Bab 4
Kenapa masalahnya datang secepat ini?
Yulius sedikit mengernyitkan dahi dan bertanya, "Ada apa?"
"Hehe, mari bicara di luar, nggak baik bicara di sini," kata Dean dengan senyum yang sedikit mengancam.
Yulius tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya mengangguk.
Kemudian, Yulius mengikuti Dean dan beberapa temannya ke sudut tangga.
Dean dikelilingi oleh empat pria. Mereka semua adalah anak buah yang biasa mengikutinya.
Kelima orang itu mengelilingi Yulius.
Dean berdiri di depan Yulius dan bertanya dengan nada menghina "Yulius, sebenarnya kamu kenal nggak sama Selina?"
"Pernah bertemu sekali sebelumnya, tapi nggak bisa dibilang kenal," jawab Yulius dengan jujur.
"Nggak kenal? Terus kenapa Selina pindah kelas dan minta duduk sebangku sama kamu?" Dean kembali bertanya dengan nada tidak puas.
Nada bicara Dean sangat tidak ramah, tetapi Yulius tidak peduli.
"Karena dia butuh bantuan dariku," jawab Yulius sekali lagi.
"Selina butuh bantuan darimu? Haha, kamu sedang bercanda, ya? Selina itu anak orang kaya, masa dia butuh bantuan dari kamu, si miskin yang cuma makan tidur saja?" ejek Dean sambil tertawa.
Keempat anak buahnya juga ikut tertawa.
Yulius hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa.
Setelah tertawa singkat, Dean kembali bertanya, "Yulius, jujur saja, apa kamu punya sesuatu yang bisa kamu gunakan untuk mengancam Selina?"
"Nggak ada." Yulius menggelengkan kepala.
"Benar-benar nggak ada?" Dean kembali bertanya sambil menatap tajam ke wajah Yulius.
Yulius malas menjawab lagi.
"Hehe, aku tahu kamu nggak akan jawab. Nggak peduli bagaimanapun caranya, kamu harus cari cara agar kalian nggak sebangku lagi. Waktu aku masuk kelas besok, aku nggak mau lihat Selina duduk sama kamu, paham?" kata Dean dengan nada memerintah.
"Aku akan usahakan," Yulius menguap. "Apa aku boleh pergi sekarang? Aku lapar."
"Kamu boleh pergi, tapi ingat apa yang aku katakan. Kalau nggak, jangan salahkan aku kalau melupakan hubungan kita sebagai teman sekelas selama dua tahun," kata Dean sambil tertawa dingin.
Karena keluarganya kaya dan selalu dikelilingi anak buah, Dean selalu bersikap sombong di kelas 3-2. Tidak ada seorang pun di kelas yang berani mengganggunya.
Sedangkan Yulius, yang tidak terlalu menonjol, di mata Dean hanyalah seorang pecundang yang tidak perlu ditakuti.
Melihat Yulius pergi dengan santai, Thomas di sebelah Dean bertanya, "Kak Dean, kenapa kamu biarkan dia pergi begitu saja? Aku rasa dia pasti punya rahasia Selina. Kalau kita bisa mengetahuinya, kamu juga bisa membuat Selina mendekatimu … "
"Jangan buru-buru. Sekarang sekolah terlalu ramai, kita juga susah untuk bertindak. Tenang saja, kalau sampah itu tidak mau menurut, masih banyak kesempatan untuk mengajarinya." kata Dean dengan nada dingin.
Doni yang menunggu Yulius di pintu kelas, merasa lega melihat Yulius kembali dengan selamat.
"Yulius, kalau lain kali Dean memanggilmu untuk pergi sendirian, jangan mau ikut, bagaimanapun caranya. Dia itu bukan orang baik," kata Doni.
"Oh," Yulius mengangguk.
