Bab 13
Carlos berbalik menghadap kolam, lalu menatap permukaan air dengan mata berbinar-binar.
"Lihat apa? Lagi-lagi kamu mengalihkan topik."
"Siapa yang mengalihkan topik! Aku suruh kamu lihat permukaan air!"
"Memangnya permukaan airnya kenapa? Kenapa kamu seterkejut itu?"
Carlos menatap Callista dengan putus asa, menunjuk ke permukaan air, dan berkata, "Sebelumnya aku selalu heran kenapa air di kolam ini sangat jernih padahal cuma ada satu saluran keluar."
"Tadinya aku pikir ini air dari air terjun. Air tanpa sumber memang sangat jernih. Tapi sekarang aku baru sadar kalau permukaan airnya mengalir."
"Memangnya kenapa kalau mengalir? Kenapa kamu sangat bersemangat?" Callista masih terlihat bingung dan bertanya dengan penasaran.
Carlos makin merasa putus asa. Kalau Elena ada di sini, dia pasti sudah menyadarinya.
Dia menunjuk ke permukaan air dan berkata, "Airnya mengalir, ini menunjukkan kalau ini adalah sungai bawah tanah. Tempat ini pasti terhubung dengan tempat lain. Dengan kata lain, kita punya kesempatan untuk bertahan hidup!"
Setelah mendengar perkataan Carlos, Callista terdiam sejenak dan akhirnya tersadar.
"Maksudmu, kita bisa keluar dari sini?"
"Ya. Jangan-jangan kamu nggak bisa berenang?"
Carlos menatapnya dengan curiga.
"Mana mungkin? Aku ini seorang travel blogger terkenal. Aku bahkan pernah menyelam di Paraya dan berenang di Trailen … " kata Callista dengan percaya diri sambil membusungkan dadanya dengan bangga.
Namun, sebelum dia selesai bicara, Carlos memotong kata-katanya tanpa sungkan.
Dia mengibaskan tangannya dan berkata, "Sudah, sudah, jangan pamer di sini. Yang mau kutanya itu kamu berani ikut berenang keluar dari sini denganku atau nggak?"
"Ini … "
Entah kenapa Callista yang sebelumnya menangis ingin keluar sekarang agak ragu-ragu.
"Kenapa? Apa kamu nggak mau pergi sekarang?"
"Tentu saja bukan gitu. Carlos, aku cuma ingin tahu, apa sungai bawah tanah ini pasti bisa membawa kita keluar? Apa kita pasti bisa menemukan pintu keluar dengan berenang keluar dari sini?"
Callista langsung menanyakan kekhawatirannya, yang juga merupakan hal yang dikhawatirkan oleh Carlos.
Carlos tertawa pahit dan menggelengkan kepala.
"Tentu saja nggak 100% pasti. Saluran sungai bawah tanah sangat rumit dan aku juga nggak tahu ke mana sungai ini mengalir."
"Mungkin kita akan berhasil menemukan jalan keluar atau mungkin kita akan terus mencari tanpa hasil, lalu akhirnya kehabisan tenaga dan mati di sungai ini."
"Aku mau mencobanya. Aku nggak mau tinggal di sini dan mati. Kamu berani mencobanya sekali nggak?"
Wajah Callista menjadi pucat. Setelah ragu untuk waktu yang lama, akhirnya dia menggigit bibirnya dan mengangguk.
"Kalau kamu berani, aku juga berani. Meski mati di sini juga nggak rugi. Itu lebih baik daripada duduk di sini dan menunggu kematian!"
"Oke, ayo kita pergi sekarang juga. Aku nggak mau tinggal di tempat menyeramkan ini lagi!"
Perkataan itu membuat Carlos memandang Callista dengan kagum dan memberinya tatapan penuh penghargaan.
Mendengar perkataan kekanak-kanakan Callista, Carlos tersenyum dan berkata, "Sekarang belum bisa pergi soalnya kita belum makan. Berenang tanpa tenaga sangat mudah kram di bawah air. Ayo cari sesuatu untuk dimakan dulu."
Sambil berbicara, Carlos berlari ke sekitar kolam dan meraih ke bawah untuk mencari siput air.
Pada siang hari di bawah sinar matahari, mencari siput sangatlah mudah, apalagi jumlah siput di bawah air sangat banyak.
Carlos menemukan segenggam siput dengan mudah, lalu melemparkannya ke dalam api unggun yang belum sepenuhnya padam.
Dia memerintahkan Callista untuk mengubur siput di dalam api unggun sehingga suhu sisa api bisa memanggang siput hingga matang.
Setelah itu, Carlos membalikkan beberapa batu keras dengan susah payah untuk mengumpulkan lumut di atasnya, mencucinya di dalam air, dan meletakkannya di atas daun.
