Bab 2 Penghinaan
Mataku terbelalak. Sepertinya aku salah dengar, kemudian aku bertanya kepada Gerry, "Apa … apa maksudmu?"
Gerry menatapku lekat-lekat, membuatku gugup.
Gerry tidak menjawab. Pria itu menunduk, jari-jarinya yang panjang menarik tali bahuku ke bawah.
Wajahku langsung merona merah dan mendorong tubuhnya.
Aku berkata dengan marah, "Kalau kamu nggak mau bantu, ya sudah. Aku juga nggak memaksamu membantu kami, tapi jangan hina aku seperti itu."
Gerry menatapku dengan ekspresi yang sukar ditebak, seperti marah, tapi juga tersenyum.
Gerry bertanya, "Kamu anggap aku sedang menghinaku?"
"Bukankah maksudmu memang begitu?"
Wanita yang dicintai Gerry jelas-jelas orang lain. Kalau kata-katanya barusan bukan penghinaan, lalu apa maksudnya?
Gerry tiba-tiba balik badan dan kembali duduk di kursinya. Pria itu menatapku dengan tatapan dingin.
Gerry berkata dengan tersenyum, "Meskipun penampilanmu menunjukkan ketulusanmu, ternyata sikapmu nggak tulus. Karena kamu nggak tulus, pergilah."
Aku sudah menduga Gerry tidak akan mau membantu kami sejak awal. Aku tidak berkata apa-apa lagi, keluar dari kantornya.
Sesampainya di depan pintu keluar perusahaan Gerry, orang tuaku bergegas menghampiriku.
Ayahku bertanya dengan panik, "Bagaimana? Apa dia bersedia membantu kita?"
Aku menggelengkan kepala.
Ayahku marah. "Dasar nggak tahu berterima kasih. Mentang-mentang sekarang dia kaya, lalu melupakan kita. Kalau tahu dia sejahat itu, aku nggak akan izinkan dia menikah denganmu. Menjengkelkan sekali."
Ibuku juga marah. "Benar. Padahal biasanya dia sopan dan penurut, ternyata dia nggak tahu berterima kasih!"
Aku berkata dengan nada tidak berdaya, "Jangan memakinya seperti itu. Pertama, dia bukan anggota keluarga kita. Kedua, dia nggak pernah mengambil harta kita."
"Dulu perlakuan kita terhadap dia sangat buruk, hal yang wajar kalau dia menolak membantu kita."
Wajah orang tuaku tampak masam, tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa lagi.
Melihat ekspresi mereka, hatiku terasa pedih.
Malam harinya, kakakku menghubungi teman-temannya. Kakakku berharap mereka mau membantu.
Dulu kalau kakakku mengajak teman-temannya keluar minum, mereka pasti mengangkat telepon dari kakakku. Namun, sekarang tidak ada satu pun yang berani mengangkat telepon.
Kakakku sangat marah dan melempar ponselnya sambil memaki teman-temannya sebagai pengkhianat.
Aku meringkuk dalam selimut sambil menghibur kakakku, "Sudahlah, Kak. Di zaman sekarang, jarang ada teman yang setia."
Ibuku menangis.
Melihat kondisi keluargaku, mustahil ekonomi kami bisa bangkit. Selain itu, keluargaku juga masih punya utang, yang memperparah kondisi kami.
Setiap hari selalu ada penagih utang datang ke rumah, yang membuat kami tidak memiliki kehidupan normal.
Ayahku membujukku lagi, "Amora, coba temui Gerry lagi. Gerry sekarang sudah kaya, pinjamlah uang darinya."
Ibuku juga berkata, "Benar. Meskipun kalian sudah bercerai, kamu masih bisa berbagi harta dengannya."
Aku meringkuk dalam selimut. Aku tidak memberi tahu orang tuaku bahwa Gerry sudah mengusirku. Kalau mereka tahu, mereka pasti makin memaki Gerry.
Kakakku berkata dengan marah, "Cukup. Berhentilah mempermalukan Amora. Perlakuan kita terhadap Gerry sangat buruk dulu, sekarang kalian menyuruh Amora memohon padanya, bukankah itu sama saja menyuruh Amora mempermalukan dirinya?"
Ibuku langsung bertanya, "Apa Gerry mempermalukanmu tadi pagi?"
Aku menggelengkan kepala. "Nggak … nggak, kok."
Ibuku bergumam, "Benar juga. Gerry biasanya jujur dan patuh padamu. Meskipun kita jatuh miskin, dia masih menyukaimu dan mengagumimu. Dia nggak mungkin mempermalukanmu."
Aku hanya tersenyum, tidak mengatakan sepatah kata pun.
