Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3 Memberi Sumbangan

Louis juga berkata dengan tersenyum sinis, "Tadi kamu minta kami mendukung pekerjaanmu. Di tempat seperti ini, yang ada adalah menjual diri. Kalau memang itu yang kamu maksud, sebaiknya kamu telanjang dulu di depan kami. Takutnya kalau ternyata tubuhmu nggak bagus, kami yang rugi. Hahaha ...." Aku memegang botol minuman dengan erat sambil menatap Gerry. Gerry mengisap rokoknya, seolah-olah tidak mendengar sindiran mereka atau mungkin pria itu memang tidak peduli. Satu per satu botol anggur kutaruh, kemudian aku berkata dengan tersenyum, "Kalian salah paham. Pekerjaan yang kumaksud adalah membeli minuman anggur. Mengingat kita pernah menjalin persahabatan, kalau mau pesan minum, kalian bisa pesan minuman melalui aku. Dengan begitu, aku bisa dapat lebih banyak komisi." "Ckck, Nona Amora butuh uang banyak, ya," ucap Sandy sambil mengeluarkan kartu ATM dan menaruhnya di meja bar. Sandy berkata kepadaku seperti sedang menyumbangkan uang, "Ada uang 60 juta di dalam kartu ini. Kalau kamu mau merangkak di lantai sambil menggonggong, uang ini jadi milikmu, bagaimana?" Setelah Sandy berkata seperti itu, semua orang di ruangan langsung tertawa sambil bersiul . Mereka semua menatapku penuh penasaran. Gerry juga menatapku. Ekspresi pria itu tetap tenang, tetapi tatapan matanya masih sulit ditebak. Aku masih terdiam, tiba-tiba Louis juga melemparkan sebuah kartu ATM ke meja bar. "Ini ada uang 20 juta. Kalau kamu bersedia menggonggong dan melayani kami semalaman, uang ini jadi milikmu." Aku menatap Louis dengan wajah terkejut. Keluargaku memang jatuh miskin, tetapi bagaimanapun juga aku adalah istrinya Gerry. Beraninya Louis melontarkan permintaan seperti itu, padahal ada Gerry di ruangan ini. Kecuali, Gerry sudah memberi tahu mereka bahwa kami sudah bercerai dan mengatakan bahwa dia membenciku. Kalau tidak, mereka tidak akan selancang ini merendahkanku seperti ini. "Bukankah kamu butuh uang? Kalau kamu nggak mau melakukannya, buat apa kerja di sini?" ucap Louis sambil tersenyum sinis. "Nominal yang kami tawarkan sangat tinggi. Kalau kamu jual diri di tempat lain, kamu harus melayani banyak pria, baru terkumpul banyak uang." Benar, aku memang butuh uang dan tidak ada gunanya mempertahankan harga diri. Namun, membuang harga diri bukan berarti tidak mengenal batasan. Aku mual melihat senyuman jahat Louis. Aku mengambil kartu ATM berisi 20 juta itu, lalu melemparkan ke arah Louis. Aku sengaja berkata, "Kamu pikir uang 20 juta ini cukup untuk menyewaku semalam? Kalau kamu berani, beri aku 20 miliar!" Aku mengerti kondisi ekonomi keluarga Louis tidak kaya. Dia setiap hari menganggur. Dia pura-pura murah hati di depan orang, padahal sebenarnya dia pelit. Selama keluar makan dan minum denganku dan kakakku, kami yang selalu membayar makanan dan minumannya, bahkan dia nggak mau membelikan tas untuk pacarnya." Orang pelit seperti Louis tidak akan rela kehilangan uang 20 juta. Namun, sekarang Louis berani mengeluarkan uang 20 juta untuk merendahkanku. Ini menunjukkan betapa bencinya dia padaku. Hal ini membuatku merenung, apakah sifatku dulu seburuk itu? "Hahaha, Louis, kamu ini memang pelit. Bagaimanapun juga, dia adalah Nona Amora yang dulunya berasal dari keluarga terhormat. Kamu hanya membayarnya hanya 20 juta, tentu saja kurang." Semua orang di ruangan langsung tertawa. Louis jadi geram. Pria itu memelototiku sambil mengejekku, "Menurutku, nominal 20 juta sudah terlalu tinggi untuk dia." Aku mengabaikan ejekan Louis. Selanjutnya, aku mengambil kartu berisi 60 juta, kemudian berkata kepada Sandy, "Apa yang kamu katakan tadi itu benar? Asal aku menggonggong, uang 60 juta ini jadi milikku?" Sandy tertegun sejenak. Dia tidak menyangka aku menerima tawarannya. Sandy sama pelitnya dengan Louis. Sandy tidak akan rela kehilangan uang 60 juta ini. Sandy menjawab dengan wajah bingung, "Nona Amora yang terhormat, mana mungkin menggonggong di depan kami? Aku hanya bercanda." Sambil berbicara, Sandy mengambil kembali kartu ATM-nya. Aku menjauhkan kartu ATM dari tangannya, kemudian berkata dengan nada serius, "Aku serius, kok. Menggonggong bukanlah hal sulit. Hanya menggongong, aku bisa dapat uang 60 juta, ini adalah pekerjaan yang menguntungkan." Sandy terus menatap ke arah kartu ATM di tanganku dengan wajah kesal. Pria itu terlihat ingin merebut kartu ATM-nya kembali. Sebaliknya, Louis justru senang. Louis mengatakan, "Cepat menggonggong. Kami mau lihat Nona Amora menggonggong ." Aku sudah tidak bisa angkuh seperti dulu. Bayangan para penagih utang, ayah dan ibuku yang meratapi nasib, dan kakaku yang bekerja susah payah selalu menghantui pikiranku. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata, "Oke." Ketika aku perlahan berlutut di lantai, ada seseorang yang memegang lenganku. Aku menoleh dengan wajah terkejut. Mataku bertatapan langsung dengan mata Gerry, jantungku berdebar kencang. "Kalian semua keluarlah." Gerry memerintahkan para pria playboy itu. Tidak lama kemudian, para pria playboy itu kelauar ruangan karena tidak mau membuat Gerry marah. Ketika berjalan melewatiku, Sandy langsung merebut kartu ATM-nya dari tanganku. Sungguh menggelikan! Dengan tatapan serius, Gerry bertanya, "Kamu benar-benar butuh uang?" Aku melepaskan tanganku dari tangannya, lalu menjauh darinya. "Buat apa Pak Gerry tanya kalau sudah tahu jawabannya?" Berita keluargaku jatuh miskin sudah menyebar di seluruh Kota Cendana. Aku yakin Gerry juga sudah mengetahuinya. "Pak Gerry?" Gerry tertawa mendengarnya. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Gerry. Aku juga malas berdebat dengannya. Sambil menunjuk minuman anggur di atas meja bar, aku mengatakan, "Pak Gerry, aku sudah mengantarkan minuman yang kalian pesan. Kalau Anda merasa pelayanan saya memuaskan, tolong beri saya uang tip." Gerry menatapku dengan tatapan yang membingungkan. Aku juga tidak sungguh-sungguh meminta uang tip darinya. Sambil tersenyum, aku bersiap-siap keluar. Namun, tiba-tiba Gerry mengatakan, "Aku kasih 20 miliar." Langkahku terhenti. Aku bertanya dengan bingung, "Apa maksudmu?" Gerry berdiri di depanku. Pria itu menatapku lekat-lekat sambil berkata, "Aku kasih 20 miliar, temani aku malam ini." Bibirku agak bergetar. Ingin sekali aku berkata, "Kamu gila!" Namun, sekarang Gerry sudah jadi orang kaya. Dia bukan lagi orang jujur yang selalu direndahkan orang. Aku menahan emosiku, kemudian bertanya, "Pak Gerry, berhentilah bercanda. Saya masih ada pekerjaan lain, sampai jumpa." "Louis boleh, kenapa aku nggak boleh?" tanya Gerry dengan serius dan nadanya terdengar dingin. Sambil mengernyit, aku bertanya, "Apa maksudnya Louis boleh, sedangkan kamu nggak boleh? Apa yang sedang kamu bicarakan?" "Tadi kamu bilang sendiri, asal Louis memberimu 20 miliar, kamu bersedia menemaninya semalam. Aku bersedia memberimu 20 miliar, kenapa sekarang kamu menolak?" Aku langsung memutar mata. Pria sepelit Louis tidak akan mau kehilangan uang 20 juta, jadi aku sengaja menggertaknya dengan meminta uang 20 miliar. Aku tidak menyangka bahwa Gerry menganggap kata-kataku itu serius. Gerry berdiri di depanku sambil mengepulkan asap rokok ke udara. "Bukankah keluargamu butuh uang? Asal kamu mau menemaniku semalam, uang 20 miliar menjadi milikmu, bagaimana?" Aku mengepalkan tangan dengan erat. Aku tahu Gerry sengaja melakukan ini untuk merendahkanku. Sekuat tenaga, aku menahan rasa sakit di hatiku. Aku berkata dengan tersenyum sinis, "Mentang-mentang kamu sudah jadi kaya raya, kamu merasa dirimu hebat? Benar, keluargaku memang butuh uang, tapi aku nggak sudi mendapatkan uang dengan cara hina seperti itu." Setelah itu, aku berlari keluar dari ruangan sambil berlinang air mata. Aku merasa diriku aneh. Saat teman-teman lamaku dan kakakku merendahkanku, aku tidak merasa sedih. Padahal Gerry merendahkanku dengan cara yang sama, tetapi kata-katanya dengan mudah menusuk hatiku. Sesampainya di lobi, aku melihat kakakku yang masih mengenakan seragam kurir makanan sedang dihina Sandy, Louis, dan lainnya. Demi mendapatkan uang, kakakku bersedia berlutut di depan mereka. Seketika itu juga, harga diriku runtuh. Aku menutup mulutku, air mataku tidak berhenti mengalir. Demi mendapatkan uang yang tidak seberapa, kakakku bersedia berlutut di depan mereka, sedangkan aku bisa dapat 20 miliar dengan menemani Gerry semalam. Buat apa aku mempertahankan harga diriku? Aku berbalik dan berlari menuju ke lantai atas. Semoga Gerry belum pergi. Setelah masuk ke ruangan, aku melihat Gerry duduk di sofa. Pria itu seperti sudah menebak bahwa aku pasti kembali. Dia menatapku sambil tertawa. Aku berdiri di depannya dan bertanya, "Kamu membenciku karena dulu aku merendahkanmu, 'kan?" Tanpa menunggu jawaban Gerry, aku berkata lagi, "Oke. Asal kamu mau bantu membayar utang keluargaku, kamu boleh lakukan apa saja padaku tanpa batas waktu." Gerry menatap gelasnya yang berisi anggur, lalu bertanya dengan tersenyum, "Apa kamu bersedia menjadi kekasih gelapku?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.