Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 5

Suasana di ruang UKS begitu sunyi. Nindi membuka mulut, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar. Rasanya semua kata terasa hambar dan sia-sia di saat seperti ini. Lagi pula, dia sudah berkali-kali mencoba menjelaskan di masa lalu, tetapi Kak Nando tak pernah percaya padanya. Nando menelan ludah, lalu akhirnya melepaskan genggaman tangannya. Dia menatap Nindi dengan kecewa, "Kalau kamu terus begini, nanti saat Kak Darren pulang, aku pun nggak bakal bisa melindungi kamu lagi. Pikirin baik-baik." Setelah mengatakan itu, Nando berbalik dan pergi meninggalkan kamar. Nindi menghela napas panjang seperti merasa lega, lalu bersandar kembali ke kepala tempat tidur. Namun, matanya menyiratkan sindiran pada dirinya sendiri, apa lagi yang harus dipikirkan? Mengulang semuanya seperti di kehidupan sebelumnya? Menunduk, bersikap hati-hati, dan berusaha menyenangkan mereka, tetapi pada akhirnya diusir dari rumah, dituduh gila, dan mati mengenaskan di rumah sakit jiwa? Tidak, dia tidak mau lagi hidup seperti itu. "Tuh, pakai ini." Tiba-tiba, di depannya muncul sekantong es yang dibalut kain kasa. Nindi mengambilnya dan menempelkan ke pipi yang merah dan bengkak akibat tamparan tadi. Sambil melirik pria di sebelahnya, ia berkata pelan, "Tadi … makasih, Kak." Suara Cakra terdengar dingin, "Kenapa kamu nggak coba jelasin ke mereka?" Nindi menunduk, memaksakan sebuah senyuman pahit, "Kak percaya nggak? Aku sudah sering banget jelasin, bahkan bawa bukti segala, tapi mereka tetep nganggep aku bohong." Cakra tidak langsung membalas, ruangan menjadi hening kembali. Nindi tidak berniat bicara lebih jauh. Lagi pula, banyak orang luar yang sama seperti keluarganya. Tidak ada yang mau percaya bahwa dia tidak bersalah. "Susah buat nggak percaya, sih." Nindi tertegun, apa dia barusan dengar itu benar? Dokter itu percaya dengan apa yang dia katakan? Cakra melangkah lebih dekat, tangannya menyentuh kening Nindi sebentar, "Suhu badannya sudah turun." Sentuhan tangan Cakra yang dingin terasa nyaman. Rasa sakit di tubuhnya mulai menghilang sedikit demi sedikit. Nindi melirik ke pergelangan tangan pria itu, "Kak, bekas luka di tangan itu, bekas kecelakaan ya?" Cakra terhenti sejenak, lalu dengan cepat menarik tangannya kembali. Dia melepas kantong infus kosong, kemudian menjawab, "Iya, ini bekas kecelakaan." Dia bersandar di meja, membelakangi Nindi. Siluet wajahnya melawan cahaya, sehingga ekspresinya agak sulit terlihat. "Aku juga punya bekas luka," Nindi berkata sambil menarik sedikit ujung roknya ke atas, menunjukkan bagian pahanya, "Lihat, mirip nggak sama punya Kakak?" Cakra menoleh sekilas dan melihat luka itu di atas kulit Nindi yang putih. Luka itu terlihat kontras, membuatnya tampak mencolok. Karena merasa roknya terlalu tinggi tersingkap. Dia melirik sejenak, lalu cepat-cepat menoleh, "Kamu jangan sembarangan angkat rok di depan laki-laki." "Tapi Kakak 'kan dokter." Cakra menelan ludah. Tetapi 'kan dia tetap seorang pria. Apa tidak ada yang mengajarinnya soal ini? Cakra kemudian berkata, "Bekas luka itu bisa dihilangin. Kenapa nggak coba obatin?" Ekspresi di wajah Nindi sedikit memudar, jantungnya terasa nyeri berulang kali. Dulu, Kak Sean pernah bilang kalau luka itu adalah simbol keberadaan orang tuanya, dia menjanjikan bahwa suatu hari akan meluangkan waktu untuk menghilangkan bekas luka itu sendiri. Dia percaya. Namun, akhirnya Kak Sean menatap luka itu