Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Nindi menunduk, menutup mulutnya dan mulai batuk hebat. Punggungnya yang kurus tampak melengkung, seperti bisa memuntahkan paru-parunya. Brando menatapnya dengan nada tak ramah, "Jangan kira kamu pura-pura sakit untuk terlihat lemah, aku nggak bakal marah, ya? Aku sudah bilang kamu harus bantu Sania di sekolah, ambilin air dan makanan buat dia. Tapi apa yang kamu lakukan? Malah bikin dia, yang lagi sakit, ngambilin makanan buat kamu! Udah gitu, bukannya berterima kasih, malah kamu bikin dia jatuh. Kamu punya hati nggak, sih?!" Nindi menahan batuk sambil menjawab, "Aku nggak dorong dia, itu dia sendiri yang … " "Kamu mau bilang apa? Kalau Sania sendiri yang nggak bisa jaga keseimbangan terus jatuh? Alasan kayak gitu menurut kamu aku bakal percaya? Cepat ngaku, apa itu kamu sengaja?" Mata Nindi memerah, tetapi dia tetap berusaha tegak, "Aku nggak ngakuin itu." "Plak!" sebuah tamparan mendarat di pipinya. Rasa panas langsung menyebar di kulitnya. Namun, rasa sakit di pipinya nggak seberapa dibanding luka di hatinya. Rasanya seperti mati rasa. "Brando, kamu kenapa tampar dia?!" Suara Nando terdengar tegas saat ia berjalan masuk ke ruangan, menahan Brando yang masih emosi. "Kak Nando, dia udah melakukan hal sekejam itu dan nggak mau ngaku juga. Aku nggak mau punya adik yang setega ini, nggak ada rasa bersalah sama sekali!" Di pintu, Sania berdiri dengan tangan yang dibalut perban, wajahnya terlihat penuh kesedihan. Dia berkata pelan dengan mata yang merah, "Kak Brando, aku udah bilang ini salahku, bukan salah Kak Nindi." "Sania, kamu itu terlalu baik. Hari ini aku harus kasih pelajaran ke Nindi supaya dia nggak jadi seperti ini terus!" Brando masih berusaha mendekat ke Nindi dengan marah. Ketika Brando masih ingin bergerak, Cakra tiba-tiba menarik kursi, suara nyaring dari lantai terdengar. Nindi secara refleks menoleh. Cakra berdiri setengah bersandar di meja, wajahnya tanpa ekspresi. Tatapannya dingin, membuat suasana semakin tegang, dia berkata santai, "Kalian ini keluarganya?" Nando mengangguk, "Iya, kami kakaknya." "Dia demam tinggi, 39 derajat, kemungkinan ada infeksi. Selain itu, dia juga kena gula darah rendah dan kelihatan kurang gizi," ucap Cakra dengan nada datar, tetapi kata-katanya tajam. Brando terlihat bingung, "Dia … beneran sakit?" Dia sempat mengira Nindi cuma berpura-pura untuk menghindar dari tanggung jawab. Cakra melanjutkan dengan suara tenang tapi menusuk, "Kalian ini nggak punya mata atau gimana? Mukanya pucat banget, apa itu nggak cukup jelas kalau dia lagi sakit?" Wajah gadis ini pucat dan sakit, sulitkah mengatakan bahwa dia sakit? Brando terdiam sesaat sebelum membalas, "Maksud kamu apa?!" Cakra menatapnya tajam, "Nggak usah ngelak. Walaupun dia cuma adik angkat kalian, kalau udah memutuskan buat mengasuh dia, ya tanggung jawab dong." Mata Nindi memancarkan rasa getir ketika mendengar kata adik angkat. Dia mengangkat kepalanya, matanya penuh dengan sindiran. Nando buru-buru menjelaskan, "Dia adik kandungku, bukan adik angkat!" Cakra mengangkat alis, nadanya tetap dingin, "Kalau bukan kalian yang bilang dia keluarga, aku udah mau lapor polisi karena ada yang melakukan kekerasan terhadap anak di bawah umur di sini." Brando merasa tersudut, tatapannya penuh rasa tak percaya, "Apa yang kamu tahu?! Aku ini cuma ngajarin dia!" Nando terdiam dan tidak tahu harus berkata apa. Dia juga mengira tubuh Nindi cukup kuat, tidak seperti Sania yang langsung sakit hanya karena jatuh ke air. Brando menunjuk ke arah Nindi dengan nada merendahkan, "Kamu nggak ngerti, dia ini selalu pura-pura sakit buat ngindarin tanggung jawab. Kali ini dia sengaja bikin Sania terluka! Ayah Sania meninggal karena nyelametin dia. Kadang aku pengen banget lihat isi hati dia, apakah benar-benar hitam seperti yang aku pikir!" Tenggorokan Nindi terasa perih, tetapi dia tetap diam. Mau bicara apa pun percuma, toh mereka tidak akan percaya padanya. Sania menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. "Ini semua salahku. Aku yang ceroboh, aku yang nggak seharusnya maksa ngambilin makanan buat Kak Nindi." "Memang salah kamu." Suara dingin Cakra memotong percakapan mereka, "Kamu lagi sakit dan harusnya nggak ada di kelas, apalagi berusaha keras buat orang lain. Jangan bikin situasi seolah-olah kamu lemah, terus otomatis jadi pihak yang benar." Mata Nindi melebar, dia menatap dokter sekolah itu dengan bingung. Cakra … dia membela Nindi? Apakah dia benar-benar mempercayai Nindi? Tiba-tiba matanya memerah, hampir menangis. Bahkan seorang dari luar saja bisa memahami apa yang jelas-jelas terlihat. Tetapi kakak-kakaknya sendiri? Tidak. Atau mungkin mereka sebenarnya paham, hanya saja lebih memihak Sania dan memilih untuk pura-pura tidak tahu. Ekspresi Sania langsung membeku. Dalam hati, ia menggertakkan giginya. 