Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Setelah menyelesaikan semua itu, Winona kembali ke sisi Hugo. Keduanya saling menatap dalam kegelapan ruang tamu. Hugo masih terbaring di sofa, sementara Winona duduk di sampingnya, memandangnya tanpa berbicara. Mereka saling memandang dalam diam, hingga akhirnya Hugo tidak bisa menahan diri dan bertanya. "Kamu akan membunuhku?" Winona awalnya menggelengkan kepala, lalu mengangguk perlahan. "Itu tergantung hasil observasi. Jika ada tanda-tanda infeksi padamu, aku akan membunuhmu." "Observasi yang kamu maksud adalah duduk di sampingku seperti ini terus?" "Lalu, menurutmu bagaimana?" Hugo mulai meragukan segalanya. Apakah ini benar-benar teman sekelasnya? Mengapa rasanya sangat berbeda dari yang biasanya dia lihat di kampus? "Jangan-jangan kamu ingin tinggal di rumahku?" Winona mengangguk pelan. Hugo hanya bisa terdiam Dia merasa seakan dunia di sekelilingnya telah berubah menjadi sebuah cerita yang tak masuk akal. Pertama, seorang senior populer dari kampusnya mengungkapkan perasaan dan ingin menjalin hubungan dengannya. Kemudian, saat hubungan itu berlangsung, senior tersebut berubah menjadi monster dan merobek jantungnya sendiri. Setelah itu, seorang gadis cantik lain dari kelasnya datang menyelamatkannya. Kini, gadis itu juga akan tinggal di rumahnya. ‘Mungkinkah aku tokoh utama pria dalam sebuah novel fiksi?' Tring, tring, tring. Suara dering ponsel memecah keheningan. Hugo menyadari bahwa suara itu bukan berasal dari ponselnya. Kemudian dia melihat Winona mengeluarkan ponselnya, ternyata suara itu adalah alarm yang dia atur. "Sudah waktunya." Winona berkata sambil berdiri. Hugo pikir dia akan pergi. Baru saja merasa lega, tetapi yang dia lihat selanjutnya justru makin membuatnya terkejut. Winona mulai membuka kancing bajunya, kemudian mengangkat tangan untuk melepas rok. Tak lama kemudian, dia berdiri di hadapan Hugo hanya mengenakan pakaian dalam. "Kamu … kamu mau apa?" Hugo bertanya dengan curiga. Celananya telah robek sebagian oleh monster tadi, jadi sekarang ia juga hanya mengenakan celana dalam. Winona melirik sekilas ke arahnya, kemudian menjawab dengan ekspresi datar. "Sudah jam sepuluh. Kalau nggak ada tugas, aku selalu mandi dan tidur pukul sepuluh. Rutinitas yang teratur adalah rahasia hidup panjang." Setelah itu, tanpa menunggu jawaban, dia berjalan ke kamar mandi tanpa berpaling. Hugo tertegun. Suara gemercik air segera terdengar, uap air mengepul keluar melalui celah pintu, membangkitkan imajinasi yang tak terbatas. Hugo duduk kaku di sofa, matanya tak sengaja tertuju ke arah kamar mandi. Suara air terus terdengar, setiap tetesan seakan menghantam hatinya. Dalam satu malam, dua gadis cantik yang berbeda mandi di kamar mandi rumahnya. Apa-apaan ini? Dalam benaknya terus terbayang pemandangan Winona melepas pakaiannya tadi, kulitnya yang putih, tulang selangkanya yang indah, dan … "Kok ini mirip dengan kejadian tadi? Jadi ini semacam pengulangan, ya?" Hugo tiba-tiba menggelengkan kepalanya, memaksa dirinya untuk mengalihkan perhatian dari imajinasinya yang liar. Dia menunduk menatap jantung yang hancur di tangannya. Jaringan merah menyala bergetar sedikit di telapak tangannya, mengingatkannya pada kegilaan dan absurditas malam ini. Dengan hati-hati dia memegang jantung yang hancur itu, berusaha untuk duduk tegak, tetapi tubuhnya masih terasa sakit, dia hanya bisa sedikit bergeser. Apa yang sebenarnya terjadi malam ini? Hugo bergumam pelan, dahinya mengernyit. Mutasi Andora, keanehan Winona, serangkaian kejadian ini melampaui batas pemahaman Hugo. Hugo merasa bingung, galau, bahkan sedikit takut. Tiba-tiba, dadanya