Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

"Pak Dekan, aku memutuskan untuk menyerahkan paten dari penemuanku kepada negara dan bergabung dengan Akademi Kedokteran." Mendengar itu, dekan itu berdiri dengan penuh semangat. "Bagus sekali, Safira! Penemuanmu ini bisa menjadi penyelamat bagi ratusan hingga ribuan pasien. Tapi perlu diingat, ini adalah laboratorium rahasia tingkat nasional. Untuk itu, kamu harus menghilang dari kehidupan publik selama tiga tahun. Dalam sepuluh hari, segalanya akan dimulai. Apa kamu yakin untuk nggak berdiskusi dengan keluargamu dan pacarmu?" "Nggak perlu." Safira tersenyum getir. Lagi pula, dia sudah tidak memiliki tempat lagi di rumah itu. Pada tahun lalu, seorang siswa bernama Nidya Jenar, berasal dari keluarga miskin yang terus menerima dukungan dari keluarga mereka, dibawa pindah ke rumah mereka oleh sang ayah setelah tragedi kecelakaan mobil yang menimpa orang tuanya. Tidak seperti Safira yang bekerja keras secara diam-diam, Nidya memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang. Hanya dalam waktu kurang dari setahun setelah menjadi bagian dari Keluarga Catra, Nidya berhasil menjadi sorotan utama dalam keluarga. Tidak hanya ayah Safira yang memandang Nidya sebagai harta tak ternilai, tetapi juga pacarnya yang telah dikenalnya sejak kecil, dan bahkan adiknya ikut terpikat pada Nidya. Ketika foto mendiang ibu Safira hancur di tangan Nidya, ayahnya hanya berkata bahwa masa lalu seharusnya dibiarkan berlalu, lalu membongkar altar peringatan tersebut. Bahkan paten alat bantu jantung, yang Safira buat dengan sepenuh hati untuk mengenang ibunya, direbut oleh Nidya. Pacar Safira, yang sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak lama, menggunakan ancaman perpisahan sebagai cara untuk memaksa Safira menyerahkan paten tersebut. Kata-kata manis Nidya berhasil mengalahkan cinta tulus masa kecil dan kasih sayang keluarga yang seharusnya mendalam. Merasa lelah untuk terus bersaing, Safira memutuskan untuk pergi, menemukan kebebasannya sendiri. Ketika Safira kembali ke rumah, dia mendapati suasana yang penuh kegembiraan di ruang makan, begitu berbeda dari kesendiriannya. Keluarga tengah merayakan satu tahun bergabungnya Nidya di Keluarga Catra. Ironisnya, tidak seorang pun mengingat bahwa hari ini adalah ulang tahun Safira. Hari ulang tahunnya selalu berlalu tanpa perayaan sejak kematian ibunya. Melihat pacarnya dan adiknya, Leo Simon dan Yordan Catra, duduk di samping Nidya dengan senyum hangat dan memberikan hadiah, membuat hatinya semakin dingin. Dengan wajah tanpa ekspresi, Safira melewati ruang makan begitu saja. Hingga panggilan dari ayahnya, Edwin Catra, menghentikan langkahnya. "Aku meminta kamu menemui dekan untuk menyerahkan patenmu kepada Nidya. Apakah sudah selesai?" Safira menggeleng pelan. "Paten itu bukan milikku lagi." Mendengar itu, yang lain mengira Safira telah menyerah. Leo, penuh semangat, merangkul Nidya sambil tersenyum lebar. "Hebat! Dengan paten tingkat nasional ini, masa depan pendidikan dan kariermu sudah pasti terjamin. Selamat, Nidya!" Safira menatap mereka dengan ekspresi dingin, tanpa emosi sedikit pun, sebelum bersiap untuk pergi. Namun, Nidya dengan anggun memotong sepotong kue mangga dan menghampirinya. "Kak Safira, terima kasih untuk