Bab 14
Seketika itu juga, jantung Siena pun langsung berdegup kencang.
Dia menghindari tatapan pria itu dan berpura-pura baru terbangun. "Selamat pagi."
Namun, Zane berkata dengan acuh tak acuh, "Kalau sudah bangun, cepat berdiri dan sarapan!"
"Terima kasih, tapi aku nggak mau sarapan."
"Meskipun nggak mau, kamu tetap harus sarapan!" Pria itu berdiri di sampingnya sambil menatapnya dengan sorot mata dingin. "Apa kamu perlu bantuanku untuk bangun?"
Siena memutar matanya dengan kesal, lalu bangun dengan malas.
Di meja makan, Nenek Safira tersenyum pada Zane seraya berkata, "Hari ini kamu libur dan nggak sibuk, 'kan? Ajak Siena pergi untuk jalan-jalan saja!"
"Aku nggak punya waktu," tolak Zane dengan tegas.
Siena menundukkan kepalanya. Tentu saja pria itu tidak punya waktu karena sudah ada janji dengan Tina.
Nenek Safira mengerutkan keningnya dan hendak mengatakan sesuatu pada Zane. Namun, Siena buru-buru berkata, "Nggak apa-apa, Nek. Hari ini aku sudah janjian dengan sahabatku untuk berbelanja bersama."
Wajah Nenek Safira akhirnya melembut dan dia tersenyum pada Siena. "Lain kali ajak sahabatmu ke sini ya. Cucu keduaku juga belum punya pacar ... "
"Huh! Jangan harap aku akan menyetujui hubungan itu!" ujar Linda dengan nada mencemooh. "Yohan harus menikah dengan wanita bangsawan, bukan wanita biasa-biasa saja yang nggak jelas asal-usulnya."
Raut wajah Siena agak berubah dan dia tersenyum tipis pada Linda seraya berkata, "Sebenarnya, kriteria utama sahabatku dalam mencari pacar adalah melihat karakter calon ibu mertuanya. Orang seperti Tante Linda ini pasti nggak akan jadi pilihan sahabatku. Jadi, Tante Linda nggak perlu khawatir."
Mata Linda membelalak dan dia berkata dengan penuh amarah, "Apa maksudmu? Apa menurutmu aku punya karakter yang buruk?"
"Sudahlah! Kamu sudah tua, kenapa harus bertengkar dengan anak muda?"
Nenek Safira berteriak kepada Linda dan membuat wajah Linda memerah karena marah.
Siena menunduk sambil memakan sarapannya, tetapi dia merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasinya.
Namun, ketika dia mendongak, dia mendapati pria di hadapannya sedang fokus membaca koran dengan ekspresi datar dan sama sekali tidak menatapnya.
Apakah dia hanya berhalusinasi?
Siena merasa tidak nyaman dengan suasana makan seperti itu, jadi dia pun segera menghabiskan dua roti kukusnya dan pergi.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya dan dia sudah janjian dengan Dian untuk merayakannya bersama di mal.
Begitu Dian datang, wanita langsung mengulurkan sebuah tas belanjaan yang berisi hadiah ulang tahun untuk Siena. "Selamat ulang tahun, ya!"
Siena tersenyum padanya, lalu berkata, "Sebenarnya kamu nggak perlu repot-repot membelikan hadiah untukku. Aku sudah cukup senang dengan kehadiranmu di hari ulang tahunku."
Bagaimanapun, hanya ada sedikit orang yang mengingat hari ulang tahunnya.
"Huh! Kalau kamu nggak mau menerima hadiahku, aku malah jadi nggak enak."
Hadiah dari Dian adalah sebuah gaun dan dia pun menyuruh Siena untuk segera berganti pakaian di kamar mandi.
Ketika Siena keluar dari kamar mandi, mata Dian langsung berbinar. "Cantik sekali! Warna merah muda memang sangat cocok denganmu!"
Gaun wol berwarna merah muda itu sangat menonjolkan lekuk tubuh Siena.
Kulit Siena yang putih makin terlihat bersinar dengan gaun berwarna merah muda itu, sehingga membuatnya tampak anggun dan lembut.
"Aku memang punya selera yang bagus, 'kan?"
Kemudian, Dian menyerahkan teh susu kepada Siena. Mereka berdua memutuskan untuk mencari tempat makan dan berjalan bergandengan tangan sambil mengobrol dengan riang.
Tiba-tiba, seorang wanita menabrak Siena dengan keras sehingga minuman teh susunya tumpah mengenai wanita tersebut.
"Bagaimana, sih? Apa kamu nggak punya mata?" bentak orang itu dengan marah.
Siena merasa tidak asing dengan suara orang itu dan begitu mendongak, ternyata orang itu adalah Tina!
Wanita itu mengenakan gaun panjang berpayet putih dengan dilapisi selendang berbulu yang membuatnya tampak sangat anggun.
Namun, rok gaunnya terkena noda teh susu yang cukup besar. Zirca buru-buru menyeka noda tersebut dengan tisu, tetapi Tina menolaknya dengan kesal.
Tina menatap tajam ke arah Siena, lalu berkata dengan nada mencemooh, "Huh! Aku nggak tahu kalau hari ini akan bertemu wanita murahan yang sudah merebut suami orang lain! Siena, kamu memang nggak tahu malu!"