terasa gatal. Hugo mengangkat tangan, ingin menggaruknya. Namun, dia teringat bahwa dadanya berlubang sekarang. Ini jelas bukan waktu yang tepat untuk menggaruk. Namun, saat tangannya menyentuh luka itu, ia tidak merasakan sakit sama sekali. Hugo menundukkan kepala dan terkejut mendapati bahwa luka sebesar mangkuk yang sebelumnya ada di dadanya kini sama sekali tidak meninggalkan bekas. Hanya bercak-bercak darah dan jantung yang terputus dari tubuhnya yang mengingatkan Hugo bahwa semua yang terjadi bukanlah mimpi. Hugo berdiri dan bergerak-gerak, menyadari rasa sakitnya juga hilang. Semua ini membuatnya sangat terkejut. Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Hugo berniat untuk membuka pintu. Namun, dia tiba-tiba sadar bahwa tubuhnya penuh darah, pakaian yang dikenakannya robek, dan yang lebih penting lagi, kekacauan yang ada di dalam ruangan. Meskipun Winona telah membakar mayat monster itu. Bekas darahnya masih tertinggal jelas di lantai. Hugo buru-buru berlari ke kamar, mengganti pakaiannya secepat mungkin, dan membuang jantung yang hancur itu ke tempat sampah. Setelah itu, dia berjalan menuju pintu. Siapa pun yang datang, dia tidak akan membiarkannya masuk. Dengan tekad bulat, dia bertanya. "Siapa?" "Aku." Suara gadis terdengar dari luar pintu. Hanya dengan satu kata itu, Hugo sudah bisa mengenali siapa yang ada di luar. Ia membuka pintu dan menatap gadis itu dengan perasaan campur aduk. "Ada apa?" Gadis itu bernama Nita. Mantan pacar Hugo. Nita berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih yang membuat kulit putih bersihnya makin terlihat indah, sangat cantik. Namun, wajahnya tidak menunjukkan senyuman sedikit pun. Matanya menatap tajam ke arah Hugo, seolah ingin menembusnya. "Kita perlu berbicara." Nita berkata dengan nada yang tegas, tak memberi ruang untuk penolakan. Hugo mengerutkan kening, merasa sedikit kesal. "Sekarang sudah sangat larut, kita bisa bicara besok." Saat ini, pikirannya penuh dengan Andora dan Winona, dia sama sekali tidak ada niat untuk menghadapi mantan pacarnya. Lagi pula, jika Nita melihat kekacauan di dalam ruangan ini, bisa-bisa menimbulkan masalah. Namun, Nita sepertinya tidak akan menyerah begitu saja. Dia menyilangkan lengan di dada, mengangkat alis, dan menyeringai sinis. "Mengulur waktu nggak akan ada gunanya, Hugo. Aku sudah nggak mencintaimu lagi. Meskipun kamu mengirimiku pesan selamat pagi, siang, dan malam setiap hari, aku nggak akan pernah membalasnya." Hugo menggaruk kepalanya. Sampai minggu lalu, memang benar dia masih sering mengirim pesan macam itu kepada Nita. Namun, sejak dia melihat Nita berjalan bergandengan tangan dengan seorang pria bernama Krisna, hatinya langsung hancur. Dia tidak lagi mengganggu Nita setelah itu. Dia pikir semuanya sudah berakhir, tetapi kini Nita datang menemuinya. "Ya, aku tahu. Aku akan menghapus nomormu sekarang." Hugo berkata sambil meraih ponselnya, tetapi dia baru sadar bahwa dia baru saja mengganti pakaian dan tidak membawa ponsel di saku. "Baiklah, aku nggak bawa ponsel sekarang. Nanti aku akan menghapus nomormu. Nggak ada masalah, kamu bisa pulang sekarang, sudah malam." Hugo pun mulai menutup pintu. Namun Nita mengangkat tangan, menahan pintu itu. "Hugo, jangan seperti ini lagi, oke? Jangan cari-cari alasan, hidup harus terus maju. Kenapa kamu terus-terusan mengganggu aku?" "Kapan aku mengganggumu? Bukankah sudah seminggu aku nggak menghubungimu?" Nita menyeringai sinis, alisnya terangkat menatap Hugo. "Jangan coba-coba main-main denganku, Hugo. Aku nggak akan termakan rayuanmu. Aku dan Krisna tulus mencintai satu sama lain, bukan karena harta kekayaan keluarganya." Hugo mengerutkan kening, wajahnya penuh tanda tanya. "Kamu mencintai dia, ya sudah. Kenapa harus mengatakan semua itu padaku?" "Aku sudah setuju kita putus, dan aku nggak akan mengganggu hidupmu lagi." "Kalau begitu, hapus saja nomorku sekarang. Kamu bilang nggak bawa ponsel, tapi sekarang kamu ada di depan pintu rumahmu, kenapa nggak masuk dan ambil dulu? Kalau kamu malas, aku bisa bantu ambilkan." "Jangan!" Hugo panik, teringat jantung yang masih ada di tempat sampah rumahnya. Bagaimana bisa dia membiarkan Nita masuk? Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Kemudian suara Winona terdengar dari ruang tamu. "Tadi aku lalai. Aku harus mengawasi setiap gerakanmu, jadi seharusnya kita mandi bersama. Oh iya, aku nggak bawa piama, jadi aku ambilkan satu di kamarmu. Kenapa kamu berdiri di depan pintu …?" Winona melangkah mendekati pintu, mengenakan gaun tidur putih transparan yang hanya menutupi sebagian tubuhnya. Garis tubuhnya yang menggoda samar terlihat di balik gaun itu. Gaun tidur itu hanya menutupi bokongnya, memperlihatkan kaki jenjangnya yang putih mulus. Nita terkejut dengan kemunculan Winona dan mundur selangkah. Dia menatap wanita itu dari atas ke bawah, wajahnya berubah menjadi merah padam. "Winona? Kenapa kamu ada di sini, dan kenapa kamu memakai piamaku?" ‘Ya, kenapa kamu memakai pakaian milik Nita?!' Hugo merasa kepalanya hampir pecah. Terlalu banyak hal yang terjadi hari ini. Setiap kejadian seolah-olah dapat membuat otaknya berhenti bekerja. Kini, Nita datang ke sini, dan Winona malah ikut memperkeruh keadaan. Pikiran Hugo sudah kalut. Nita tiba-tiba tertawa sinis, lalu melontarkan kata-kata tajam kepada Hugo. "Pantas kamu nggak mau aku masuk. Ternyata kamu memang menyembunyikan wanita di rumah. Hebat juga kamu, Hugo. Winono saja bisa termakan rayuanmu, heh?" Hugo hanya terdiam. Dia ingin menjelaskan, tetapi apa yang bisa dia katakan? Beberapa menit lalu, masih ada seorang monster di rumahnya ... Saat Hugo hendak menjawab, tiba-tiba sebuah lengan melingkar di lengannya. Kemudian, sentuhan lembut itu langsung menjalar di lengan Hugo. Hugo terkejut, sedikit menoleh ke samping. Dia melihat Winona sudah menunjukkan sisi lain yang berbeda dari sebelumnya. Dengan senyum yang manis, Winona memandang Nita yang berdiri di luar pintu seraya berkata, "Siapa kakak ini, Hugo? Kenapa malam-malam begini masih datang mencarimu? Apa kamu diam-diam selingkuh dariku?" Perubahan sikap Winona yang mendadak malah membuat Hugo sedikit terkejut. Namun, nada bicara seperti itu memang khas Winona. "Kakak? Siapa yang kamu panggil kakak? Winona! Kita sekelas! Masa kamu nggak kenal aku?" Nita benar-benar geram mendengar sebutan itu, wajahnya memerah karena amarah. Meski penampilannya memang cantik, dibandingkan dengan Winona, dia tampak sedikit kalah pamor. "Oh, begitu ya? Kamu teman sekelas, ya? Maaf ya, tadi aku nggak begitu jelas lihatnya. Mataku masih sayu habis mandi. Dari jauh, kukira kamu ibu-ibu RT." "Kamu! Kamu ... coba ngomong sekali lagi!" Nita gemetar karena marah, tetapi Winona tampaknya tidak berniat menghentikan provokasinya. "Oh, jadi piyama ini punyamu, ya? Pilihanmu bagus sekali. Hanya saja, bagian dadanya terlalu ketat." Sambil berbicara, Winona dengan santai menarik sedikit bagian dada piamanya. "Memang nggak nyaman kalau ukuran kecil dipaksakan." "Siapa yang kamu bilang kecil! Hugo! Jadi ini pacar yang kamu cari? Sejak kapan selera kamu jadi jelek begini?!" Hugo awalnya mengira dia akan merasa canggung, tetapi sekarang, yang dia rasakan justru … Sangat puas! Dia mendekat ke Winona dan menatap Nita dengan menantang. "Dulu memang selera aku jelek, tapi kemarin kena