. Kalau nggak ada lagi, aku harus ke kelas sekarang."
Setelah mengatakan itu, Yohana langsung melangkah ke dalam kelas dan menutup pintu.
Gilbert berdiri di lorong, matanya menatap ke arah Yohana melalui jendela kecil di pintu kelas.
Di depan kelas, Yohana berdiri dengan penuh percaya diri dan karisma. Setiap gerak-geriknya memancarkan kehangatan yang mengingatkan Gilbert pada dirinya yang dulu.
Dia selalu merasa Yohana telah berubah, menjadi dingin dan keras.
Namun sekarang, dia sadar Yohana tidak benar-benar berubah.
Perubahan itu hanya berlaku pada dirinya dan anak mereka. Terhadap orang lain, Yohana tetaplah pribadi yang lembut dan penuh kasih sayang.
Pemahaman ini menghantam Gilbert seperti pukulan tak terlihat.
Hatinya bergetar, seolah ada sesuatu yang tercabut dari dalam dirinya.
Sensasi aneh yang sulit dijelaskan membuatnya merasa kosong dan tersesat.
Di dalam kelas.
Hari pertama Yohana mengajar, dia memulai dengan memperkenalkan diri. Suaranya lembut, tetapi tegas hingga bisa menarik perhatian semua murid. Setelah itu, dia mulai memanggil nama satu per satu untuk memastikan kehadiran.
Namun, saat nama "Leonardi Yonar" dipanggil, tidak ada yang menjawab.
Di sudut kelas, Leonardi duduk seperti seorang pangeran kecil, bersandar santai di kursinya dengan kaki disilangkan.
Teman sebangkunya dengan hati-hati menyenggol lengannya dan berbisik, "Leonardi, guru memanggilmu."
Leonardi melirik dengan pandangan tajam. "Kamu pikir aku tuli?" balasnya.
"Kalau begitu, kenapa kamu nggak menjawab 'hadir'?"
"Aku malas menjawab. Apa urusanmu?"
Menghadapi pembuat onar sekolah itu, teman sebangkunya hanya bisa menunduk takut dan duduk diam, tidak berani berkata lagi.
Yohana tidak menoleh ke arahnya. Dia tetap tenang, matanya tertuju pada daftar nama di tangannya. Suaranya terdengar datar, tetapi penuh makna.
"Leonardi bukan bagian dari kelas kita? Kalau bukan, aku akan mencoretnya dari daftar. Dengan begitu, dia nggak perlu ikut Olimpiade Nasional bulan depan. Kuota itu bisa diberikan kepada murid lain."
Kalimat itu langsung membuat Leonardi gelisah di kursinya.
Dia memang suka membuat onar, tetapi cintanya pada matematika tidak main-main.
Terlebih lagi, dia sangat ingin mengikuti Olimpiade itu dengan satu tujuan besar, semata-mata untuk membuktikan sesuatu kepada seseorang yang telah meninggalkannya, membuat orang itu menyesal.
Dengan nada tidak ramah, dia menjawab, "Kamu nggak melihat aku di sini?"
Yohana menatap Leonardi dengan wajah tenang, tanpa sedikit pun tanda marah.
"Jadi kamu Leonardi? Kalau begitu, tolong jawab 'hadir'. Jika nggak, aku akan menganggap kamu nggak ada di sini," ujar Yohana.
Suaranya lembut, tetapi penuh wibawa, cukup untuk membuat Leonardi duduk tegak tanpa sadar.
Ketika akhirnya namanya dipanggil lagi, Leonardi dengan ogah-ogahan menjawab, "Hadir."
Yohana meliriknya sekilas tanpa emosi khusus.
Sama seperti dia memperlakukan murid lainnya, dia hanya mengangguk kecil sebagai tanda mengenali.
Namun, sikap acuh tak acuh dari ibu kandungnya sendiri membuat hati Leonardi terasa seperti ditusuk.
Dia menatap Yohana dengan tatapan penuh amarah, seolah ingin melampiaskan rasa kesalnya, tetapi tidak tahu ke mana harus mengarahkannya.
Di saat suasana masih tegang, suara pelan datang dari pintu kelas. "Maaf, Bu. Aku terlambat."
Yohana menoleh, melihat seorang anak laki-laki kecil dengan tubuh kurus berdiri di ambang pintu.
Dia tersenyum lembut dan berjalan mendekat. "Kamu pasti Samuel Halim, ya?"
Anak itu mengangguk sopan. "Benar, Bu Guru."
"Lain kali jangan terlambat lagi, ya. Sekarang silakan duduk."
Anak laki-laki itu menyalami Yohana dengan penuh kesopanan. "Terima kasih, Bu Guru. Aku nggak akan terlambat lagi," janjinya.
Namun, ketika dia berjalan menuju bangkunya, terlihat jelas dia pincang.
Yohana segera memanggilnya kembali. "Samuel, tunggu. Kakimu kenapa?"
Samuel menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Bu. Tadi aku terburu-buru naik bus dan terjatuh."
Yohana sudah mempelajari latar belakang para muridnya sebelumnya.
Samuel berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ayahnya sudah meninggal, sementara ibunya terbaring sakit parah di rumah.
Anak ini baru delapan tahun, tetapi sudah harus memikul beban besar di pundaknya.
Tidak hanya merawat ibunya yang sakit, dia juga menempuh perjalanan panjang selama satu jam naik bus setiap hari untuk sampai ke sekolah.
Namun, dengan kecerdasannya, dia berhasil masuk ke Kelas Bakat Istimewa.
Sebagai seseorang yang tumbuh besar di panti asuhan, Yohana merasakan simpati mendalam terhadap anak-anak yang berjuang di tengah kesulitan.
Dia mengambil kotak kecil dari mejanya, lalu menghampiri Samuel dan berjongkok di depannya. "Ibu punya plester di sini. Aku bantu bersihkan lukamu, ya? Hati-hati, jangan kena air."
Yohana membersihkan luka di kaki anak itu dengan hati-hati sebelum menempelkan plester bergambar kartun di atasnya.
Samuel tersenyum lebar, matanya berbinar penuh rasa syukur. "Terima kasih, Bu."
"Sama-sama. Ayo, sekarang kita mulai pelajaran."
Interaksi sederhana itu membuat Leonardi mengepalkan tangannya kecil dengan gemas. Di dalam hati, dia menggerutu dengan penuh iri, "Anak sendiri nggak peduli, tapi perhatian sekali ke anak orang lain. Memangnya ada ibu macam begini?"
Matanya bergantian melirik Yohana dan Samuel yang mendapat perhatian khusus, rasa cemburunya hampir meledak.
Waktu berlalu, dan bel pulang sekolah akhirnya berbunyi.
Yohana sedang memastikan para murid berbaris dengan rapi untuk pulang, tetapi dia menyadari ada satu orang yang hilang.
"Di mana Samuel?" tanyanya dengan nada serius.
Seorang murid mengangkat tangan dan melapor, "Bu, tadi waktu pelajaran olahraga, Samuel pergi ke gudang peralatan bersama Leonardi untuk mengambil bola, tapi setelah itu dia nggak kembali."