Bab 12
Sejak jatuh, Callista menangis terus-menerus. Bagi mereka, menangis tidak ada gunanya sama sekali selain membuang air mata dan garam dalam tubuh.
Kesabaran Carlos hampir habis.
"Jangan menipuku. Sekarang kita sudah mencari setiap pintu keluar, tapi semuanya jalan buntu. Di mana lagi ada pintu keluar?"
Callista berkata dengan terbata-bata.
"Lagian aku nggak nangis karena takut mati."
"Terus karena apa?"
Carlos bertanya dengan penasaran.
Setelah Carlos menanyakan ini, pipi Callista langsung memerah, bahkan kulitnya juga memerah seperti kelinci.
Dia terbata-bata, sangat malu, dan tidak berani bicara.
"Kita sudah bisa dianggap sebagai sahabat sehidup semati, jadi kamu nggak perlu malu. Sebenarnya kenapa kamu nangis?"
"Aduh! Sebenarnya aku merasa sayang banget. Coba kamu lihat, aku cantik banget, 'kan? Badanku juga nggak jelek, tapi sampai sekarang aku belum pernah pacaran dan belum pernah punya pacar, jadi aku merasa ini sangat disayangkan."
Kata-kata Callista membuat Carlos sangat terkejut.
"Gila, kamu masih perawan?"
"Ya."
Callista mengedipkan matanya pada Carlos dengan malu-malu dan mengangguk.
Di zaman sekarang, perawan lebih langka daripada panda raksasa.
Terutama Callista sudah tidak muda lagi. Setidaknya dia sudah lulus kuliah.
Carlos tidak bisa mempercayainya sejenak. Dia memegang dagunya sambil memperhatikan Callista dari atas ke bawah.
"Cih, seharusnya nggak gitu, deh? Kamu juga nggak jelek, mana mungkin nggak pernah lakukan itu?"
Telinga Callista menjadi merah karena ditatap seperti itu oleh Carlos dan dia berkata dengan marah, "Kamu nggak percaya? Aku memang belum pernah punya pacar!"
"Aku percaya, percaya. Tapi sekarang sudah larut, lebih baik kita nggak bicara lagi, simpan sedikit tenaga untuk mencari jalan keluar besok."
Carlos mengubah suasana, berbaring kembali, dan perlahan-lahan tertidur.
Saat hampir tertidur, tiba-tiba dia merasakan lengan yang lembut dan wangi bersandar padanya.
Namun, karena terlalu mengantuk dan bersandar satu sama lain terasa hangat, Carlos tidak mempermasalahkannya dan perlahan tertidur.
Keesokan harinya, Carlos terbangun dan langsung merasa ada yang tidak beres.
Ada lengan yang beraroma harum di lehernya, sementara di kakinya, terdapat paha yang ramping, putih, dan panjang. Bahkan jari kakinya pun berwarna merah muda.
Hal yang lebih parah lagi, ada dua gumpalan yang sangat lembut menempel di punggungnya, bergerak naik mengikuti napasnya.
Carlos langsung terbangun dan melihat ke belakang.
Ternyata Callista sedang tidur dengan nyenyak sambil memeluknya. Kulitnya tampak segar dan halus di bawah sinar matahari, seperti telur ayam.
Carlos secara refleks mengulurkan tangannya, tetapi Callista malah mendekat dan menjulurkan lidahnya untuk menjilati jari Carlos.
Tiba-tiba, Carlos merasakan api yang membara dari kakinya merambat ke perut dan hampir tidak bisa menahan diri.
Untungnya, setelah Callista menjilat, dia menguap, lalu tidur kembali.
"Hmm ... asin, paha ayam ini nggak enak."
Callista bergumam.
Carlos langsung terkejut. "Kamu menganggapku kaki ayam dan malah mengeluh?"
Begitu dia mengatakan itu, Callista memeluknya lagi.
Namun, wajahnya sudah merah seperti terbakar yang membuatnya terlihat sangat imut.
Carlos menarik napas dalam-dalam untuk meredakan dorongan itu, kemudian menatap Callista selama beberapa saat.
Setelah beberapa saat, Carlos berkata dengan yakin, "Callista, kamu pura-pura tidur, 'kan?"
Mendengar kata-kata ini, napas Callista terhenti sejenak dan malah memeluk Carlos dengan lebih erat.
Carlos langsung berwajah muram, mendorong Callista bangkit, dan berdiri. "Masih berpura-pura lagi? Aku sudah melihatnya, tadi matamu terus berkedip, sudah jelas kamu pura-pura tidur."