"Kamu mungkin nggak tahu, tapi keluarga Dean punya perusahaan konstruksi. Ayahnya punya pengaruh besar di Kota Jayandra, kita bukan tandingannya!" kata Doni dengan cemas, melihat Yulius tampaknya tidak peduli.
Yulius tidak berkata apa-apa.
Saat istirahat siang, Yulius pergi ke ruang guru dan mengajukan permohonan pindah tempat duduk kepada Hanif selaku wali kelasnya..
Hanif yang sangat kesal langsung memarahinya, "Yulius, kamu pikir sekolah ini milik keluargamu? Apa kamu pikir kamu bisa pindah tempat duduk seenaknya? Lagi pula, kamu sudah beruntung bisa duduk di samping Selina dengan penampilanmu yang seperti itu, tapi kenapa kamu malah banyak tingkah?"
Jelas sekali, di mata Hanif, pendapat Selina jauh lebih penting daripada Yulius. Jadi, permohonan Yulius untuk pindah tempat duduk pun mustahil dikabulkan.
Kalau begitu, tidak perlu pindah.
Yulius kembali ke kelas dan duduk di tempatnya semula.
Sepanjang siang, Dean dan Thomas yang duduk di depan beberapa kali menoleh ke belakang, menatap Yulius dengan tatapan mengancam.
Ketika bel pulang berbunyi, Selina merapikan tasnya dan tersenyum pada Yulius sambil berkata, "Yulius, sampai jumpa besok. Mulai sekarang, aku akan membantu kamu belajar dengan baik."
Yulius pura-pura tidak mendengar, tetapi semua orang di sekitarnya mendengar apa yang dikatakan.
Sebelum keluar dari kelas, Dean berjalan ke arah Yulius dan berkata dengan nada mengejek, "Yulius, jangan lupa apa yang sudah kukatakan pagi ini. Kalau nggak … "
Yulius tidak peduli padanya. Bahkan sebelum Dean selesai bicara, Yulius sudah berbalik dan pergi.
Saat melihat punggung Yulius yang menjauh, mata Dean menunjukkan tatapan yang sangat marah dan penuh kebencian.
Berani-beraninya seorang pecundang seperti Yulius tidak menghargainya?
"Kak Dean, apa kita perlu mengejarnya sekarang dan memberinya pelajaran?" tanya Thomas di sampingnya.
Dean melambaikan tangan dan berkata dengan dingin, "Nggak perlu. Kalau Yulius nggak mau pindah tempat duduk, maka kita akan 'bantu' dia!"
…
Di dekat desa tempat tinggal Yulius, ada beberapa bukit kecil.
Di kaki salah satu bukit, Yulius punya kebun sayur, di mana dia menanam berbagai jenis sayuran.
Setiap dua hari sekali, dia datang ke sana untuk menyiram sayuran dan memetik beberapa untuk dimasak.
Hari ini pun seperti biasa, Yulius datang ke kebun sayurnya. Dia membawa dua ember untuk mengambil air dari sungai kecil yang tidak jauh dari sana.
Begitu dia memasukkan ember ke dalam sungai, Yulius melihat ada lapisan cairan hitam kemerahan yang mengapung di atas air sungai yang biasanya jernih.
Pada saat yang sama, Yulius juga mencium bau darah yang samar-samar di udara.
Ternyata yang mengapung di permukaan sungai itu adalah darah!
Astaga!
Air sungai yang baik-baik saja, sekarang tercemar oleh darah!
Yulius mengernyitkan dahi dan berdiri, lalu berjalan menuju ke arah hulu sungai.
Setelah melewati sebuah bukit kecil, Yulius melihat seorang wanita mengenakan seragam kantor hitam yang sedikit robek berdiri sekitar 30 meter di depannya. Wanita itu sedang memegangi lengan kirinya yang terluka sambil berjalan tertatih-tatih di tepi sungai.
Darah yang mengalir dan menetes ke sungai itu berasal dari lengan kiri wanita tersebut.
