Bab 11
Saat makan sarapan.
Irvan melaporkan urusan kerja saat Arvin sedang makan. Teresa memelototi Irvan. Makan pun tidak bisa makan dengan tenang.
Teresa menggigit pangsit goreng dengan kuat. "Uhm!"
Sakit sekali!
Irvan memelototi Teresa karena tiba-tiba terpotong ketika sedang melaporkan poin penting. Dasar wanita penyihir!
Arvin juga menoleh pada Teresa. Teresa sedang memegang pipinya dengan ekspresi kesakitan.
Arvin menaruh dokumen di tangannya, lalu menghampiri Teresa dan menariknya berdiri. "Ada apa? Coba aku lihat."
"Lidahku, sakit."
Ini salah Irvan. Mengapa Irvan melaporkan urusan kerja di saat makan? Gigitan Teresa cukup kuat, bahkan sampai berdarah.
Teresa menoleh pada Irvan dengan jengkel.
Arvin mengernyit. "Irvan, kamu ke perusahaan dulu."
"Tuan Arvin, dokumen-dokumen ini ...."
"Aku akan pergi ke perusahaan sebelum siang!"
Setelah itu, Arvin memusatkan perhatian pada Teresa.
Irvan juga menoleh pada Teresa. Dia meragukan apakah Arvin bisa pergi ke perusahaan sebelum siang atau tidak.
Arvin mengernyit ketika melihat ada darah di mulut Teresa. "Sudah berdarah. Nggak ada yang rebut makananmu, buat apa makan buru-buru?"
"Bagaimana sekarang?"
Sakit sekali.
Teresa menatap Arvin dengan mata berkaca-kaca dan kasihan.
Arvin meniupnya dengan penuh kasih sayang. "Sudah baikan belum?"
"Masih sakit."
Teresa sudah merasa lebih baik karena napas yang jernih dan dingin itu. Hanya saja, dia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk manja.
Arvin bertanya, "Aku bawa kamu ke rumah sakit, ya?"
Teresa terdiam.
Pergi ke rumah sakit hanya karena menggigit lidah?
Dokter dan perawat pasti akan melihatnya seperti Irvan yang melihat wanita penyihir.
Lupakan saja.
"Nggak mau."
Teresa menggelengkan kepala setelah berpikir sejenak.
Arvin tersenyum. Pada saat ini, Budi membawakan kotak P3K dan menyodorkan sebotol obat kepada Arvin.
Begitu disemprot ke mulut, sensasi yang dingin itu membuat Teresa merasa lebih nyaman. "Sayang, kamu mau pergi ke perusahaan nanti?"
Teresa melirik dada Arvin dengan khawatir.
Saat mengganti perban di lantai atas, luka Arvin sudah mengering. Akan tetapi, Teresa tetap khawatir.
Bagaimanapun, obat yang telah diganti kemarin nyaris membunuh Arvin.
Arvin menjawab, "Ada dokumen darurat yang harus ditangani. Aku pulang nanti siang."
"Aku ikut."
Teresa berseru secara spontan.
Arvin adalah penggila kerja. Setelah meninggalkan Carmena, tidak mungkin Arvin akan pulang di siang hari.
Arvin terbengong ketika mendengar Teresa ingin pergi ke perusahaan bersamanya. Dia menatap Teresa dengan ragu. "Kamu mau ikut?"
"Iya. Apa masalahnya?"
Teresa menoleh pada Budi yang berdiri di samping. "Ambilkan kotak medis yang Dokter Juvent tinggalkan di atas."
"Baik, Nyonya Muda."
Budi melihat bahwa mereka begitu mesra, bukan saling membenci seperti yang dirumorkan.
Rumor memang tidak bisa dipercaya.
Arvin menatap lurus pada Teresa. "Nggak perlu, Juvent akan tunggu di perusahaan."
Teresa mengernyit. "Juvent boleh pergi, aku nggak boleh?"
"Bukan!"
Mata Arvin makin gelap ketika melihat kekhawatiran di mata Teresa. Hatinya pun luluh.
Budi segera membawakan kotak medis ke lantai bawah. Setelah memeriksa kotak itu dengan saksama, Teresa naik untuk berganti pakaian.
Saat Teresa turun dengan pakaian kustom yang layak, senyuman tersungging di bibir Arvin.
Itu didesain secara khusus olehnya untuk Teresa.
Dulu, Teresa tidak mau menyentuh barang apa pun yang dia berikan. Semoga Teresa berkata jujur bahwa dirinya telah dihasut oleh Mela.
Kekejaman melintas di mata Arvin ketika teringat akan Keluarga Wisra.
"Sayang, seleramu bagus sekali. Aku suka pakaian ini." Teresa berjalan ke depan Arvin dan berputar.
Pakaian yang didesain oleh Arvin tentu adalah yang paling cocok dengan Teresa.
Arvin meraih tangan Teresa. "Yang penting kamu suka."
"Suka, tentu saja aku suka. Selama itu pemberianmu, aku suka semuanya."