Ayahku menghela napas. Sambil menatap balkon yang tidak memiliki pagar pembatas, ayahku mengatakan ingin bunuh diri lagi.
Ketika Ayahku ingin bunuh diri, ibuku langsung menangis.
Kepalaku makin pusing melihat mereka.
Sebenarnya, yang harus mereka lakukan adalah mengumpulkan uang untuk melunasi utang.
Beberapa hari kemudian, kondisiku sudah mulai membaik. Aku mulai pergi melamar pekerjaan.
Pekerjaan biasa gajinya rendah, uang akan terkumpul lama. Namun, aku tahu gaji sebagai pelayan di klub sangat tinggi.
Dulu waktu pergi minum di klub bersama teman-temanku, kami selalu memberi tip besar kepada pelayan.
Aku pergi ke klub yang sering kudatangi dulu.
Manajer klub mengenaliku. Karena kami kenal dekat, manajer klub menerimaku bekerja di sana. Aku khusus ditugaskan melayani di ruang VIP.
Jika mengantarkan minuman kepada orang kaya, tip yang kudapat pasti banyak.
Aku tidak menyangka bahwa akan bertemu dengan Gerry di ruang VIP.
Gerry tidak pernah datang ke klub, setidaknya pria itu tidak pergi ke klub selama tiga tahun kami menikah.
Dulu Gerry sering melarangku datang ke klub. Setiap kali aku akan pergi ke klub bersama teman-temanku, pria itu selalu menghalangiku dan mengatakan bahwa klub adalah tempat berbahaya.
Setiap kali dia menghalangiku, aku selalu memaki dan mengusirnya.
Kalau teringat masa lalu, Gerry benar-benar adalah pria yang baik.
Namun, sekarang Gerry duduk dengan posisi kaki menyilang dan memegang sebatang rokok di tangannya. Aku melihat senyuman samar di sudut bibirnya yang membuat pria itu terlihat memesona dan misterius.
Ternyata sikapnya yang lembut dan baik selama ini hanya pura-pura.
Gerry menatapku dengan tenang. Kenyataan Gerry sekarang sudah kaya membuatku rendah diri.
Jika aku tahu Gerry ada di ruangan VIP, aku tidak akan mau mengantarkan minuman ke sini.
Ketika aku merasa canggung dan malu, tiba-tiba terdengar siulan nakal di ruangan itu.
Aku langsung menoleh. Aku baru menyadari semua orang yang duduk di sekitar Gerry adalah teman-temanku dan kakakku dulu.
Sialan, sekarang mereka menjilat Gerry,' cibirku dalam hati.
Mereka tahu hubunganku dengan Gerry dulu tidak baik. Sekarang mereka ingin mempermalukanku demi mencari muka di depan Gerry.
Sebaiknya, aku pergi dari sini sekarang.
Aku mendorong kereta minuman dan bersiap keluar. Ada seorang pria menyeletuk.
"Loh, itu 'kan Nona Amora, istrinya Kak Gerry? Kamu kok di sini? Minum? Aduh … Kalau mau minum, bilang dong, buat apa pakai seragam pelayan?"
Setelah pria itu berkata seperti itu, semua orang di ruangan langsung tertawa.
Aku mengencangkan peganganku di kereta dorong dan menarik napas dalam-dalam.
Sudahlah, toh mereka sudah melihatku di sini. Mereka menghina aku pun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik aku tetap layani mereka, siapa tahu aku dapat tip.
Setiap hari selalu ada penagih utang datang ke rumah, ayahku setiap hari bilang ingin bunuh diri, ibuku setiap hari menangis, kakakku bekerja sebagai kurir makanan setiap hari. Buat apa aku masih pedulikan harga diriku?
Aku mendorong kereta minuman ke depan sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
Aku berkata dengan tersenyum kepada mereka, "Kebetulan sekali kalian di sini. Karena kalian di sini, tolong dukung pekerjaanku. Kalau kalian senang dengan layananku, kalian boleh memberiku tip."
"Ckckck …." Sandy tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala.
Padahal dulu waktu mendekati aku dan kakakku, Sandy memanggil aku dan kakakku dengan sebutan kakak. Setelah keluargaku jatuh miskin, sikapnya menjadi sombong, aku ingin sekali menampar wajahnya.
Namun, ini bukan saatnya melawan karena aku butuh uang.
Aku tetap tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa.
Sandy tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arahku, lalu menyindirku, "Lihatlah, lihatlah, apa benar dia adalah Nona Amora yang dulu angkuh? Aku sudah lama nggak melihatnya, kenapa nasibnya jadi menyedihkan sekarang? Ckckck …."
Semua orang di ruangan langsung tertawa.