Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

"Baik, Paman. Sampai jumpa, Paman." Andy menatap Jane dengan ekspresi minta maaf. Lalu, Andy berbalik badan dan kabur. Setelah berurusan dengan Andy, Kevin menatap gadis dalam pelukannya dengan marah. Mungkin kemarahan dalam mata Andy memicu sifat pembangkang Jane, mungkin juga karena pengaruh alkohol, Jane sangat gagah pada saat ini. Jane mendorong Kevin dengan kuat. Matanya merah saat dia berteriak, "Aku bukan anakmu! Dengan status apa kamu mengaturku?" Jane mengembalikan kalimat itu pada Kevin. "Dengan status apa?" Kevin juga marah. Dia membentak dengan suara dingin, "Aku pamanmu!" "Bukan!" Sama sekali bukan. Jane tidak pernah berharap Kevin adalah pamannya! Jane memelototi Kevin dengan matanya yang merah. "Bukannya kamu sudah nggak peduli padaku? Kenapa kamu mengaturku? Nggak usah pura-pura peduli padaku!" Wajah Kevin menjadi masam. Dia menghardik dengan suara serak, "Coba katakan lagi." "Aku nggak ...." Sebelum Jane selesai berbicara, dunianya berputar. Saat Jane sadar, Kevin menggendongnya di bahu dan meninggalkan bar. "Akulah yang membesarkanmu. Mengaturmu atau nggak, itu keputusanku." Jane melawan di sepanjang jalan, tetapi tubuhnya lemas karena sedang mabuk. Jane dengan tidak berdaya dibawa oleh Kevin ke mobil dan dimasukkan ke kursi belakang. Kevin juga duduk di kursi belakang. Kevin dengan galak membantu Jane memasang sabuk pengaman, lalu memasang sabuk pengaman kursinya. Kevin memerintahkan sopir, "Pulang ke rumah." "Nggak mau!" Jane menangis sambil berteriak, "Itu bukan rumahku!" Kevin naik pitam. Kevin memegang dagu Jane dan mengernyit saat bertanya, "Apa katamu?" "Kamu nggak pernah pulang! Aku sendirian di sana. Rumah macam apa itu?" Jane menangis dengan sedih. Dia memprotes, "Kalau kamu mau, kamu baik padaku! Kalau kamu nggak mau, kamu meninggalkanku! Kamu nggak pernah tanyakan pendapatku. Kamu nggak menghargaiku. Aku membencimu! Aku benci kamu!" Kevin terdiam di tempat. Tangisan Jane membuat hatinya resah dan sakit. Benci? Kapan Jane pernah berbicara seperti itu padanya dan bersikap begitu sedih di depannya? Kevin mengembuskan napas. Kevin memeluk Jane dengan tak berdaya dan pasrah, lalu menghibur Jane dengan suara lembut, "Maaf, maafkan Paman. Paman terlalu sibuk di perusahaan, bukan sengaja nggak pulang. Bisa nggak Jenny maafkan Paman?" Jenny. Jenny. Sudah lama sekali. Saking lama, Jane lupa kapan terakhir kali Kevin memanggilnya Jenny. Sudah berapa lama Kevin yang begitu lembut dan begitu menyayanginya tidak pernah muncul? Sejak malam konyol itu, Kevin tidak pernah memeluknya lagi dengan begitu lembut. Jane menangis terisak-isak. Jane terlalu mendambakan pelukan hangat Kevin. Jane memeluk Kevin dengan sekuat tenaga dan membenamkan kepalanya ke dada Kevin yang hangat. Kesedihan dalam hati Jane meluap. Benar saja, Kevin hanya akan bersikap lembut padanya di dalam mimpi. Jane memimpikan Kevin dengan lembut menggendongnya dari mobil ke kamarnya, membaringkannya di kasur, mengelap wajahnya, dan melepas sepatunya. Kevin juga memberinya minum air madu. Itu adalah mimpi yang jauh lebih manis dari air madu. Jane enggan bangun karena menginginkan lebih banyak. "Sudah, tidurlah. Semuanya akan baik-baik saja begitu kamu bangun." Kevin membungkus Jane dengan selimut, lalu hendak berdiri. Jane tiba-tiba meraih tangan Kevin. Tangan Jane sangat panas. Kevin dapat merasakan detak jantung Jane yang kuat dari ujung jarinya. Kevin membeku di tempat. Kevin ingin menarik tangannya, tetapi Jane sudah duduk dan memeluk pinggangnya dengan tangan yang lain. Wajah seputih salju itu bersentuhan dengan perut Kevin, halus dan panas. Kevin menarik napas sambil menahan pergelangan tangan Jane. Kevin berujar dengan suara serak, "Jenny, kamu mabuk." Jane tidak menggubris. Kedua tangannya ditahan, maka Jane menggunakan mulut. Jane membuka mulutnya yang lembap. Giginya menggigit kepala ikat pinggang dan menimbulkan suara nyaring. Suara itu