Bab 7
Butuh waktu cukup lama bagi Cakra untuk menenangkan diri. Dengan suara berat, dia berkata, "Yulius, kalau sikapmu lebih baik, mungkin aku bisa membantu memohonkan keringanan. Tapi sikapmu sungguh mengecewakan. Jadi, kau harus menanggung semua konsekuensinya sendiri!"
Yulius tidak menjawab.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru di luar kantor urusan akademik.
Seorang pria botak bertubuh kekar dengan tato besar di lengannya masuk ke dalam ruangan.
"Siapa yang namanya Yulius?" pria itu bertanya dengan suara keras.
"Anda orang tua Dean?" tanya Cakra sambil berdiri, tampak sedikit takut.
"Aku Wadi. Kakakku sedang ke UKS untuk menemui Dean. Dia menyuruhku membawa anak bernama Yulius itu ke sana!" jawab pria botak berotot itu.
Cakra secara refleks menoleh ke arah Yulius.
"Kamu ya?" tanya Wadi dengan tatapan tajam dan penuh amarah. Lalu, dia melangkah maju menghampiri Yulius.
"Pak, Pak Wadi. Ini sekolah. Tolong jangan melakukan hal-hal yang melanggar aturan di sini," Cakra berkata sambil mengusap keringat di dahinya.
"Beraninya dia menghajar anak kesayangan kakakku! Kalau aku nggak mematahkan tangan dan kakinya, bagaimana aku bisa bertanggung jawab pada kakakku?" ucap Wadi sambil menyeringai, lalu mengulurkan tangan kirinya ke arah tengkuk Yulius.
Namun, saat itu, Yulius berbalik dan langsung menangkap tangan kiri Wadi.
"Mau melawan, ya?" Wadi menyeringai, lalu mulai menggunakan tenaganya.
Namun, tak disangka, tangan kirinya tidak bisa digerakkan sama sekali.
"Hah?" Raut wajah Wadi berubah. Dia menggertakkan gigi dan mengerahkan seluruh tenaganya, hingga otot lengan besarnya menegang dan urat-uratnya menonjol, tetapi tetap saja tak bisa bergerak.
Bagaimana mungkin?
Yulius, seorang siswa yang terlihat kurus dan lemah, bagaimana bisa memiliki kekuatan sebesar ini?
"Kalau kamu nggak mau masuk UKS seperti Dean, sebaiknya kamu berhenti sekarang," kata Yulius.
Wadi sudah bertahun-tahun hidup di jalanan dan tidak pernah ada yang berani mengancamnya seperti ini.
Terlebih lagi, yang mengancamnya ini hanyalah seorang anak sekolah yang belum dewasa!
Amarahnya langsung memuncak, matanya memerah, dan dia berteriak, "Kamu pikir kamu siapa!?"
Wadi lalu melayangkan pukulan tangan kanannya ke arah Yulius.
Yulius tidak menghindar. Dia justru mengulurkan telapak tangan kirinya dan dengan mudah menahan pukulan itu.
"Aku bisa membuatmu terkapar." Yulius berkata dengan santai, lalu menendang perut Wadi.
"Buk!"
Suara keras terdengar. Kemudian tubuh besar Wadi yang tingginya hampir dua meter terlempar keluar pintu kantor dan jatuh dengan keras di koridor, hingga tak mampu bangun lagi.
Saat itu, Cakra dan Hanif yang berada di dekatnya terdiam. Mereka menatap Yulius dengan mata terbelalak, seakan melihat monster.
"Kalian semua sudah lihat sendiri, dia yang lebih dulu menyerangku, jadi aku hanya melakukan pembelaan diri. Sama seperti saat aku menghadapi Dean sebelumnya," Yulius berkata kepada Cakra.
"Ini. Ini … " Cakra membuka mulutnya, tetapi tak mampu berkata apa-apa.
Yulius menatap tubuh besar Wadi yang terkapar di luar pintu, lalu menghela napas dalam-dalam.
Bagaimanapun juga, dia tidak mungkin bisa terus bersekolah di sini setelah kejadian hari ini.
"Kring! Kring! Kring!"
Tiba-tiba, telepon di meja kerja Cakra berbunyi.
Cakra tersadar dan mengangkat teleponnya.
"Halo, Pak Hermanto ... ya, dia ada di sini … ah? Tapi soal orang tua Dean itu ... baik, saya mengerti."
Dua menit kemudian, Cakra menutup telepon. Lalu menatap Yulius dengan tatapan yang sangat rumit.
"Yulius … kamu bisa kembali ke kelas. Sisanya akan kami urus."
Yulius tidak bereaksi, tetapi ekspresi Hanif berubah dan dia pun bertanya, "Pak Cakra, maksud Bapak … "
Cakra tidak menjawab Hanif dan kembali menoleh ke Yulius. "Yulius, apa yang kami lakukan sebelumnya hanya mengikuti aturan sekolah, jadi kami harap kamu bisa memahami posisi kami …"
"Nggak masalah, aku akan pergi." Yulius berbalik dan meninggalkan kantor urusan akademik.
Setelah Yulius pergi, Hanif bertanya lagi, "Pak Cakra, sebenarnya ada apa ini?"
"Pak Hermanto barusan menelepon. Katanya ada orang yang menjamin Yulius," jawab Cakra sambil menarik napas panjang.
"Siapa?" tanya Hanif.
Seharusnya Yulius tidak punya keluarga, kondisi keluarganya miskin, dan dia juga tidak punya banyak teman di sekolah. Seharusnya tidak ada yang mau membantunya.
Selain itu, orang yang dipukuli oleh Yulius adalah Dean!
Ayahnya, Wafa, adalah seorang penjahat terkenal di Kota Jayandra!
"Dewan sekolah, keluarga Tanadi," jawab Cakra.