'Apa maksud dokter sekolah ini?' Bukankah dia sudah melihat bahwa dirinya sedang sakit, tetapi tetap berusaha mengambilkan makan untuk Nindi? Kenapa dokter ini tidak tersentuh oleh tindakan baik hatinya, malah membela Nindi?' Ini tidak masuk akal. Biasanya, setiap kali dia memakai cara ini, semuanya berjalan sesuai rencana. Sania diam tak bisa berkata-kata, hanya bisa menundukkan kepala dengan wajah penuh rasa iba. Brando maju untuk membela Sania, "Sania tetap masuk sekolah walaupun sedang sakit, karena kurang dari seratus hari lagi akan ada ujian masuk perguruan tinggi. Dia nggak mau ketinggalan pelajaran. Dia bermaksud baik untuk memperbaiki hubungannya dengan Nindi, tapi sayangnya, ada orang yang nggak menghargai niat baiknya." Nindi hanya bisa merasa situasi ini lucu sekaligus menyakitkan. Pagi tadi, saat dia keluar rumah, Kak Brando bahkan mengingatkannya untuk memperhatikan Sania, menyuguhkan teh, dan mengurus segala keperluannya. Apakah semua itu tidak mengganggu proses belajar Sania? Ternyata dia juga tahu ujian sudah dekat. Namun, ujian Nindi tidak sepenting ujian Sania, 'kan? Kak Nando akhirnya membuka suara, "Brando, kamu antar Sania pulang dulu supaya dia bisa istirahat." "Kak Nando!" "Kamu sekarang juga mau membantah aku?" Brando langsung diam, lalu membawa Sania keluar dari ruang UKS. Ruang UKS kembali hening. Kak Nando memandang Nindi dengan wajah penuh rasa tidak sabar, "Nindi, kalau kamu nggak mau ngurusin Sania, ya udah, nggak apa-apa. Tapi aku nggak mau kamu ulangin lagi hal-hal kayak tadi." Nindi tetap menundukkan kepala. Tenggorokannya terasa sakit sekali, dia bahkan tidak ingin mengeluarkan sepatah kata pun. Dia menarik selimut dan langsung menutup kepalanya. Dia ingin lagi melihat mereka. "Nindi, kalau kamu terus bertingkah seperti ini, aku juga nggak bisa terus-terusan melindungi kamu." Nada suara Kak Nando mulai naik. Dia mencoba menarik selimut Nindi, "Kamu ikut aku pulang sekarang. Kita harus bicara!" Hari ini, mereka harus menyelesaikan masalah ini. Sania tidak boleh terus-terusan jadi korban. Tepat saat itu, Cakra menahan tangan Kak Nando. Tatapan matanya dingin dan penuh ketegasan, "Biarkan dia di sini sampai infusnya habis. Keluarga silakan tunggu di luar." Cakra berdiri di depan Nando dengan postur yang tegap, memberikan kesan bahwa tidak ada ruang untuk negosiasi. Nindi terkejut, lalu mengangkat wajahnya perlahan. Dia melihat sosok Cakra yang berdiri di hadapan Kak Nando, tampak tinggi dan kokoh. Dia memperhatikan pergelangan tangan Cakra, ada bekas luka mencolok yang tampak kasar dan mencurigakan. Dia sendiri punya bekas luka serupa di kakinya, sisa dari kecelakaan mobil waktu kecil. Apa mungkin Cakra juga pernah mengalami kecelakaan mobil? Nando tidak ingin kalah, "Aku ini kakaknya! Aku harus membawa dia pulang. Di rumah, ada dokter yang bisa merawatnya." "Kalau memang di rumah ada dokter, kenapa kamu membiarkan dia demam selama ini?" Nando sedikit ragu menjawab, terutama setelah melihat wajah pucat Nindi, "Dia nggak bilang apa-apa tentang sakitnya." Lagi pula tadi pagi, dia ingin menyentuh dahi Nindi untuk memastikan kondisinya, tetapi Nindi malah menghindari tangannya. Apa itu salah dia? Mungkin saja Nindi sengaja memperburuk kondisinya supaya bisa lari dari tanggung jawab. Nada suara Cakra makin tajam, "Pak Nando, kalau Anda mencoba membawa dia pergi secara paksa, saya nggak akan ragu melaporkan ini sebagai kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur. Berdasarkan undang-undang, anak yang menjadi korban kekerasan keluarga berhak mengajukan perlindungan diri." "Aku ini kakaknya! Aku wali sah dia!" "Tapi tadi saya juga melihat dengan mata kepala sendiri, anda menampar dia. Itu sudah masuk kekerasan fisik, dan ada rekaman CCTV sebagai bukti. Saya percaya polisi bisa memutuskan dengan adil." Cakra tetap tenang, tetapi ucapannya tegas tanpa ada celah untuk membantah, "Kalau dia nggak mau ikut kalian, kalian nggak punya hak untuk memaksanya." Hati Nindi bergetar, dia mencuri pandang pada pria yang berdiri melindunginya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.