sambar petir, jadi langsung normal. Kamu masih ada urusan lain? Pacarku nggak suka kalau aku ngobrol sama cewek lain tengah malam." "Kalian! Kalian berdua!" Nita menunjuk Hugo dan Winona, tubuhnya perlahan mundur. "Baik! Baiklah. Kalian tunggu saja, di kampus nanti kalian nggak akan bisa hidup tenang!" Setelah berkata begitu, Nita langsung berbalik dan pergi. Hugo memungut kartu bank yang terjatuh di lantai. "Eh, kartumu? Nggak mau diambil?" "Simpan saja. Pakai untuk bayar biaya pemakamanmu. Kalian akan mati!" "Kakak, hati-hati di jalan ya." Suara teriakan marah Nita dan derap langkah sepatu hak tingginya terdengar dari lorong. Setelah suara itu benar-benar menghilang, Hugo melihat senyum di wajah Winona mulai memudar, kembali ke ekspresi datarnya. "Kamu mau peluk aku sampai kapan lagi?" Hugo bertanya. Winona perlahan melepaskan pelukannya, lalu membanting pintu dan menarik Hugo ke kamar. "Buka bajumu." Winona berkata dengan nada datar. Hugo tampak ragu, tetapi akhirnya dia perlahan mengangkat baju yang baru saja dia kenakan. Winona tampak acuh tak acuh pada situasi yang menggoda ini. Dia mendekati Hugo dengan ekspresi datar. Sambil berjongkok, dia mengamati perut dan dada Hugo dengan saksama, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh bekas luka di dadanya yang seharusnya menembus. "Lukamu sudah sembuh total, bahkan organ dalammu pun sudah beregenerasi." Winona perlahan mengangkat kepala, menatap lurus ke mata Hugo. "Ada kabar baik dan kabar buruk, kamu mau dengar yang mana dulu?" "Kabar baik saja." Hugo menjawab. "Kabar baiknya, untuk sementara, kamu aman. Tubuhmu sudah sepenuhnya pulih, nggak ada kemungkinan kematian saat ini." "Lalu, kabar buruknya?" Winona perlahan berdiri, menatap Hugo dengan tatapan dingin. "Manusia biasa nggak memiliki kemampuan seperti ini. Selama masa observasi seminggu ini, aku akan memastikan apakah kamu termasuk golongan yang terinfeksi atau yang telah mengalami kebangkitan. Kalau aku mendapati sedikit saja tanda infeksi, aku akan membunuhmu." Itu memang kabar buruk. Hugo berpikir sejenak, lalu perlahan berjalan menuju ruang tamu. "Mau ke mana?" Winona seketika bertanya. "Mau mandi." "Nggak boleh," Winona melarang sambil menangkap tangannya. "Aku punya waktu lima menit sebelum tidur, nggak bisa menunggu kamu mandi." Hugo mengernyit bingung. "Kalau kamu ngantuk, ya tidur saja. Kamu tidur di ranjang, aku mandi dulu, nanti tidur di sofa." "Aku sudah bilang, aku harus mengawasi kamu 24 jam penuh. Bahkan kalau kamu mandi, aku harus melihatnya." Winona menyeret Hugo ke sisinya tanpa ragu-ragu. Hugo menelan ludah tanpa sadar. Winona terlalu dekat, sangat dekat sehingga dia bisa mencium aroma sabun mandi Winona dengan jelas, bahkan bisa merasakan suhu napasnya. Jantung Hugo mulai berdebar tak terkendali, napasnya ikut memburu. "Aku akan tidur sama kamu." "Hah?" Sebelum Hugo sempat memprotes, Winona sudah menariknya ke ranjang. "Cepat, waktu tidurku tinggal tiga menit. Aku nggak mau telat tidur." "Ter... terlambat tidur? Itu konsep dari mana? Tunggu dulu, serius kita tidur bareng?" Winona tiba-tiba teringat sesuatu, lalu dia bangkit, berlari cepat ke ruang tamu, dan mengambil sepasang borgol dari pakaian yang baru saja dia lepas. Klik. Tanpa banyak bicara, dia langsung memborgol pergelangan tangannya dengan tangan Hugo. "Waktu tidurku tinggal satu menit. Aku mau tidur." "Tunggu, apa maksudnya ini?" Hugo mengangkat tangannya, menatap borgol itu dengan bingung. Sayangnya, Winona sudah masuk ke dalam selimut, menarik Hugo ke sampingnya dengan satu tarikan tegas. "Jangan bergerak sembarangan saat tidur, dan jangan mendengkur. Kalau sampai kamu melakukannya, aku akan langsung menggorok lehermu. Toh, tubuhmu bisa pulih. Waktumu tinggal sepuluh detik. Selamat malam." Hugo terbaring dengan wajah penuh kebingungan di bawah selimut yang sama dengan seorang gadis. ‘Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sedang tidur dengan gadis yang ceria dan manis di kelas?’ Sepuluh detik. Benar-benar sepuluh detik, tidak lebih, tidak kurang. Hugo mendengar napas halus Winona yang mulai teratur. Dia menatap langit-langit, menghela napas panjang. Yah, sudahlah. Pikirkan semuanya besok. Dalam satu jam terakhir, begitu banyak hal terjadi. Rasa lelah perlahan menguasainya. Dan akhirnya ... Hugo pun memejamkan mata. … … Klik … Klik. Klik! Dalam kegelapan samar, Hugo membuka matanya. Dia mendapati dirinya berada di dalam sebuah ruangan kantor yang aneh. Di atas kepalanya, sebuah kipas gantung tua yang sudah rusak mengeluarkan bunyi mencicit yang tajam. Bilahnya yang berkarat memantulkan bayangan melengkung di bawah cahaya lampu bohlam yang redup, seolah-olah sekumpulan arwah menari di dinding. Lampu itu sendiri tampak aneh, berkedip-kedip seperti ada sesuatu yang mengawasinya dari balik cahaya. Udara di ruangan itu dipenuhi bau apek yang usang, bercampur dengan aroma busuk tak terdefinisikan yang membuat perut mual. Dinding-dinding yang mengelupas memperlihatkan beton di bawahnya, menambah kesan suram. Namun, anehnya, semua ini tidak membuat Hugo merasa asing. Lagi pula, tempat ini telah menjadi bagian dari hidupnya sejak dia berusia lima tahun. Ini adalah dunia mimpinya. Saat pertama kali ia bermimpi berada di tempat ini, Hugo kecil begitu ketakutan. Bagi seorang anak kecil, ruangan ini tidak ubahnya rumah hantu yang mengerikan. Itulah alasan dia dulu membenci tidur. Seiring bertambahnya usia, dia mulai memahami bahwa tempat dengan meja-meja kerja, lemari arsip, dan tumpukan map ini adalah sebuah kantor. Meski begitu, pintu yang mengarah keluar dari ruangan ini selalu terkunci. "Lagi-lagi ke sini." Hugo menghela napas. Sama seperti sebelumnya, dia berencana duduk di kursi empuk itu, menghitung putaran kipas sebagai cara menghabiskan waktu hingga dia terbangun. "Hmm?" Setelah berkali-kali mendatangi tempat ini, dia cukup peka terhadap perubahan sekecil apa pun. Dan kali ini, dia menyadari bahwa pintu lemari arsip besar di sudut ruangan … Terbuka. Di dalamnya, terdapat banyak laci kecil yang tersusun berlapis-lapis. Kebetulan, di atas meja kantor ada sebuah kunci yang tergeletak. Kunci itu berlabel 001. "Apa ini?" Hugo mengambil kunci itu dengan penuh rasa ingin tahu, lalu berjalan ke arah lemari arsip. Sesuai dugaannya, kunci itu pas untuk membuka laci bernama 001. Di dalam laci tersebut, hanya ada satu dokumen tipis. """[Nomor Arsip: 001 Kode Nama: Ragang Pualam Klasifikasi: Tingkat Abyss Tingkat Bahaya: ???]""" [Ragang Pualam adalah tahanan yang sangat menarik. Ia tidak pernah mengajukan permintaan apa pun, juga tidak mengejar kekuatan.] [Ia seperti patung batu. Karena itu, aku menyerah untuk berkomunikasi dengannya.] [Tahanan ini tidak makan, minum, dan tidak memiliki keinginan apa pun, sehingga sangat mudah dikendalikan.] [Satu-satunya cara untuk membuatnya tunduk adalah dengan memberinya lebih banyak Inti Kristal Binatang.] Sebuah foto jatuh dari dokumen itu. Hugo memungutnya, tetapi sebelum sempat melihat dengan jelas, kepalanya tiba-tiba berdenyut hebat. Dia tahu, ini adalah tanda bahwa dia akan segera terbangun dari mimpi ini. Ragang Pualam ... Nama itu bergema di pikirannya. Lalu, bisikan lembut seorang gadis terdengar di telinganya. "Kamu ... nggak akan bisa melarikan diri."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.