Bab 5
Pak Angga juga sudah mencapai usia pensiun, tetapi karena nama Sandy sedang naik daun, dia juga mendapat banyak keuntungan.
"Aku merasa bersalah ke Pak Wibowo." Xena menoleh ke luar jendela.
Waktu itu, Pak Wibowo sangat menghargai dan merawatnya.
Bahkan cucunya sendiri, Wina, tak mendapatkan perhatian sebanyak dirinya.
Namun, alhasil, apa balasan Xena kepadanya?
Membuat beliau pensiun dengan cara yang begitu menyedihkan.
Semua itu terjadi karena dia dimabuk cinta sampai membuat Pak Wibowo kehilangan reputasi.
Air mata mengalir deras dari pelupuk mata.
"Aduh, nggak usah menyalahkan diri sendiri. Kakekku sudah bersaing dengan Pak Angga sejak lama, mereka berdua itu rival abadi. Toh, semuanya sudah berlalu, nggak usah dimasukin hati."
Melihat Xena menangis, membuat Wina agak panik.
Dia tersenyum, lalu mengalihkan topik untuk meredakan suasana. "Kamu merasa sudah membuatnya marah, tapi nggak separah dengan apa yang sudah aku lakukan. Awalnya, dia ingin mendidikku untuk menjadi penerus, tapi apa hasilnya? Aku malah kabur untuk bekerja di dunia keuangan. Hal itu benar-benar membuatnya marah sampai nggak makan tiga hari."
Wina sudah dididik oleh kakeknya sejak kecil, tetapi dia bukan orang yang cocok dengan dunia hukum. Meski dipaksa untuk masuk fakultas hukum, Wina memilih untuk tak bekerja di bidang hukum dan diam-diam melanjutkan studi di fakultas keuangan dan bekerja di dunia keuangan setelah lulus. Bisa dibilang, minat dan bakat itu sangat penting. Wina dari awal memang tak berminat dengan hukum, jadi tak ada guna memaksanya.
"Apa Pak Wibowo baik-baik saja sekarang?" Xena bertanya dengan penuh perhatian.
"Baik, setelah pensiun dan nggak punya pekerjaan, dia menanam bunga serta memelihara burung, tampak sangat bahagia. Di lantai bawah apartemen banyak para lansia yang menari di alun-alun, aku juga menyarankannya untuk belajar menari, tapi aku malah dipelototi dan dibilang gila. Mau gimana lagi, kakek memang orang yang kaku dan kolot."
Wina terdiam sejenak. "Besok, aku akan berkunjung ke rumahnya. Kamu mau ikut, nggak?"
Xena merasa malu.
Karena ulahnya, beliau tak mendapatkan jabatan profesor.
"Tunggu sampai aku punya pekerjaan." Dia menundukkan kepala sembari melihat tangannya sendiri.
Dia harus mendapat pencapaian gemilang agar bisa membalas budi Pak Wibowo yang sudah mendidiknya dengan sepenuh hati.
Saat itu tiba, dia baru berani menemuinya.
Wina tak membujuk, dia hanya butuh waktu.
Pandangannya tak sengaja tertuju ke tangan Xena, Wina mengerutkan bibirnya. "Tanganmu dulu sangat cantik."
Dulu, Wina begitu mengagumi tangan Xena yang memiliki jari ramping nan lembut, kulitnya tampak begitu putih dan halus.
Tak hanya wajah cantik, tetapi tangannya juga sangat indah.
Xena tersenyum pahit, karena Sandy punya misofobia, dia harus membersihkan rumah sampai bersih tanpa noda sedikit pun.
Karena tekanan pekerjaan Sandy begitu besar, dia bahkan belajar teknik pijat khusus untuk memberikan pijatan kepada suaminya ketika lelah.
Setelah melakukan pekerjaan berat untuk waktu yang lama, sudah wajar tangannya menjadi kasar dan jari-jarinya tak semulus dulu.
"Pria bajingan, benar-benar nggak tahu diuntung. Membuatmu seorang lulusan fakultas hukum untuk melayaninya, tapi dia tetap saja selingkuh. Apa nggak takut karma!" Wina mengumpat begitu keras.
Xena hanya bisa tersenyum.
"Oh, ya." Wina seperti teringat sesuatu, saat menunggu lampu merah, dia mengeluarkan kartu nama dari tas dan memberikannya kepada Xena.
"Apa itu?" tanya penasaran Xena.
"Bukannya kamu sedang cari kerja?" Wina tersenyum. "Kubantu memperkenalkanmu ke firma hukum."
Xena menerima kartu nama itu, lalu mengangkat tangannya ke cahaya untuk membacanya, terlihat sebuah kartu nama putih dan tertera sebuah nama. "Jinan Jaelani?"
"Ya." Wina tampak agak bangga.
Namun, Xena merasa gelisah, meski setelah lulus dia menjadi ibu rumah tangga, semua orang yang berkecimpung di dunia hukum pasti pernah mendengar reputasinya.
