Bab 6
Safira tidak berniat memberi tahu rencananya.
"Aku merasa butuh istirahat, jadi aku memutuskan untuk mengambil cuti beberapa hari, dan mengunjungi tempat wisata di dalam kota. Aku nggak akan bepergian jauh."
Dia menyerahkan panduan wisata yang sedang dibacanya kepada Leo.
Begitu Leo yakin bahwa Safira berkata jujur, dia pun merasa lebih tenang dan perlahan melepaskan genggamannya. "Bagus kalau begitu. Aku tahu kamu nggak akan terlalu pelit, hanya sebuah paten. Kamu pasti bisa membuat inovasi baru lagi nantinya."
Tepat setelah itu, ponsel Leo berdering. Yordan yang berada di rumah sakit meneleponnya. "Kak Leo, kamu pergi ke mana? Kak Nidya baru sadar, tapi kondisinya memburuk setelah menyadari kamu nggak ada di sini. Dia menangis histeris dan membenturkan kepala ke dinding sampai berdarah. Tolong segera datang!"
Leo langsung bersiap untuk pergi, tetapi masih sempat berpesan.
"Kamu ingin pergi liburan, silakan saja, tapi jangan pergi ke tempat yang jauh."
Safira tidak menjawabnya, hanya tersenyum.
'Tenang saja, aku nggak akan pergi jauh, cukup agar kalian nggak bisa menemukanku saja."
Ketika melintasi halaman, pandangan Leo tertuju pada abu dari hadiah dan foto yang hangus terbakar. Dia mengernyit, perasaan gelisah terus menghantui pikirannya.
Dia berusaha menenangkan diri.
Menurutnya, Safira sudah sangat nggak berperasaan, jadi dia tidak perlu merasa bersalah kepada orang seperti itu.
Meski begitu, dia tidak bisa menghilangkan firasat bahwa Safira menyembunyikan sesuatu darinya.
Leo bergumam pelan pada dirinya sendiri, "Nggak perlu terlalu memikirkan ini. Lagi pula, dia bisa pergi ke mana?"
"Yang lebih penting sekarang adalah fokus merawat Nidya. Aku nggak boleh membiarkan diriku teralihkan."
Dengan tekad itu, Leo kembali tidak memedulikan Safira dan beranjak pergi.
Selama beberapa hari berikutnya, Safira mengikuti tur grup mengunjungi berbagai tempat wisata terkenal di dalam kota.
Dia dikelilingi oleh teman-teman sebayanya, menikmati suasana penuh tawa dan kebahagiaan.
Mereka menyaksikan keindahan matahari terbenam di puncak gunung, bernyanyi bersama, dan memanggang makanan di bawah hamparan bintang.
Di tempat tersebut, dia tidak akan terluka karena keluarga maupun kekasihnya. Safira pun semakin yakin bahwa pada akhirnya, setiap manusia perlu hidup untuk dirinya sendiri.
Restoran taman yang mewah menjadi pemberhentian terakhir perjalanan Safira.
Safira memilih tempat duduk yang dekat jendela, menikmati pemandangan taman sambil bersiap melewati sore dengan damai. Namun, perhatiannya tiba-tiba tertuju pada seseorang yang memasuki restoran.
Nidya.
Kebetulan, hari ini juga merupakan hari Nidya akhirnya keluar dari rumah sakit.
Seluruh keluarga hadir untuk merayakannya.
Mereka memilih tempat duduk yang paling mencolok di restoran mewah itu.
Champagne, hadiah, dan kue menghiasi meja mereka, hal-hal yang bagi Safira terasa sangat jauh dari kehidupannya. Namun kini, semua itu tersaji di hadapan Nidya, bak seorang putri kecil yang dimanjakan, bebas memilih apa pun yang dia inginkan.
Saat melihat Edwin menuangkan anggur untuk Nidya, Leo segera menyela dengan raut khawatir. "Paman Edwin, Nidya baru saja keluar dari rumah sakit. Jangan biarkan dia minum alkohol."
Edwin tertawa ringan dan berkata, "Tapi kalau nggak ada yang menemaniku minum, anggur ini akan sia-sia. Kalau begitu, Leo, kamu saja yang menemaniku minum."
"Kak Leo, nggak usah khawatir. Minum sedikit nggak akan masalah," bisik Nidya dengan lembut, mendekatkan dirinya ke telinga Leo. "Paman sedang sangat bahagia hari ini. Aku nggak ingin merusak suasana hatinya. Biarkan aku minum, ya?"
Dari sudut pandang orang lain, mereka terlihat seperti pasangan muda yang sedang jatuh cinta.
Yordan, dengan nada menggoda, berkata, "Kalau begitu, daripada minum, bagaimana kalau kalian ciuman saja?"
Edwin, yang mendengar itu, langsung menyahut dengan antusias, "Setuju! Kalau kalian ciuman, Nidya nggak perlu minum sama sekali."
Wajah Nidya langsung memerah, tetapi dia tidak menolak.
Sebaliknya, dia melirik Leo, dengan tatapan menggoda dan dagu yang sedikit terangkat, seolah menunggu sesuatu.
Leo merasa tergoda oleh tatapan Nidya, membuat tenggorokannya kering. Saat dia masih ragu, Nidya tiba-tiba mendekat dan mencium bibirnya.
Leo tidak menyangka Nidya akan seberani itu. Secara refleks, dia ingin mendorongnya.
Namun, ketika bibir Nidya yang lembut menempel erat padanya, dia akhirnya menyerah, dan membalas ciuman itu dengan napas yang semakin berat.