"Keluarga Tanadi? Jadi benar, putri keluarga Tanadi memang ada hubungannya dengan Yulius!?" Hanif akhirnya mengerti.
Kemudian, dia mulai menyesali sikap buruknya terhadap Yulius sebelumnya. Jika Yulius menyimpan dendam … dia pasti akan mendapat masalah.
…
Saat Yulius kembali ke kelas dalam keadaan baik-baik saja, suasana kelas langsung heboh.
Bagaimana mungkin?
Mereka dengar ayah Dean sudah datang ke sekolah. Kenapa Yulius masih baik-baik saja?
"Sial! Kenapa dia bisa kembali secepat ini?" Yasmin memandang Yulius dengan perasaan tidak puas.
Lalu, dia melihat Selina yang tersenyum pada Yulius. Seketika itu juga, dia mengerti semuanya.
Pasti Selina yang membantunya!
"Dasar pasangan mesum!" Yasmin mengumpat dengan penuh kebencian.
…
Kantor Urusan Akademik.
Wajah Wafa terlihat suram saat dia duduk di depan meja Cakra.
"Putraku dipukuli hingga tangan kanannya mengalami patah tulang yang parah! Kurang dari lima bulan lagi ujian masuk universitas, kalau sampai saat itu belum sembuh, bisa-bisa dia nggak bisa ikut ujian sama sekali! Wadi juga terluka parah, bagaimana mungkin aku bisa menerima ini begitu saja!" Wafa berteriak marah.
"Pak Wafa, setelah kami melakukan penyelidikan, ternyata putra Anda yang lebih dulu menyerang Yulius … " Keringat dingin membasahi dahi Cakra ketika dia menjelaskan.
"Brak!"
Wafa menggebrak meja dengan keras. "Omong kosong! Jangan pikir aku nggak tahu kalau ada orang yang melindungi Yulius itu!"
Cakra mengeluarkan saputangan dan menghapus keringatnya, lalu dengan hati-hati berkata, "Pak Wafa mohon maklumi tugas kami … "
Ekspresi Wafa berubah-ubah, kemarahan memenuhi dadanya.
Sebagai seorang penjahat terkenal di Jayandra, kapan dia pernah merasa semarah ini?
Putranya hampir kehilangan tangan kanannya karena dipukuli, tetapi pelakunya malah baik-baik saja.
Kalau kabar ini tersebar, berapa banyak orang yang akan menertawakannya?
"Aku pasti akan membuat bajingan itu membayar! Kalau nggak, nggak ada gunanya aku tinggal di Kota Jayandra!" kata Wafa dengan menggertakkan giginya.
Cakra merasa terintimidasi oleh aura garang Wafa, sampai tak berani bicara.
"Di sekolah aku nggak bisa menyentuhnya … tetapi begitu dia keluar dari sekolah, kalian nggak bisa mengurusi hidup dan matinya, 'kan?" Wafa menatap Cakra dengan mata penuh kebengisan.
Cakra hanya bisa mengangguk dan berkata pelan, "Kejadian di luar sekolah … hanya bisa dianggap kecelakaan."
"Dia akan segera menghilang." Wafa sudah punya rencana dalam benaknya dan tersenyum dingin.
…
Di dalam kelas.
Selina diam-diam melirik Yulius.
Yulius tak tahan lagi, lalu menoleh ke Selina. "Apa kamu pikir aku akan berterima kasih padamu?"
Selina tertegun sejenak. Awalnya dia pikir Yulius tidak tahu apa-apa!
"Kamu ... tentu saja kamu harus berterima kasih padaku! Kalau nggak, kamu pasti sudah dilekuarkan karena masalah perkelahian ini!" ujar Selina sambil membelalakkan mata indahnya.
"Lalu menurutmu, kenapa aku sampai mukul dia?" tanya Yulius sambil menatap langsung ke mata Selina.
Selina merasa sedikit malu karena tatapan langsung Yulius. Dia belum pernah sedekat ini dengan seorang laki-laki.
"Aku, aku mana tahu?" jawab Selina sambil menghindari tatapan Yulius.
"Kalau kamu nggak pindah kelas dan minta jadi teman sebangkuku, aku nggak akan menarik perhatian orang lain. Apalagi membuat Dean iri padaku, sampai akhirnya berujung dia yang memprovokasiku hingga aku terpaksa memukulnya," kata Yulius dengan cepat.
Selina terdiam mendengar kata-kata Yulius.
"Selain itu, masalah yang kamu timbulkan bagiku bersifat permanen. Sekarang aku sudah terkenal di kelas ini. Bahkan kalau aku nggak dikeluarkan, masalah ke depannya pasti akan bertambah. Jadi, aku mohon jangan jadi teman sebangkuku dan pindahlah ke kelas lain. Sudah kubilang, aku benar-benar benci masalah," lanjut Yulius.
Sejak kecil, Selina selalu diperlakukan bagai putri oleh keluarganya. Kapan dia pernah diremehkan seperti ini?
Selina merasa sangat tidak adil.
Dia sudah membantu Yulius, tetapi malah diperlakukan dengan buruk seperti ini.
'Kalau bukan karena ingin menyembuhkan kakekku, siapa yang mau sebangku dengan bajingan sepertimu?' gerutu Selina dalam hati.
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Selina baru berkata, "Nggak masalah kalau kamu mau aku pindah dari kelas ini. Selama kamu berjanji untuk menyembuhkan kakekku, aku akan segera pergi dari sini. Selain itu, aku juga akan memberimu imbalan besar."
Yulius sedikit mengernyitkan dahinya, kemudian menatap wajah cantik Selina sambil berpikir keras.
Untuk menghindari lebih banyak masalah di masa depan, Yulius pun menjawab.
"Sepakat."