dengan jijik, mengatakan kalau dia membenci bekas itu. Kak Sean menyalahkan Nindi atas kematian kedua orang tua mereka. Luka itu, katanya, adalah tanda yang akan selalu mengingatkan bahwa Nindi lah yang telah membawa tragedi ke keluarga. Saat itu, hati Nindi hancur, dia benar-benar percaya kalau semua itu salahnya. Dan sejak itu, dia semakin berusaha keras untuk menyenangkan kakak-kakaknya. Kenangan itu membuat napasnya sesak. Namun, dia tidak bisa mengungkapkan alasan ini kepada Cakra. Sebagai gantinya, ia bertanya balik, "Kalau Kakak, kenapa nggak diobatin?" "Aku laki-laki, nggak terlalu penting. Kalau kamu, cewek, lebih baik dihilangin." Nindi memaksakan senyuman yang getir, "Nanti aja, deh." Melihat Nindi menunduk seperti itu, Cakra tidak berkata apa-apa lagi. Dia duduk di kursi sebelah, lalu menyalakan TV, membiarkan keheningan melingkupi mereka. Nindi memperhatikan layar TV. Ternyata itu adalah siaran langsung pertandingan game, dan pemain di sana adalah Kak Leo, yang saat ini sedang berkompetisi. Kak Leo sengaja absen dari acara Sania hanya untuk turnamen ini. Sayangnya, di kehidupan sebelumnya, ia kalah dari Mario Julian, putra bungsu keluarga Julian di Kota Lorian. Nindi teringat, setelah kalah waktu itu, Kak Leo sempat dihina habis-habisan oleh Mario. Kakaknya Pulang ke rumah dengan amarah membara, Kak Leo akhirnya membentuk tim baru, LeSky Gaming. Tim itu diisi oleh Kak Nando, Kak Brando, Kak Witan, Kak Leo, dan juga dirinya. Meskipun gagal di babak penyisihan, masih ada babak penyisihan ulang. Mereka berhasil lolos dari babak penyisihan ulang, melawan rintangan demi rintangan. Hingga di turnamen nasional, mereka kembali bertemu Mario Julian dan timnya. Saat itu, Nindi rela menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk latihan game, mempelajari karakteristik setiap anggota tim lawan, semua itu demi memastikan mereka bisa menang di pertandingan besar. Dalam permainan, Sania memang tidak ikut serta. Bakat gaming-nya tidak terlalu bagus, hanya cukup jadi cadangan. Namun, bagi Nindi momen-momen bermain bersama kakak-kakaknya terasa seperti kebahagiaan kecil tanpa gangguan dari siapa pun. Dia bahkan tidak sempat mempersiapkan Ujian Bersama Masuk Perguruan Tinggi karena pertandingan e-sport ini. Namun, di saat mereka berhasil memenangkan pertandingan penting, dan gelar juara nasional sudah di depan mata, kakak-kakaknya mendadak menghentikan permainan. Dia digantikan oleh Sania di babak terakhir. Pada akhirnya, mereka memang memenangkan kejuaraan dan menjadi juara nasional. Namun, Nindi hanya bisa menatap kakak-kakaknya dan Sania, yang berdiri di podium kemenangan. Sania memeluk piala itu erat-erat, berada di tengah mereka, tersenyum dengan sangat bahagia. Melihat layar TV saat ini, hatinya terasa seperti berlubang, sebuah luka yang tidak pernah bisa tertutupi. "Eh, kenapa nangis? Ini kan cuma siaran game, nggak perlu sampai segitunya, 'kan?" Nindi tersadar, kembali ke realita. Ia buru-buru menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Barusan, ia terlalu tenggelam dalam kenangan sampai lupa mengendalikan emosi. Sebuah tisu muncul di depannya, tangan Cakra yang panjang dan ramping membuat tisu itu terlihat elegan. Nindi mengambil tisu itu dengan canggung, lalu bertanya dengan pelan, "Kakak bisa main game ini?" "Fokus utama kamu sekarang itu belajar buat ujian, bukan main game!" Jawab Cakra sambil bersandar santai di kursi, pandangannya tetap tertuju pada layar TV. Nindi juga kembali