"Masih pagi tapi sudah menggodaku, kamu sebenarnya mau apa, hah?"
"Hiks … "
Callista membuka matanya, menatap Carlos dengan kesal, dan tiba-tiba mulai menangis dengan suara pelan.
Namun, kali ini dia tidak menangis karena takut atau menyesal, melainkan marah karena Carlos yang tidak peka.
"Aduh, kenapa kamu nangis? Aku nggak menindasmu, loh!"
Carlos mundur lagi satu langkah dan berdiri di dinding dengan waspada.
"Sebenarnya aku berharap kamu menindasku, bahkan lebih baik kalau kamu menindasku habis-habisan."
"Hiks … Kamu ini bodoh. Bukannya semalam aku sudah bilang kalau aku ini masih perawan? Akan sangat disayangkan kalau aku mati seperti ini."
"Sudah semalaman nggak ada orang yang datang. Cabang pohon juga sudah habis terbakar. Kalau nggak ada yang terjadi, kita akan mati malam ini."
"Karena kita akan mati, lebih baik aku memberikan dirimu padamu. Ayo kita tidur bersama, biarkan aku merasakan kenikmatan sebelum mati, gimana?"
Carlos terkejut dengan cara berpikir gadis kecil ini. Dia bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
Tanpa disangka, Callista tetap tidak menyerah. Dia mendekat, lalu memeluk Carlos dan berkata, "Aku sudah seinisiatif ini, apa kamu masih nggak mengerti? Aku cuma ingin merasa nyaman sebelum mati, menjadi seorang wanita sejati sekali saja."
"Apa kamu bahkan nggak bisa mengabulkan keinginanku ini?"
Tidak bisa dipungkiri, kata-kata Callista membuat Carlos sangat tergerak.
Namun, dia segera tersadar. Sekarang masih siang, mereka masih punya kesempatan untuk mencari jalan keluar. Mungkin saja mereka bisa ditemukan oleh teman-temannya.
Oleh karena itu, menyimpan energi sangat penting untuk saat ini.
Kalau mereka punya kesempatan untuk melarikan diri, tetapi karena mencari kesenangan, mereka tidak bisa bertahan sampai bantuan datang, itu akan sangat disayangkan!
…
Carlos menghindari Callista sambil berkata, "Jangan buru-buru dulu. Kita belum tentu akan mati."
"Mau mati atau nggak, aku tetap ingin jadi wanita sejati. Apa kamu bisa mengabulkan keinginanku?"
Sambil berkata begitu, Callista melepaskan celananya dengan berani sampai hanya tersisa celana dalam renda berwarna putih.
Dia menatap Carlos dengan penuh godaan, bahkan menjulurkan lidahnya dan menjilat sudut bibirnya.
Namun, melihat Carlos yang tidak bergerak, Callista bertanya dengan curiga, "Jangan-jangan kamu nggak bisa?"
"Bukannya tadi kamu merasakannya apa aku bisa atau nggak?"
Carlos meliriknya sambil tersenyum sinis.
Begitu memikirkan tentang apa yang baru saja dia rasakan, wajah Callista langsung memerah. Dia menutupi wajahnya dan berkata, "Ah! Dasar cowok mesum!"
"Aku bahkan nggak mengataimu cewek mesum. Pagi-pagi sudah merayuku dan meraba-rabaku."
Carlos berkata dengan kesal.
Callista menutupi wajahnya dengan malu-malu sejenak, lalu tiba-tiba menurunkan tangannya, dan menatap Carlos dengan tajam.
"Kamu mau apa? Jangan-jangan mau memaksaku?"
Carlos bertanya dengan wajah bingung sambil mundur dua langkah.
Tiba-tiba, dia merasa kakinya tergelincir dan jatuh ke tanah. Tangannya juga jatuh ke kolam.
Kalau bukan karena Callista datang tepat waktu dan menariknya, dia hampir terjatuh ke dalam kolam.
Meski kolam ini tidak terlalu dalam, tetapi punya kedalaman beberapa meter. Jatuh ke dalam bukanlah lelucon.
Callista berlari dan menarik Carlos sambil menggerutu dengan kesal.
"Apa mukaku sejelek itu? Atau tubuhku yang jelek?"
"Meski kamu nggak mau tidur denganku, tapi nggak perlu sampai bunuh diri untuk menghindariku, 'kan?"
"Tunggu, Callista, lihat itu!"