bagaikan bunyi lonceng dan membuat tubuh Kevin gemetar. Kevin menjauhkan Jane dengan kuat dan ingin menegurnya, tetapi Jane sudah memejamkan mata dan terlelap. Kevin menatap bibir Jane yang nakal itu dengan kesal. Sambil menopang pipi Jane dengan telapak tangan, Kevin dengan kuat menggosok bibir Jane dengan ibu jari. Kevin baru berhenti ketika bibir Jane merah dan bengkak. Keesokan pagi, Jane terbangun dengan sakit kepala, seakan-akan ada orang yang mengebor kepalanya. Bibirnya juga sakit hingga mati rasa. Saat mandi, Jane baru sadar bibirnya merah dan bengkak, seperti alergi! Apa yang terjadi kemarin malam? Apakah dia alergi karena mengonsumsi sesuatu? Dia sepertinya tepergok di bar oleh Kevin dan dibawa pulang. Lalu? Lalu .... Dia menggigit kepala ikat pinggang Kevin! Mungkinkah bibirnya bengkak karena terbentur kepala ikat pinggang? Serius? Sekeras itu? Salah, itu bukan poin pentingnya. Poin pentingnya adalah dia sekali lagi mabuk dan mengganggu Kevin dengan tidak tahu malu! Jane menutupi wajahnya dalam diam. Dia ingin mati saja. Jane sudah memutuskan untuk melupakan cintanya dan memulai hidup baru. Mengapa jati dirinya terkuak hanya karena mabuk? Kevin pasti makin jijik terhadapnya. Jane terlalu untuk menemui Kevin lagi. Jane dengan panik berjalan ke arah jendela untuk mengintip. Tidak ada mobil Kevin di lahan parkir di taman. Barulah Jane lega. Jane membuka pintu kamar dan turun. Alhasil, Kevin sedang duduk di ruang makan dan menyantap sarapan. Jane terdiam di tempatnya dan ingin kabur. Kevin tiba-tiba menoleh ke sana. Kevin menatap Jane dengan matanya yang kelam dan bertanya dengan suara rendah, "Masih mabuk?" Jane merasa sangat canggung. Dia menggelengkan kepala dan tergagap. "Nggak, nggak." "Kenapa bengong saja? Sini, makan sarapan," perintah Kevin. "Oke." Jane berjalan ke seberang meja panjang dengan bertele-tele. Jane menyantap sarapan dalam diam, sebisa mungkin menghilangkan keberadaannya. Jane berharap Kevin dapat mencuekinya seperti biasa. Akan tetapi, Kevin tidak bertindak sesuai keinginan Jane. Kevin menaruh cangkir kopinya. Lalu, dia berujar, "Cepat makan. Kita berangkat bareng ke perusahaan." Nada suara Kevin tegas tak terbantahkan. Jane nyaris tersedak. Dia terbatuk-batuk dan menolak. "Nggak, nggak perlu. Aku bisa naik taksi." Kevin mengernyit dengan jengkel. Sejak kemarin malam, Jane terus menolaknya, membantahnya, dan membangkang. Kevin sengaja mempersulit Jane. "Kamu mogok kerja?" Jane langsung berdiri tegak. "Nggak!" "Kalau begitu, pergi bersamaku," ucap Kevin dengan ekspresi dingin. Kevin tidak memberinya kesempatan untuk menolak. Jane tidak punya pilihan selain setuju. Jane menyantap sarapan dalam diam. Sesaat kemudian, ponsel Kevin berdering. Jane mendongakkan tatapan. Jane melihat ekspresi Kevin langsung menjadi lembut, bahkan tersenyum. Seketika, suasana hati Jane menjadi murung. Orang memang berbeda-beda. Cinta atau tidak selalu dapat dilihat dengan sekilas pandang. Kevin dengan lembut berbicara di telepon. Jane dengan peka mendengar bahwa Kevin akan menjemput orang itu. Setelah Kevin mengakhiri panggilan telepon, Jane buru-buru berkata, "Paman pergi dulu saja kalau sibuk, aku bisa berangkat sendiri. Aku akan masuk kerja tepat waktu dan bertanggung jawab atas pekerjaanku, nggak akan mogok kerja." Kevin mengernyit lagi. Mata hitam menyiratkan ekspresi yang tidak dimengerti oleh Jane. Jane menolaknya lagi. Kevin tidak suka Jane menolaknya dan menjauhinya. Kevin menghabiskan seteguk kopi terakhir dan menaruh cangkir kopi di meja dengan kuat karena marah. Wajah Kevin saat dia berujar, "Terserah kamu." Lalu, Kevin berdiri dan meninggalkan meja makan. Jane memusatkan perhatian ke taman di luar. Melihat mobil Kevin melaju pergi, Jane mengembuskan napas dengan sedih. Dalam persaingan dengan Lily, Jane tidak pernah menang dan tidak pernah terpilih. Dia seharusnya sudah terbiasa. Mengapa masih merasa sedih?

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.