Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

Celia belum selesai bicara, raut wajah Cavero sudah lebih dulu berubah masam. Setelah Celia bertanya, tetangga itu langsung girang. "Betul, dia memang setinggi itu dan wajahnya cantik banget!" Saat Cavero mendengar ini, wajahnya beralih sangat dingin dan tatapannya menjadi suram. Biasanya, dia dan Rhea saling berkomunikasi tentang jadwal mereka. Karena suasana hatinya sedang buruk dua hari ini, Cavero tidak ingin memanjakannya. Jadi, dia tidak menghubungi. Kemarin, dia baru tahu kalau Steve memberi Rhea libur setengah bulan. Siapa sangka, gadis itu malah datang ke rumah Galih dan Ratna hari ini untuk mengadu. Tidak heran kalau Galih dan Ratna yang biasa bersikap sangat baik padanya, malah bersikap sinis hari ini. Dia mendapati Celia yang agak mengernyit di sampingnya. Dia merasa, tidak hanya manja dan keras kepala, Rhea juga licik. Dua jam berlalu sejak keduanya menunggu di luar, sehingga Ratna pun meminta Galih menelepon Cavero. "Cavero, aku dan Ratna sibuk sekali. Kamu pulang dulu saja, aku akan temui kamu lain kali." Cavero menahan emosinya dan mengiakan. Begitu telepon terputus, tatapan dinginnya makin dalam. Sayangnya, si tetangga tidak menyadari hal itu dan terus bertanya, "Kalian kenal, ya? Dia punya pacar nggak?" Cavero tidak menjawab pertanyaan itu, malah balik bertanya, "Tadi pagi, kamu lihat Pak Galih dan Bu Ratna keluar rumah, nggak?" Tetangga itu berpikir sejenak. "Aku nggak terlalu memperhatikan mereka pagi ini, tapi aku nggak lihat Pak Galih dan istrinya keluar setelah gadis itu datang. Nggak lama setelah gadis itu pergi, kalian baru datang." "Aku lihat kalian berdiri lama di luar, makanya aku keluar karena penasaran saja." Zara hanya keluar sebentar, sehingga tetangga itu tidak sempat melihatnya. Namun, apa yang dikatakan tetangga tadi justru menguatkan dugaan Cavero. Galih meneleponnya untuk datang begitu Rhea pergi, tetapi tidak mengizinkannya masuk. Jelas bukan karena ada urusan, tetapi karena ingin membela Rhea. Celia menatap wajah pria itu dan menghiburnya dengan suara yang lembut. "Kak Cavero, jangan marah dulu. Mungkin ada salah paham di sini?" "Kalian berdua cuma bertengkar kecil, nggak mungkin dia menjelek-jelekkanmu di depan Pak Galih. Andai benar adanya, Pak Galih nggak akan langsung memihak begitu saja, 'kan?" "Pasti ada salah paham. Bicara baik-baik sama Kak Rhea. Dia sangat menyukaimu. Kalau kamu terus mengabaikannya, dia pasti akan sedih." Kemarahan Cavero justru makin menjadi karena nasihat Celia. Semua bukti sudah jelas, tetapi Celia masih saja membela Rhea. Dia benar-benar tidak paham, mana mungkin Rhea bisa membenci Celia yang sangat lembut dan polos? Apa perlu sampai bertengkar hingga melapor ke Pak Galih karena sebuah gelang cendana saja? Cavero pun makin marah. Setelah mengantar Celia kembali ke tempat tinggalnya, dia segera pergi ke apartemen kecil yang disewa Rhea. "Rhea!" Dia terus menggedor pintu kamar Rhea sambil berteriak. Matanya dipenuhi amarah yang bisa meledak kapan saja. Tetangga di sebelahnya terkejut dan membuka sedikit celah pintu. "Pak, jangan digedor lagi. Penyewa di sebelah sudah dua hari nggak pulang." Cavero mengenakan masker, sehingga orang itu tidak langsung mengenalinya. Karena takut Cavero justru orang gila yang lagi nekat, dia langsung menutup pintu. 'Dua hari tidak pulang?' Apartemen ini adalah tempat Rhea tinggal sejak dia mengenalnya. Selain di sini, dia tidak punya tempat lain untuk pergi. Sekarang, dia sedang libur. Mengapa dia bisa tidak pulang sampai dua hari? Dia menahan amarahnya. Belum sempat Rhea dihubungi olehnya, Siena, sepupunya, menelepon lebih dulu. Cavero mengangkat telepon sambil mengernyit. Belum sempat dia buka suara, Siena begitu semangat saat bertanya, "Kak, aku dengar dari asistenmu kalau kamu sudah putus sama Rhea. Jadi, kapan kamu mau umumkan hubungan dengan Celia?" Selain sangat mengagumi sepupunya, Siena juga menyukai Celia yang lembut dan ramah. Dia menyayangi mereka berdua sedalam rasa bencinya pada Rhea. Bagaimana mungkin seorang yatim piatu yang tidak punya kekuatan serta koneksi, bahkan hanya bermodalkan wajah cantik, bisa dibilang pantas bersanding dengan kakak sepupunya yang bekerja sebagai aktor terkenal? Kalimat ini membuat kernyitan di dahi Cavero makin dalam. "Kamu bicara apa, sih? Kapan aku pernah pacaran dengan Celia?" Siena terkejut. "Hah? Kak, maksudmu apa?" "Kamu sudah kasih gelang cendana itu pada Kak Celia di depan semua penonton. Kalau kamu nggak jadian sama dia, bagaimana dia bisa menghadapi orang-orang nanti?" Cavero tertegun. "Apa maksudmu?" "Kamu … kamu nggak tahu arti gelang cendana itu?" Siena ikut bingung. "Itu gelang yang kamu dapat dari Gunung Pace, 'kan?" Cavero menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Kamu bilang kalau aku kasih gelang cendana itu ke Celia, berarti aku jadian dengannya. Lalu, ada hubungan apa dengan Gunung Pace?" "Kamu benar-benar nggak tahu? Lalu, kamu dapat gelang itu dari mana? Katanya, kalau minta jodoh di Gunung Pace bisa manjur banget dan gelang cendana itu memang benda khas yang dipakai untuk berdoa di sana." Kata-kata itu membuatnya terpaku sejenak. "Tapi, aku lihat di gelangmu ada pola bunga teratai. Mungkin itu juga punya makna untuk meminta keselamatan," lanjut Siena. Cavero menyandarkan tubuhnya di dinding. Jari telunjuknya tanpa sadar menggosok bagian belakang ponselnya seraya merenungkan kata-kata Siena. Gelang itu adalah hadiah dari Rhea setelah dia sembuh dari sakit parah. Saat itu, mereka baru menjalin hubungan dan sedang dimabuk asmara. Hadiahnya memang tidak mahal, tetapi dia merasa sangat senang saat memakainya. Rhea bilang, gelang tersebut merupakan jimat keselamatan dan menyuruhnya untuk selalu memakainya. Dia pun memakainya selama lima tahun. Ketika mengingat kembali ekspresi Rhea saat itu, seorang gadis muda yang ceria, bahagia, serta cinta yang terpancar dari matanya, dia masih terenyuh. "Kak?" panggil Siena karena Cavero diam saja. "Banyak orang tahu kalau gelang cendana itu digunakan untuk memohon jodoh dan kamu sudah kasih gelang itu ke Kak Celia. Sekarang, gosip tentang hubungan kalian sudah tersebar di internet." Cavero tersadar, lalu kembali terdiam. Dia tidak bisa menggambarkan perasaannya saat itu. Akhirnya, dia paham alasan Rhea begitu marah. Gelang cendana itu adalah doa berjodoh yang Rhea panjatkan. Dia bisa menerima kalau Cavero tidak memakainya, tetapi dia tidak bisa terima jika gelang itu diberikan ke orang lain. Dia terkekeh setelah memikirkan hal itu. Semua keributan yang dibuat Rhea, mulai dari putus, keluar tim, hingga melapor ke Pak Galih, memang untuk menunjukkan padanya. Aksi ini agar dia tahu seberapa penting jodoh mereka baginya. "Kak?" Cavero kembali tersadar. "Urus kelulusanmu saja. Jangan ikut campur urusanku." Usai berkata demikian, dia langsung menutup telepon dan bersiap menelepon Rhea. … Awalnya, Rhea berniat pulang untuk istirahat setelah keluar dari rumah Galih, tetapi dia terus mengemudi hingga tanpa sadar sudah tiba di kaki Gunung Pace. Dia turun dari mobil, lalu mendongak ke arah puncak gunung. Samar-samar terlihat bangunan tempat berdoa di sana. Seumur hidupnya, dia baru tiga kali datang ke sini. Pertama, setelah orang tuanya meninggal. Saat itu, dia diasuh oleh keluarga Latif dan Nenek membawanya ke sini untuk menyalakan lampu minyak guna mendoakan arwah kedua orang tuanya. Kedua kalinya dia tujukan untuk Cavero. Rhea berdoa di setiap langkahnya sambil memohon keselamatan untuk Cavero dan memohon jodoh untuk mereka. Ketiga kalinya, setelah Cavero selamat dan sehat. Rhea datang untuk memenuhi janji serta menggantungkan papan doa khas Gunung Pace dengan kain merah guna menguatkan tali jodoh mereka. Saat datang ketiga kalinya, dia selalu menaiki tangga perlahan-lahan untuk menunjukkan ketulusan. Namun, kali ini, dia menaiki kereta gantung langsung ke tengah gunung. Saat itu, angin bertiup begitu kencang di puncak gunung. Rhea pun merapatkan jaketnya, melewati aula depan, dan lekas menuju pohon harapan di belakang. Pohon tua itu sudah hidup ratusan tahun. Cabang-cabangnya besar dan rindang, dihiasi kain-kain merah yang menggantung penuh di sekitarnya. Rhea menyentuh papan doa yang dia gantung beberapa tahun lalu. Meskipun sudah tiga tahun berlalu, papan itu masih terlihat bagus dan kain merahnya tidak pudar sedikit pun. "Semoga Cavero dan Rhea bisa bersama selamanya." Rhea mencoba melepaskannya. Namun, begitu banyak papan doa yang saling tergantung dan melilit satu sama lain hingga tidak ada cara untuk melepaskannya. Mereka sudah berpisah, mengapa masih saja terikat? Dia menggenggam papan doa itu dengan kedua tangan, kemudian dia patahkan sekuat tenaga. Suara papan terbelah dua itu begitu nyaring, tetapi kain merahnya tetap menggantung di pohon. Di sebelahnya, masih ada papan doa yang dia gantung untuk keselamatan Cavero. "Semoga Cavero hidup bahagia dan semua yang dia inginkan bisa terwujud." Dia menarik kain merah itu. Rumbai-rumbainya terlepas, sedangkan kain merahnya tetap tergantung kuat di sana. Rhea mencoba mencari sesuatu gunting atau alat lainnya untuk memotong kain itu. Sayang sekali, ponselnya berbunyi sebelum dia menemukannya. Telepon masuk dari Cavero. Dia berdiri di beranda, matanya tertuju ke arah papan doa yang baru saja dia patahkan. Cavero menunggu lama di ujung telepon. Tepat sebelum panggilan otomatis terputus, Rhea mengangkatnya. "Ada apa?" tanya Rhea dengan nada datar.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.