"Hei, hei, hei. Siapa yang kamu sebut wanita murahan? Jelas-jelas kamu yang terburu-buru dan menabrak Siena, kenapa kamu malah memakinya seperti itu?"
"Dia memang wanita murahan karena menggunakan cara-cara kotor untuk merebut calon suami orang! Dasar wanita rendahan!" Tina menatap Siena dengan marah sambil menggertakkan giginya.
Dian mendengkus kesal, lalu berkata dengan nada menghina, "Huh! Jangan-jangan calon suamimu menganggapmu nggak menarik sehingga dia lebih tertarik pada Siena. Mungkin kamu sendiri yang nggak bisa mempertahankan calon suamimu."
"Kurang ajar!" Tina berteriak dengan marah dan hendak menampar Dian.
Siena yang melihatnya pun segera menahan pergelangan tangan Tina. Namun, tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di wajahnya.
Dia menoleh dengan penuh keterkejutan dan melihat Zirca menatapnya sambil melotot.
"Cepat minta maaf pada Nona Tina biar masalahnya cepat selesai!"
"Tante!" Dian menatap Zirca dengan bingung. "Jelas-jelas dia yang menabrak Siena dan bahkan sudah menghina Siena seperti itu! Kenapa Siena yang harus minta maaf? Apa karena Tante bekerja sebagai pengasuh di rumahnya, jadi Siena juga harus takut padanya?"
Zirca tidak menghiraukan Dian dan terus menatap tajam ke arah Siena. "Kamu mau minta maaf atau nggak?"
Siena mengerucutkan bibirnya dan membalas tatapan Zirca dengan sengit.
Tatapan tajam Siena membuat Zirca merasa agak gentar.
Tiba-tiba, Zane muncul di tempat itu.
Zane menghampiri Tina dan pandangannya sekilas menyapu tubuh Siena dengan acuh tak acuh. Namun, ketika matanya tertuju pada sosok anggun Siena, ada kilau ketertarikan yang tersembunyi di dalamnya.
"Ada apa ini?" tanya Zane.
Tina yang sebelumnya bersikap angkuh, kini berubah menjadi sosok yang lemah lembut. "Teh susu yang dibawa Siena nggak sengaja tumpah dan mengenai rok pemberianmu."
"Jangan salahkan dia, aku yakin dia nggak sengaja."
Dian merasa muak melihat akting Tina yang berlebihan.
Namun, Zane berkata dengan santai, "Sudahlah, cuma rok saja. Nanti aku akan memberimu yang baru."
"Tapi, rok ini hadiah ulang tahun dari kamu," balas Tina dengan nada sedih. "Semua ini salahku karena ceroboh."
Siena baru ingat bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Tina juga.
Tiba-tiba, Zirca menarik lengan Siena dan berkata, "Cepat minta maaf pada Nona Tina! Hari ini hari ulang tahunnya, kalau dia senang, pasti dia akan memaafkanmu."
Siena tetap diam dan hanya bisa mengepalkan tangannya erat-erat.
Zane menatapnya dan melihat kembali tekad kuat yang biasa wanita itu tunjukkan.
Tekad seperti itu justru membuatnya merasa kesal dan timbul keinginan tak terjelaskan untuk menghancurkannya.
Tiba-tiba, dia tersenyum menyeringai dan kilatan merendahkan melintas di matanya yang dingin.
"Cepat minta maaf pada Nona Tina," perintahnya dengan tegas sambil menatap Siena.
Seketika itu juga, tubuh Siena langsung gemetar. Perasaan sedih dan kecewa yang tak terjelaskan pun muncul di hatinya.
Dia menggigit bibirnya dan tetap diam.
Di sisi lain, Zane berjalan ke arahnya dengan sorot mata yang dingin, "Aku menyuruhmu untuk minta maaf pada Nona Tina!"
Suaranya terdengar datar, tetapi mengandung tekanan yang menakutkan.
Siena menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tetapi wajahnya menunjukkan ketegaran.
Namun, makin Siena menunjukkan sikap keras kepalanya, makin semangat pula Zane untuk menghancurkannya.
Pria itu makin dekat dan aura mengancam terpancar dari dirinya.
Zirca menariknya, lalu segera berkata, "Cepat minta maaf saja pada Nona Tina supaya nyawamu selamat!"
"Sudahlah, Tante Zirca. Sepertinya dia nggak sengaja. Nggak usah memperpanjang masalahnya."
"Maaf."
Karena tidak tahan melihat akting Tina, Siena akhirnya mengucapkan kata-kata itu dengan datar.
Meskipun raut wajahnya tampak tenang, telapak tangannya yang terkepal melukai dirinya sendiri karena kukunya yang panjang.
Dian tampak marah dan sedih melihat kejadian ini. Meskipun takut pada Zane, kali ini dia tidak bisa lagi menahan diri. Dengan suara keras, dia berkata kepada mereka, "Apa kalian bisa bersikap seenaknya hanya karena kalian kaya raya dan sedang merayakan ulang tahun? Hari ini juga ulang tahun Siena! Kenapa kalian memperlakukannya seburuk ini?"