Bab 4
Calvin yang di kehidupan sebelumnya benar-benar seperti anjing penjilat. Wanika menjadi fokusnya selama tiga tahun di SMA dan empat tahun di universitas.
Calvin tidak memiliki ingatan tentang Berlina.
Tentu saja, hal ini berkaitan dengan kepribadian Berlina.
Berlina bersikap dingin dan memiliki aura yang kuat.
Jangankan Calvin yang berbeda kelas, sebagian besar teman sekelas pria juga jarang berkomunikasi dengan Berlina selama tiga tahun di SMA.
Akan tetapi, Calvin pernah mendengar nama Berlina.
Berlina adalah gadis genius dari kelas percobaan, primadona SMA 1 Likinang yang angkuh dan dingin. Berlina adalah wanita pujaan para pemuda yang tidak dapat mereka dapatkan.
Dalam ingatan Calvin, Berlina sepertinya adalah juara pertama Ujian Nasional Kota Likinang periode ini.
Dengan peringkat kedelapan di seluruh provinsi, Berlina diterima lebih awal di Universitas Kintani.
Akan tetapi, Berlina memilih untuk pergi ke luar negeri.
"Aku ... aku bukan pura-pura bisu, aku ... aku hanya nggak suka bicara. Kamu ... nggak marah, 'kan?"
Berlina berbicara lagi.
Kegugupan di dalam matanya tampak jelas.
Calvin tidak marah, tetapi dia berpura-pura marah.
"Cih! Kamu sudah menipuku sekian lama, mana mungkin aku nggak marah? Berlina, kamu akan segera kehilangan aku!"
Calvin hanya ingin bergurau dengan gadis genius itu.
Tak disangka, wajah cantik Berlina langsung memucat.
Berlina berucap dengan takut-takut,
"Maaf ... aku ... aku nggak punya pengalaman berteman. Aku takut salah bicara dan bikin kamu marah."
"Ehm, aku bercanda. Ini hanya masalah sepele, mana mungkin aku marah?"
"Serius?"
"Serius."
"Huh ...."
Berlina akhirnya menghela napas lega.
Calvin kebingungan. "Dari kecil sampai sekarang, kamu benaran nggak punya teman sama sekali?"
Berlina mengangguk. "Ibu nggak bolehkan aku bicara dengan cowok. Sedangkan cewek ... entah kenapa, mereka semua nggak suka aku."
Calvin mengerti.
Dengan kecantikan dan aura Berlina, Calvin yang telah hidup dua kali pun terpukau.
Ditambah keluarganya yang kaya ....
Tentu saja Berlina yang begitu menonjol di antara mereka akan diiri dan dijauhi.
Apalagi Berlina bersifat dingin. Mudah sekali disalahpahami sebagai sombong.
Dikarenakan semua itu, tidak heran Berlina tidak memiliki teman.
"Nggak apa-apa, aku jadi temanmu mulai sekarang, teman baik."
"Benaran?"
Mata Berlina yang cerah diselimuti kegirangan.
Senang sekali, dia juga punya teman.
Temannya ini sangat hebat, bisa berbicara panjang lebar.
...
Keesokan pagi, Calvin yang tubuhnya berumur 18 tahun kembali ke sekolah dengan roh berumur 36 tahun.
Calvin akhirnya menemukan letak kelas 12F menurut ingatan yang sudah lama berlalu. Ketika Calvin memikirkan di mana tempat duduknya, seorang pemuda berwajah kotak melambai padanya.
Oh, di sana.
Pemuda itu bernama Feryanto Wijaya, dipanggil Feri. Dia adalah teman sebangku Calvin di kelas 12F.
Begitu Calvin berjalan ke sana, Feryanto langsung bertanya,
"Calvin, katanya di hari libur itu, kamu bawa buket mawar dan pergi ungkapkan cinta pada Putri Wanika. Bagaimana hasilnya?"
Mendengar itu, teman-teman yang lain menegakkan telinga mereka.
Siapa yang tidak suka gosip?
Beberapa di antara mereka memasang ekspresi mengejek. Mereka jelas mengetahui kejadian pengungkapan cinta di tempat karaoke malam itu.
Wanika yang duduk tak jauh dari sana juga menoleh pada Calvin. Tatapan matanya menyiratkan rasa sedih, tetapi lebih banyak kesombongan.
Calvin yang di kehidupan sebelumnya pasti merasa canggung pada saat ini, bahkan ingin bersembunyi.