segalanya yang telah kamu lakukan untukku. Ini untukmu." Ketika membelakangi yang lain, ekspresi Nidya berubah total. Sebuah senyum penuh kemenangan terlihat, menyiratkan kebanggaan sebagai pemenang. Wajah Safira tetap dingin tanpa perubahan sedikit pun. "Bawa pergi." Kemarin, Nidya terlihat menemani Safira mengambil hasil pemeriksaan kesehatannya. Nidya adalah satu-satunya yang tahu bahwa Safira memiliki alergi terhadap mangga. Leo bangkit dari tempat duduknya, menatap Safira dengan ekspresi dingin. "Safira, kenapa kamu marah padanya? Akulah yang memintamu menyerahkan paten itu kepadanya. Kalau kamu ingin melampiaskan kekesalan, arahkan itu padaku!" Air mata mengalir di pipi Nidya saat dia berbicara dengan suara lirih dan bergetar. "Kak, jangan marahi Kak Safira. Kalau ada yang salah, itu salahku." "Semuanya di rumah ini, nggak pernah menjadi milikku." "Kak Safira, aku tahu kamu selalu merasa barang-barangku kotor. Maafkan aku. Kalau kamu nggak suka aku di sini, aku akan pergi hari ini juga." Suaranya tersendat. "Aku hanya ingin membalas kebaikan Paman Edwin. Maafkan aku ...." "Kak Nidya, rumah ini adalah rumahmu juga. Kalau ada yang mencoba mengusirmu, aku akan menjadi orang pertama yang menentangnya!" Yordan segera meraih lengannya. Edwin dengan marah melempar sendok ke meja. "Kamu selalu merusak suasana. Semuanya menikmati momen ini, tapi kamu datang hanya untuk membuat kekacauan." "Nggak bisakah kamu bersikap lebih baik?" "Kenapa aku punya anak yang begitu sempit pikirannya dan nggak tahu aturan seperti dirimu!" "Sekarang, makan kue itu dan minta maaf kepada Nidya." Tatapan penuh kebencian dari ayah kandungnya menusuk hati Safira, membuat tangannya gemetar tanpa dia sadari. Meskipun dia telah memutuskan untuk meninggalkan rumah yang telah menguras dirinya, rasa sakit itu tetap menghantui. Dengan suara yang dipaksakan keluar dari sela-sela giginya, dia berkata, "Kalau aku nggak mau, bagaimana?" Kata-kata Safira terputus oleh tamparan keras yang mendarat di pipinya. Dengan kemarahan yang tidak terkendali, Edwin menyambar potongan kue mangga dan memaksanya masuk ke mulut Safira. Dalam hitungan detik, bibir Safira mulai mati rasa, napasnya tersengal, dan tubuhnya kehilangan kekuatan, hingga dia terjatuh ke lantai. Nidya berpura-pura cemas, suaranya terdengar gemetar. "Kak Safira, kamu kenapa? Perlu aku panggilkan ambulans?" Edwin, dengan tatapan dingin, berkata, "Nggak perlu. Dia hanya berpura-pura. Kita lanjutkan makan saja." .... Suara-suara berisik yang tak beraturan mengelilingi Safira, memadati ruang pikirannya. Dengan susah payah, dia merangkak menuju kamar tidurnya. Tangannya bergerak perlahan membuka laci, mengambil obat, dan menelannya sambil menahan rasa sakit. Dengan sisa tenaga yang hampir habis, dia meraih telepon dan menghubungi layanan darurat. Tatapan kosongnya kemudian mengarah ke langit-langit, penuh kehampaan dan keputusasaan. 'Sepuluh hari lagi.' 'Aku akan bisa meninggalkan rumah dingin ini.' 'Meninggalkan orang-orang busuk ini.' 'Menuju tempat di mana nggak seorang pun tahu keberadaanku.' Ikatan darah tanpa kasih sayang dan cinta yang dipenuhi kebohongan. Safira telah memutuskan, dia tidak lagi membutuhkan semua itu dalam hidupnya.
Bab Sebelumnya
1/18Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.