Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Mendengar ucapan Miranda, jari-jari Yohana tak sadar menggenggam erat, seolah ingin menahan gejolak dalam hatinya. Memang benar, putranya dengan Gilbert adalah hasil dari hubungan singkat mereka setelah mabuk. Awalnya, Yohana ingin menggugurkan kandungan itu. Dia tidak mau orang-orang berpikir bahwa dia menggunakan anak untuk "naik tingkat." Namun, Gilbert menghentikannya tepat sebelum operasi. Dengan tanggung jawab yang terlihat tulus, dia berkata bahwa dia akan menikahinya dan memberikan keluarga yang layak untuk dia dan anak itu. Gilbert memang menepati janjinya. Setelah menikah, dia menjadi suami yang baik dan ayah yang perhatian. Yohana pernah berpikir bahwa hidupnya sempurna. Meskipun kemudian dia tahu semua itu adalah demi melindungi Miranda, dia tidak pernah menyangka bahwa bahkan kehamilannya pun adalah bagian dari sebuah konspirasi. Yohana mencoba menahan emosinya. Dia menyunggingkan senyum kecil, meski hatinya bergetar. "Kamu pikir aku peduli? Nggak peduli apa alasannya, aku tetap orang yang lebih dulu memilikinya sebelum dirimu. Bagiku, dia hanyalah sesuatu yang sudah aku gunakan dan tinggalkan." Wajah Miranda berubah dingin, tetapi dia segera mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya dan menyerahkannya kepada Yohana. "Kalau begitu, lihat ini. Masih bisa tertawa setelah membaca ini?" katanya dengan nada penuh kemenangan. Yohana menatap dokumen itu, matanya langsung tertuju pada bagian utama laporan medis. Pasien: Miranda Diagnosis: Kerusakan serius pada rahim akibat kecelakaan, tidak dapat memiliki anak. Pandangannya kabur sejenak. Di dalam hatinya, muncul sebuah dugaan yang tak bisa dia percayai. Rasa sakit yang seperti mencengkeram jantungnya membuat napasnya terasa sesak. Melihat ekspresi Yohana yang berubah, Miranda tersenyum puas. "Setelah Gilbert tahu aku tidak bisa punya anak, dia berjanji akan memberiku seorang anak, yang akan memanggilku 'Ibu.' Jadi, dia sengaja menjebakmu untuk tidur dengannya," ujarnya. "Kalau nggak, dengan secerdas dirinya, bagaimana mungkin dia membiarkan seorang sekretaris kecil hamil begitu saja?" "Yohana, sejak kamu pertama kali masuk ke Grup Yonar, kamu sudah hidup untukku, menjadi tamengku, melahirkan anakku." "Dari awal sampai akhir, kamu hanyalah alat bagi Gilbert. Jadi, apa hakmu untuk merasa lebih baik dariku?" Selama ini, Yohana mengira bahwa menggunakan dirinya sebagai tameng adalah perbuatan terburuk yang dilakukan Gilbert padanya. Namun, sekarang dia sadar, pria itu tidak pernah berhenti menyakitinya. Menggunakannya sebagai alat untuk melahirkan anak adalah penghinaan yang jauh lebih besar. Dia bukan hanya pelindung Miranda, tetapi juga mesin pembuat anak yang direncanakan dengan dingin. Dan yang paling menyakitkan, Yohana di masa lalu benar-benar percaya bahwa semua kebaikan Gilbert adalah karena cinta. Padahal, semuanya hanyalah bagian dari rencana besar. Hatinya terasa hancur. Bukan karena dia tidak dicintai oleh Gilbert, tetapi karena empat tahun hidupnya dihabiskan dalam jebakan pria itu. Selama itu, dia percaya bahwa Gilbert adalah suami yang sempurna, pria yang baik, penuh perhatian, dan bertanggung jawab. Namun, dia baru sadar, dia telah menyerahkan segalanya untuk sebuah kebohongan. Cintanya begitu dalam, begitu tulus, dan begitu total. Bahkan, dia rela mengorbankan mimpinya demi membantu karir pria itu. Dan demi memberinya seorang anak perempuan, dia hampir kehilangan nyawanya sendiri. Yohana benar-benar merasa dirinya dulu begitu bodoh, bahkan tidak menyadari semua kejanggalan di sekitarnya. Dia tertawa kecil, tawa yang penuh dengan sarkasme. Namun, tawa itu bukan ditujukan untuk Miranda, melainkan untuk dirinya sendiri yang dulu begitu naif dan menyedihkan. Dia perlahan mengangkat pandangannya, tatapannya kini dingin, menusuk langsung ke arah Miranda. "Terlepas dari alasan apa pun aku bersama Gilbert, satu hal yang tidak akan pernah berubah, aku adalah wanita pertamanya, dan Leonardi adalah putraku. Itu fakta yang nggak bisa kamu ubah." Ucapan itu membuat Miranda mengepalkan tangan, wajahnya memerah karena marah. "Lalu kenapa? Sekarang mereka berdua milikku. Kamu sudah dibuang oleh mereka, Yohana. Kamu nggak akan pernah mendapatkan cinta mereka lagi. Dalam hubungan ini, kamu hanyalah alat yang dipakai dan dibuang seperti sampah!" Yohana mendengus pelan, senyumnya penuh ejekan. "Aku mungkin diperalat, kamu mungkin berpikir aku pantas menerimanya. Tapi, tahukah kamu? Aku sangat menikmati beberapa tahun itu. Gilbert punya wajah tampan dan otak cemerlang, aku bisa bersamanya tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Aku