menatap pertandingan itu, dengan nada serius, ia berkata, "LeSky Gaming bakal kalah." LeSky Gaming adalah tim di mana Kak Leo bermain. Sudut bibir Cakra terangkat sedikit, suaranya tenang dan santai, "Kayaknya kamu cukup jeli, ya." Benar saja, pertandingan berakhir tanpa kejutan, LeSky Gaming kalah telak. Nindi melihat layar siaran langsung Drego. Di sana, wajah Kak Leo terlihat sangat buruk, bahkan dia sampai membanting keyboard. Tidak heran juga, Kak Leo memang terkenal dengan temperamennya yang selalu meledak-ledak. Melihat Kak Leo kalah dalam pertandingan, Nindi justru merasa sedikit senang. Karena itu berarti, saat Kak Leo pulang nanti, ia pasti harus merombak tim e-sport LeSky Gaming. Namun, kali ini, Nindi tidak akan mau lagi bertanding untuk keluarga Lesmana. Dia ingin bertarung untuk dirinya sendiri, menjadi pemain profesional, menghasilkan uang sendiri, melanjutkan kuliah, dan mandiri tanpa harus bergantung pada keluarga Lesmana. Dia sudah terlalu lelah hidup di bawah ancaman seperti diputus uang bulanan agar dia patuh, atau disuruh menyerah masuk universitas top hanya untuk masuk ke universitas biasa tempat Sania kuliah. Nindi ingin bebas secara finansial, agar bisa benar-benar lepas dari kontrol keluarga Lesmana. Saat ini, jadi pemain e-sport profesional mungkin belum dianggap pekerjaan yang menjanjikan secara komersial. Namun, Nindi tahu, tahun depan dunia siaran langsung bakal booming, dan pemain e-sport bisa menghasilkan banyak uang dari sana. Berdasarkan pengalaman di kehidupan sebelumnya, Nindi yakin ini adalah cara tercepat dan paling efektif untuk mencapai kemandirian. Nindi diam-diam membuat keputusan. Setelah siaran pertandingan selesai, Cakra melirik ke arahnya, lalu berjalan mendekat untuk melepas jarum infus dari tangannya. Sambil menekan tangan Nindi dengan kapas, dia berkata dengan nada datar, "Obatnya udah di meja. Kalau udah selesai, kamu boleh pergi." "Terima kasih, Kak!" Nindi mengambil obat itu dan keluar dari ruang UKS. Baru saja Nindi keluar, seorang pria muda dengan sikap santai masuk ke ruangan. Wajahnya penuh senyum menggoda saat berkata, "Wah, Kak Cakra, jarang-jarang lihat Kakak jadi pahlawan buat nolong cewek. Tapi hati-hati, Kak. Anak cewek tadi itu nggak punya reputasi bagus di sekolah. Di forum sekolah, dia dihujat habis-habisan. Jangan sampai Kakak ketipu!" Cakra bersandar di kursi dengan santai, aura dinginnya sedikit berkurang, digantikan dengan sikap malas-malasan. "Kenapa kamu masih di sini?" tanyanya tanpa minat. "Aku penasaran aja, Kak," jawab Zovan sambil tertawa kecil, "Kenapa Kak Cakra yang biasanya nggak peduli malah datang ke SMA ini jadi dokter sekolah? Bahkan Kakak nggak datang ke pertandingan si Mario tadi. Dia sampai nggak fokus di arena, hampir aja diserang diam-diam sama anak Lesmana itu. Ayo dong, ceritain alasannya, biar aku langsung pergi." Cakra melepaskan masker yang ia kenakan, lalu menggulung lengan bajunya. Di sana, terlihat bekas luka yang besar dan mencolok. Wajah Zovan langsung berubah serius saat melihat itu, "Udah bertahun-tahun, Kak, tapi Kamu masih belum bisa melupakan kejadian itu? Dengar ya, kecelakaan itu bukan salah kamu! Eh, jangan-jangan anak cewek tadi itu …" "Diam!" bentak Cakra dengan suara rendah tetapi tegas. Dia menutup matanya, memberi isyarat kalau dia tidak ingin mendengar apa pun lagi. Zovan hanya bisa menghela napas, dan tidak berani melanjutkan pembicaraannya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.