Inilah pemuda yang bodoh dan lugu, selalu mementingkan martabat dan harga diri di atas segalanya.
Untungnya, Calvin yang sekarang memiliki mental yang dewasa untuk menghadapi aibnya di masa muda.
"Feri, kamu benaran mau tahu?"
Feri mengangguk.
"Pada dasarnya, masalah di dunia ini terbagi menjadi dua ...."
Calvin menatap Feri dan memberi jeda.
"Yang pertama, itu bukan urusanku. Yang kedua, itu bukan urusanmu."
Feri terdiam.
Meskipun Calvin sudah menyebalkan pada biasanya, Calvin sangat kurang ajar hari ini.
Sebenarnya, Feryanto sudah mendengar beberapa pria bermulut besar di kelas membicarakan tentang pengungkapan cinta di tempat karaoke malam itu. Dia berencana memberi penghiburan pada Calvin.
Akan tetapi, dilihat dari kondisi mental Calvin saat ini, sama sekali tidak perlu.
...
"Anjing akan pulang kalau sudah lapar."
Wanika mengingat kalimat itu sepanjang liburan Hari Pendidikan Nasional. Dia menunggu Calvin datang dan meminta maaf padanya.
Ketika Calvin tidak datang padanya di hari pertama, Wanika acuh tak acuh. Dia tidak percaya Calvin benar-benar akan berhenti mengejarnya.
Di hari kedua, hari keempat, hari keenam ....
Sampai setelah liburan panjang berakhir, Calvin tidak pernah menelepon maupun mengirim pesan padanya, bahkan tidak meninggalkan pesan di Facebook.
Wanika akhirnya mulai panik.
Jangan-jangan Calvin ... benar-benar akan mencuekinya?
Selama tiga tahun di bangku SMA, Wanika sudah terbiasa dengan Calvin yang selalu berada di sisinya.
Calvin mencuekinya selama tujuh berturut-turut. Wanika tidak dapat menerima kesenjangan besar semacam itu.
Dari pagi sampai siang, sampai sesi belajar mandiri malam hari, Wanika tidak terlalu fokus. Dia diam-diam melirik Calvin dari waktu ke waktu.
Calvin sibuk mengerjakan soal atau bercanda tawa dengan Feryanto.
Dapat dipastikan bahwa Calvin tidak pernah meliriknya sepanjang hari itu, seolah-olah dia tidak berada di sana.
Wanika makin sedih.
Timbul dorongan sesaat untuk mengambil inisiatif berbicara dengan Calvin.
Akan tetapi, Wanika menahan dorongan itu.
Kesombongannya tidak membolehkan Wanika berbuat demikian.
Calvin tidak punya kemampuan membaca hati sehingga tidak mengetahui ada begitu banyak pikiran di hati Wanika.
Jika tahu, Calvin akan mengatakan,
"Putri yang sombong, jangan tundukkan kepala karena mahkotamu bisa jatuh; Jangan menangis karena aku akan tertawa."
...
Setelah sesi belajar mandiri malam hari berakhir, Calvin dan Feryanto pulang bersama-sama.
Di tengah perjalanan, Feryanto tidak tahan lagi
"Calvin, kamu benar-benar cuek dengan Putri Wanika? Sudah seharian kamu nggak bicara dengan dia ...."
"Feri, aku akhirnya sudah terbebas dari belenggu cinta itu. Bukannya kamu harusnya merasa senang?"
"Kalau kamu benar-benar sudah sadar, aku pasti senang." Feryanto mengembuskan napas. "Takutnya lain di hati lain di mulut. Hatimu sebenarnya sangat sedih, tapi kamu nggak mau orang tahu, lalu diam-diam menangis di balik selimut setelah pulang ke rumah."
"Pfft .... Mana mungkin pria jantan sepertiku menangis karena masalah sepele itu?"
Calvin langsung tertawa.
Sesaat kemudian, Calvin tidak dapat tertawa lagi.
Sepertinya dia memang begitu di kehidupan sebelumnya.
Usai kejadian pengungkapan cinta di tempat karaoke, Calvin memang mencueki Wanika selama beberapa hari karena jengkel. Akan tetapi, dia juga sering menangis diam-diam di balik selimut.
Setelah itu, Wanika mulai mengambil inisiatif terhadapnya. Calvin langsung kembali menjadi anjing penjilat.
Belum seberapa jauh setelah keluar dari gerbang sekolah, Feryanto tiba-tiba menepuk Calvin dan menunjuk ke depan.