Alasan Jinan dijuluki sang legenda adalah karena tak ada seorang pun yang tahu latar belakangnya hingga sekarang.
Hanya tahu bahwa dia adalah Raja Neraka di dunia hukum.
Dijuluki sebagai pengacara terkuat di muka bumi, pernyataan tajam yang keluar dari mulutnya mampu membuat hakim bergidik ngeri.
Sering kali membuat hakim pusing, bahkan enggan menghadiri persidangan di mana dia menjadi pengacaranya.
Dia menghadapi berbagai macam kasus luar biasa, ketika semua orang mengira sudah mencapai keputusan akhir, dia memberikan gebrakan yang mampu membalikkan keadaan. Rumornya, tak ada kasus yang tak bisa dia menangkan.
Berdasarkan desas-desus ini, seharusnya tak mungkin bagi Wina bisa mendapatkan kontak orang ini.
Bagaimanapun, dia juga tak berada di lingkup hukum.
Wina yang melihat dia kebingungan, mendengus. "Nggak peduli betapa buruknya aku … tetap saja, aku ini berasal dari keluarga orang-orang hukum. Kakekku adalah profesor di fakultas hukum dan ayahku adalah hakim, hanya aku saja yang nggak berbakat. Meski begitu, aku tetap memiliki koneksi yang bagus. Jangan remehkan aku!"
Xena merasa seperti ada yang janggal.
Jari-jarinya menggenggam erat kartu nama itu.
"Aduh, oke, oke, aku akan jujur. Aku menceritakan masalah perceraianmu kepada kakek, jadi dia ingin membantumu. Kalau kamu belum mencapai apa-apa, jangan berani-berani temui dia." Wina mengungkapkan segalanya.
Ternyata, dia adalah orang yang tak bisa berbohong.
Xena sudah mengiranya.
Pasti Pak Wibowo-lah yang membantunya mencarikan pekerjaan.
Kalau tidak, mana mungkin wanita sepertinya yang sudah menjadi ibu rumah tangga selama empat tahun dan seorang pengacara pemula tanpa pengalaman bisa berhubungan dengan orang penting seperti itu.
"makasih, ya," ucap Xena.
"Hanya berterima kasih padaku?" Wina mengangkat alis sembari tersenyum.
"Saat sudah berhasil mengembalikan reputasi Pak Wibowo, aku akan menemuinya dan minta maaf," ujar Xena.
Dia melihat ke depan.
Tatapan yang begitu tegas.
"Oke, akan kutunggu sampai hari itu tiba." Wina tersenyum.
Mereka berdua berbincang-bincang sampai di kantor polisi.
Wina bertanya, "Apa perlu kutemani?"
"Nggak usah, aku hanya perlu tanda tangan dan langsung bisa membawa mobilnya pergi. Pergi dulu saja." Xena turun dari mobil.
"Ya," jawab Wina.
"Sampai jumpa." Xena melambaikan tangan.
Wina pergi dari sana, sedangkan Xena masuk ke kantor polisi untuk tanda tangan, lalu mengendarai mobilnya dan pergi dari kantor polisi.
Dia mendapatkan rumah kecil, tetapi dekorasi di dalamnya masih sama seperti saat tinggal bersama Sandy. Jadi, dia ingin mencari perusahaan jasa renovasi untuk merobohkan rumahnya dan membangun ulang.
Tinggal terus-menerus di hotel bukanlah solusi jangka panjang.
Dia tak ingin melihat jejak apa pun yang berkaitan dengan Sandy, jadi dia menyerahkan furnitur lama kepada perusahaan jasa renovasi untuk dijual ke pasar loak. Beberapa barang Sandy yang jarang terpakai dan barangnya dulu, dia buang semua.
Setelah menyelesaikan rancangan dengan arsitek perusahaan jasa renovasi serta menentukan bahan, dia segera menandatangani kontrak dan membayar uang muka, lalu menyerahkan kunci kepada mereka. Sisanya biarkan mereka yang urus.
Setelah keluar dari perusahaan jasa renovasi, dia langsung pergi ke bank. Dia memiliki total uang sebesar 80 miliar tunai dan 40 miliar dana darurat. Xena menyimpan 40 miliar dalam deposito berjangka, karena jumlahnya yang banyak, suku bunganya pasti tinggi.
Dia menyisakan 40 miliar.
Wina yang bekerja di bidang keuangan pasti membutuhkan pencapaian. Dia berencana menginvestasikan 40 miliar kepada Wina untuk diputar sekaligus membantunya mendapatkan pencapaian luar biasa.
Setelah memutuskan semua ini, hari sudah sangat larut. Xena kembali ke hotel untuk beristirahat.
Keesokan harinya, dia bangun sangat pagi, duduk di tepi kasur sembari menundukkan kepala melihat nomor telepon yang tertera di kartu nama. Xena sempat merasa ragu-ragu sebelum akhirnya menghubungi nomor tersebut.
Setelah beberapa saat, panggilan terhubung.
Terdengar suara berat seorang pria. "Halo."