Saat melihat Yulius, mata wanita itu bersinar penuh harapan. Dia berteriak sekuat tenaga, "Tolong, tolong aku!"
"Ruby Jacinda, Nona Yuanita ingin kamu mati. Hari ini, tak seorang pun bisa menyelamatkanmu!" Suara berat seorang pria terdengar dari belakang wanita itu.
Dua pria berpakaian jas hitam dan berkacamata hitam mengejar wanita itu hingga sekitar dua puluh meter di belakangnya. Di tangan mereka masing-masing tergenggam pistol berperedam.
Yulius awalnya tidak ingin ikut campur, jadi dia berbalik untuk pergi.
Namun, kedua pria itu juga melihat Yulius.
"Siapa kamu?" Salah satu pria itu mengangkat pistolnya, mengarahkannya ke Yulius.
Hari ini hari apa sih?
Kenapa terus-terusan kena masalah begini?
"Aku cuma kebetulan lewat saja. Jangan khawatir, aku nggak melihat atau mendengar apa pun," ujarnya pasrah.
Mendengar kata-kata Yulius, wanita yang terluka itu merasa dunia seakan runtuh dan merasa begitu putus asa.
Sementara itu, kedua pria tadi saling bertatapan. Mata mereka dipenuhi niat jahat.
Apa yang baru saja mereka katakan sama sekali tidak boleh diketahui orang lain.
Di tempat terpencil seperti ini, membunuh satu orang atau dua orang tak ada bedanya.
"Nak, anggap saja ini nasib burukmu," ucap pria yang memegang pistol sambil menarik pelatuknya.
"Syut!"
Sebuah peluru melesat ke arah dada Yulius.
Dalam sekejap, Yulius menghilang dari tempatnya.
Peluru itu meleset.
"Ah, kenapa harus merepotkanku? Aku cuma ingin mengambil sedikit air untuk menyiram kebunku," desah Yulius dari udara.
Sebelum kedua pria itu sadar, Yulius sudah berada di depan mereka, kurang dari satu meter.
Yulius mengulurkan tangan kanannya dan menampar wajah pria yang ada di depannya.
Krak!
Kepala pria itu langsung berputar 180 derajat, wajahnya menghadap ke belakang dengan ekspresi yang mengerikan. Darah masih mengalir dari mulutnya dan dia sudah tak bernyawa.
Rekan di sebelahnya yang melihat kejadian itu, begitu ketakutan hingga ingin lari sambil menjerit.
Namun, Yulius tidak memberikan kesempatan itu. Dia langsung meninju dada kiri rekan pria tadi dengan sangat keras.
Buk!
Terdengar lagi suara tulang patah yang mengerikan dan pria yang ingin melarikan diri itu terjatuh ke tanah, bola matanya melotot ketakutan.
Dalam waktu lima detik, dua orang yang tadi masih hidup, kini berubah menjadi dua mayat.
Yulius menatap mereka dengan tenang, tanpa sedikit pun emosi.
Sebenarnya dia tidak berniat untuk bertindak, bahkan dia sudah berjanji tidak akan mengatakan apa pun. Namun, kedua orang ini tetap ingin membunuhnya, jadi tidak ada pilihan lain.
Jika mereka tidak menyerangnya, dia juga tidak akan menyerang.
Jika mereka menyerangnya, dia pasti membunuh mereka.
Setelah mengurus dua pria itu, Yulius berbalik melihat wanita yang terluka oleh tembakan tadi.
Wanita itu sekarang tengah menatap Yulius dengan mata terbelalak dan terpaku di tempat.
Apa dia menyingkirkan kedua pembunuh itu begitu saja?
Siapa sebenarnya pria ini?
Apakah dia benar-benar manusia?
Wanita itu sudah kehilangan banyak darah dan menjadi sangat lemah. Kini, pikirannya kembali terguncang. Hal itu membuatnya pingsan karena kurangnya pasokan darah ke otak.