Wanika dan sahabatnya, Wenda Limanta, berdiri berdampingan di depan halte bus.
Kesenjangan akan tampak apabila ada perbandingan.
Wenda juga cantik, tetapi malah terkesan seperti pembantu ketika berdiri di sebelah Wanika.
Cahaya lampu jalan yang remang menyinari Wanika, memberi sentuhan natural pada wajahnya yang cantik.
Cantik seperti bidadari, itu adalah deskripsi tercocok untuk Wanika.
Calvin tidak pernah memungkiri kecantikan Wanika. Meskipun tidak secantik Berlina, penampilan Wanika sangat memikat hatinya.
Jika tidak, Calvin tidak akan "terobsesi" pada Wanika di kehidupan sebelumnya.
Wanika juga melihat Calvin. Dia mendengus, lalu mendongakkan dagu. Ekspresinya sedih bercampur sombong, seperti sedang menantikan sesuatu.
Feryanto berujar, "Calvin, Putri Wanika begitu sedih dan kasihan. Dia jelas tunggu kamu pergi bicara dengan dia. Cepat pergi."
Calvin mengabaikan omongan Feryanto. Di bawah tatapan Wanika, dia berjalan lewat dengan santai tanpa menolehkan kepala.
Calvin tidak berpura-pura cuek ataupun ingin membuktikan sesuatu.
"Kamu cuek padaku hari ini, maka kamu akan kehilangan aku besok."
Pikiran semacam itu tidak mungkin dimiliki oleh Calvin.
Mata Wanika yang cerah penuh kecengangan dan kesedihan.
Kenapa Calvin bisa begitu? Kenapa Calvin berani begitu?
Calvin tidak menyapanya, bahkan mengabaikannya.
"Calvin, aku nggak mau hiraukan kamu lagi!"
Saking sedih, Wanika berteriak pada Calvin sambil mengentakkan kaki. Lalu, dia naik ke bus umum.
Feryanto berujar dengan tidak berdaya, "Calvin, mampus. Kamu benar-benar nggak ada harapan lagi ...."
Calvin mengangkat bahu. "Ya sudah. Mungkin yang berikutnya lebih baik."
"Apa katamu?" Feryanto memutar mata. "Di SMA 1 kita, mungkin hanya gadis legendaris itu yang bisa menyaingi kecantikan Putri Wanika ...."
Di tengah ucapan Feri, sebuah mobil Rolls-Royce Phantom berhenti di depan mereka.
Kaca jendela diturunkan. Tampaklah sebuah wajah yang cantik dan dingin seperti rembulan.
Feri terbengong. Bukankah ini gadis legendaris itu?
Gadis genius, primadona SMA 1 Likinang, Putri Berlina!
Berlina berseru, "Calvin, ayo naik. Aku antar!"
"Kak Feri, sudah kubilang yang berikutnya lebih baik. Sekarang kamu percaya, 'kan?"
Calvin segera berlagak congkak di depan Feryanto.
Lalu, Calvin berseru pada Berlina,
"Nggak perlu. Rumahku dua ratus meter di depan."
"Oh."
Berlina cemberut. Setelah terdiam beberapa detik, dia berbicara lagi.
"Besok siang, kita ... bisa kita nggak kita ke kantin bareng?"
Dalam pemahaman Berlina, teman baik harus makan bersama.
"Bisa."
"Kalau begitu ... sampai jumpa besok."
Berlina sangat senang karena Calvin mengiakan. Dia melambai untuk berpamitan dengannya.
Kaca jendela dinaikkan. Mobil Rolls-Royce itu pergi perlahan-lahan.
"Keluarga Berlina ... sepertinya sangat kaya."
Tentu saja Calvin tahu apa artinya memiliki mobil Rolls-Royce Phantom di tahun 2009.
Keluarga elite semacam itu jauh melampaui standar di kota setingkat kabupaten seperti Kota Likinang.
Baru pada saat ini, Feryanto terbangun dari kecengangan.
"Calvin, yang bicara denganmu tadi ... Berlina Kusnadi?"
"Sepertinya ... iya."
"Dia mau antar kamu pulang dan ajak kamu makan bareng besok?"
"Sepertinya ... iya."
"Aku ... sedang mimpi bukan?"
"Coba aku cubit."
"Ah ... sakit ...."
"Sayang sekali, Kak Feri .... Kamu nggak mimpi."
"Calvin, kamu harusnya jelaskan ...."
"Dasar kamu, kurang sadar diri. Aku ini Teguh. Mana perlu aku jelaskan padamu?"