bahkan punya anak dengan gen yang luar biasa. Bukankah itu keuntungan besar untukku?" Kata-kata Yohana langsung memadamkan api kesombongan di wajah Miranda. Apa yang dia katakan memang benar. Di seluruh kota Lindora, siapa yang tidak ingin bersama Gilbert? Termasuk Miranda sendiri. Namun, selama bertahun-tahun, satu-satunya wanita yang benar-benar bersama pria itu hanyalah Yohana. Bahkan setelah bertunangan selama empat tahun, Gilbert tidak pernah menyentuh Miranda, hampir tidak ada kontak fisik di antara mereka. Hal ini membuatnya terbakar oleh rasa iri yang mendalam. Mata Miranda berkilat merah, hampir seperti ingin meledak. "Yohana, kamu wanita nggak tahu malu! Kalau bukan karena genmu yang bagus, kamu pikir kamu pantas punya anak dari Gilbert?" Yohana tersenyum santai, tanpa sedikit pun terguncang. "Kalau soal nggak tahu malu, aku masih jauh dibandingkan kalian." Setelah berkata begitu, dia berbalik dan pergi, meninggalkan Miranda yang terbakar oleh rasa malu dan amarah. Miranda tidak pernah merasa dihina seperti ini sebelumnya. Dia menggertakkan gigi dan bersumpah dalam hati, "Yohana, aku pasti akan membuatmu membayar semuanya." Ketika dia kembali ke meja, Yohana sudah tidak ada. Namun, kata-kata Yohana terus berputar di kepalanya, menghantui pikirannya. Dengan rasa frustrasi, dia menarik lengan Gilbert. "Gilbert, bisakah aku ikut denganmu ke Elerest malam ini?" Makna di balik kata-katanya sudah sangat jelas, Gilbert tentu saja mengerti. Dia berdiri tanpa menunjukkan emosi, mengambil tas sekolah Leonardi. "Aku akan mengantarmu pulang," balasnya dengan dingin. "Gilbert, kita sudah bertunangan selama empat tahun. Kakiku sudah sembuh hampir sepenuhnya. Kenapa kamu nggak pernah mengizinkanku masuk ke rumah itu? Apa kamu masih memiliki perasaan untuk Yohana? Apa kamu sedang melindungi rumah yang dulu kalian tinggali bersama?" Nada bicara Gilbert berubah dingin. "Miranda, urusanku bukan urusanmu." Tidak mendapat penolakan langsung, Miranda semakin marah. "Gilbert, kamu tahu apa yang Yohana katakan tentangmu? Dia bilang selama bertahun-tahun dia menganggapmu sebagai pria sewaan gratis, bahkan mendapatkan anak dengan gen hebat darimu. Dia bilang dia adalah pemenang dalam hidupnya. Lihatlah, baru saja meninggalkanmu, dia sudah punya anak dengan pria lain. Wanita seperti itu nggak pantas untuk kamu cintai!" Mendengar itu, mata Gilbert semakin gelap, emosi di dalamnya bergolak seperti badai. Yohana menganggapku pria sewaan gratis? Pikirannya terasa seperti dipenuhi racun. Kata-kata itu membuat dadanya sesak, hingga napasnya terasa menyakitkan. Ironisnya, meskipun dulu dia yang meninggalkan Yohana, sekarang dia merasa seolah-olah Yohana yang telah membuangnya. Semakin dia memikirkan hal ini, semakin besar rasa frustrasinya. Dengan ekspresi gelap, dia berdiri, meninggalkan Miranda tanpa sepatah kata lagi. Senin pagi, pukul delapan. Gilbert berjalan masuk ke gedung sekolah dengan menggandeng Leonardi. Dari kejauhan, matanya langsung tertuju pada Yohana yang berdiri di depan pintu kelas, menyambut para siswa. Hari itu, Yohana mengenakan kemeja ungu pastel yang lembut, dipadukan dengan rok panjang putih. Penampilannya terlihat sederhana namun memancarkan pesona anggun. Senyumnya tetap sama seperti dulu, hangat dan menyembuhkan, seperti sinar matahari di pagi musim hujan. Suara lembutnya menyapa setiap anak yang datang, dia memberikan pelukan kecil kepada mereka sebagai bentuk sambutan pertama. Melihat Yohana seperti itu, gambaran ucapannya beberapa hari lalu, "pria sewaan gratis," kembali terngiang di kepala Gilbert. Dia merasa dadanya sesak. Sudut bibirnya tersungging dingin saat melangkah mendekat bersama Leonardi. Ketika tiba di depan Yohana, wanita itu tersenyum tulus dan menundukkan tubuhnya sedikit, hendak memberikan pelukan pada Leonardi. Namun, bocah itu dengan cepat menghindar, ekspresinya penuh dengan rasa tidak suka. Dia menatap Yohana dengan pandangan meremehkan, lalu berkata, "Kamu hanya ingin memelukku, makanya kamu memeluk semua anak di sini, 'kan? Jangan kira aku nggak tahu." Setelah berkata demikian, dia langsung masuk ke dalam kelas dengan tas di tangannya, tanpa memberi Yohana kesempatan untuk membalas. Yohana menghela napas kecil, mengerutkan kening dengan rasa tak berdaya. Namun, sebelum dia sempat mengatakan apa pun, suara rendah dan dingin dari belakang membuat tubuhnya menegang. "Anak dari pria sewaan gratis, bagaimana mungkin tahu sopan santun? Barang murahan memang nggak akan pernah menghasilkan sesuatu yang baik. Jadi, jangan terlalu dipikirkan, Bu Yohana."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.