Teresa benar-benar menyukai pakaian itu.
Arvin bahkan hampir lupa bahwa semua ini mungkin adalah mimpi, mungkin adalah tipuan Teresa dan dia benar-benar tertipu.
...
Arvin dan Teresa pergi ke perusahaan bersama-sama.
Di kehidupan sebelumnya, semua orang di Kota Titus tahu mereka tidak akur. Teresa juga tidak pernah pergi ke perusahaan. Sekarang begitu melihat Teresa di sana, semua orang bertukar mata.
Para wanita menatap Arvin dengan ekspresi mata yang membara.
Teresa langsung menggandeng lengan Arvin untuk mengungkapkan kepemilikannya kepada semua orang.
"Dokter Juvent sudah sampai?" tanya Teresa pada Irvan.
Irvan mengangguk.
Teresa menoleh pada Arvin. "Suruh Dokter Juvent cek lukamu dulu sebelum rapat."
"Baik."
Jawaban singkat itu justru mendatangkan banyak tatapan kaget. CEO mereka memiliki sisi selembut ini?
Teresa berdiri di sisi Arvin ketika Juvent mengecek obat di luka Arvin dengan saksama.
Arvin memercayai Teresa, tetapi orang-orang di sekitarnya mewaspadai Teresa.
"Pemulihan lukamu kurang baik. Jangan sampai infeksi," pesan Juvent pada Arvin usai mengecek.
Arvin mengangguk.
Teresa juga mengingat pesan Juvent.
Juvent pun pergi. Irvan sedang melakukan persiapan di ruang rapat. Seorang sekretaris wanita membawakan kopi ke dalam kantor. Teresa mengenalinya. Itu adalah Lili Renata, sekretaris yang sudah bekerja untuk Arvin selama tiga tahun.
Begitu masuk, tatapan mata Lili melekat pada Arvin. "Pak Arvin, ini kopinya."
Lili dengan hormat menaruh cangkir kopi di depan Arvin. Buah dadanya hampir terekspos ketika dia membungkukkan badan.
Setidaknya bisa Arvin lihat jika Arvin mendongakkan kepala.
Teresa terkejut.
Wanita ini mengira dia sudah mati?
Sebelum Teresa sempat berbicara, Lili berkata dengan suara centil, "Pak Arvin, Pak Willy bilang surat perceraian sudah dibuat. Kapan akan diberikan pada Nona Teresa?"
Detik berikutnya!
Teresa menoleh pada Arvin. Tangan Arvin yang sedang memegang pena untuk bertanda tangan langsung terhenti. Suasana di kantor menjadi dingin.
Saat bertemu dengan mata Teresa, kata "gawat" melintas di hati Arvin!
Napas Teresa menjadi berat!
Kehidupan ini benar-benar luar biasa!
Ada sekretaris yang menggoda suaminya, lalu ada surat perceraian. Arvin ...!
Melihat Arvin diam saja, Lili mengikuti arah pandangan Arvin dan melihat Teresa. Dia berseru kaget, "Ah?"
"Nyonya Teresa di sini? Pas waktunya, Pak Willy juga akan segera ke sini!"
Wajah Teresa memucat saking marah. Dia memelototi Arvin.
Arvin memijat keningnya yang sakit. "Lili!"
"Ya, Pak Arvin. Aku akan telepon Pak Willy dan tanya sudah sampai mana."
Nada bicara Lili sangat ria, seolah-olah sudah lama menunggu Arvin bercerai. Arvin menoleh padanya dengan tatapan mata yang dingin.
Lili tersentak kaget.
"Kamu dipecat. Cepat pergi ke departemen personalia."
"Pak Arvin? Apa ...."
"Keluar!"
Arvin melemparkan tatapan galak pada Lili yang kemudian membuat kakinya lemas. Melihat aura berbahaya dalam tatapan pria itu, Lili bergegas berlari ke luar.
Di luar kantor, wajah Lili menjadi lesu.
Mengapa Pak Arvin memecatnya? Karena wanita yang akan segera diceraikan?
...
Di dalam kantor, Teresa memalingkan wajah dan mencueki Arvin!
Arvin duduk di belakang Teresa dan memeluknya. Teresa ingin melawan, tetapi Arvin memutar tubuhnya secara paksa.
Arvin mencium Teresa dengan lembut.
"Lepaskan aku." Nada Teresa agak murung karena masih marah.
Arvin menjelaskan, "Sebelumnya, kamu selalu mau kabur dariku. Jadi, aku minta Pak Willy buatkan surat perceraian. Aku lupa dalam dua hari ini. Jangan marah, oke?"
Rayuan dengan suara pelan itu menghangatkan hati Teresa.
Namun, Teresa tetap sedih. Dia bergesek di leher Arvin. "Tapi dia menggodamu tadi."
Teresa bahkan tidak tahu ada wanita yang ingin mengincar Arvin di perusahaan. Betapa butanya dia di kehidupan sebelumnya sampai mencueki pria yang begitu populer ini?