Sarapan sederhana sudah siap.
Keduanya duduk di depan api unggun dan memakan lumut yang berhasil mereka kumpulkan dengan susah payah sampai habis. Kali ini Callista tidak bersikap manja. Dia makan dengan lahap.
Setelah makan lumut, siput panggang juga sudah matang sempurna dan mereka memakannya sampai kenyang.
Setelah makan, Carlos menggerakkan tubuh untuk melakukan pemanasan, lalu bersiap untuk terjun ke air.
Sebelum terjun, dia melepaskan jaketnya dan menaruh korek api di tempat yang aman.
Setelah itu, Carlos melepaskan celananya sehingga sekarang dia hanya mengenakan celana dalamnya.
Pemandangan ini membuat Callista tercengang.
Callista secara refleks menutupi dadanya sendiri.
"Kamu mau ngapain, Carlos? Jangan-jangan mau bersenang-senang dulu sebelum mati?"
"Kalau kamu benar-benar mau … ya sudah! Aku bersedia!"
Sambil berkata begitu, Callista melepaskan jaketnya dengan malu-malu.
Carlos sekali lagi terkejut dengan jalan pikiran Callista. Ini membuat kepalanya terasa pusing.
"Kamu bersedia, tapi aku nggak. Aku melepas pakaian untuk menyelamatkan diri."
"Mengenakan banyak pakaian di bawah air sama saja dengan bunuh diri. Bukan cuma aku yang harus melepasnya, kamu juga sama."
"Cepat lepaskan pakaian yang bisa dilepas."
Callista melihat pakaiannya sendiri dengan ragu. "Tapi kalau kita benar-benar berhasil melarikan diri, bukannya kita akan mati kedinginan karena nggak punya pakaian?"
"Kamu bodoh, ya? Setelah kita berhasil melarikan diri, kita tinggal cari cara untuk turun dan mengambilnya."
Setelah mendengar kata-kata ini, Callista tidak ragu lagi. Dia segera melepas pakaiannya hingga hanya tersisa pakaian dalam dan celana dalam.
Angin dingin berembus dan membuat Callista menggigil.
Carlos melirik Callista dan diam-diam bersiul dalam hati.
Callista terlihat biasa saja saat mengenakan pakaian, tetapi setelah melepasnya, ternyata tubuhnya cukup menarik.
Carlos berdeham. "Nggak perlu melepaskan semuanya, sisakan satu kaus tangan pendek saja. Nanti kalau bertemu dengan mereka, mereka akan berpikir aku melakukan sesuatu padamu."
Mereka saling menggoda dan ketegangan pun agak mereda.
Saat matahari sudah sepenuhnya naik ke langit, Carlos memutuskan untuk memimpin Callista melompat ke dalam kolam.
Aksi ini sangat berbahaya. Kalau mereka tidak segera menemukan jalan keluar, mereka akan mati tenggelam dalam sungai ini tanpa jejak.
Sebelum berangkat, keduanya terdiam.
Carlos menarik napas dalam-dalam, lalu melompat ke kolam terlebih dulu.
Setelah terjun, dia langsung merasakan dingin yang menusuk tulang hingga membuatnya menggigil.
Dia mulai berenang dengan sekuat tenaga ke depan. Setelah beberapa saat, dia mencapai aliran sungai bawah tanah.
Untungnya, saluran ini tidak sepenuhnya tertutup, ada sedikit ruang untuk bernapas di atasnya.
Carlos tidak sempat memperhatikan Callista di belakangnya. Dia terus berenang ke depan dan sesekali naik ke permukaan air untuk bernapas.
Entah seberapa jauh Carlos sudah berenang, Carlos merasa suhu tubuhnya makin menurun dan kekuatannya makin terkuras perlahan-lahan.
Dia merasa tangan dan kakinya sangat berat. Setiap kali berenang ke depan, dia menghabiskan banyak sekali energi.
Carlos berusaha keras untuk terus berenang, tetapi di depannya selalu gelap gulita.
Kegelapan menunjukkan tidak ada jalan keluar di depan. Hanya dengan melihat cahaya, ada harapan untuk bertahan hidup.
"Carlos, aku capek banget, aku nggak kuat berenang lagi."
Dalam keadaan setengah sadar, Carlos mendengar suara Callista yang lemah di belakangnya.
Dia berkata dengan suara rendah, "Tahan sebentar lagi, kita akan segera sampai."
Meski dia berkata begitu, kekuatannya juga sudah hampir mencapai batasnya. Dia merasa setiap kali tenggelam ke dalam air, waktunya menjadi makin lama dan napasnya menjadi makin sulit.
Dia bahkan merasa sulit untuk membuka mata.
Apa dia akan mati begitu saja di sini?