Bab 2
Daerah Jayan, kota Jayandra.
Saat keluar dari stasiun kereta, waktu sudah menjelang senja. Ketika melewati pasar, Yulius membeli satu ekor ayam yang sudah dipotong dan dua kaleng bir, lalu berjalan pulang dengan santai.
Rumahnya terletak di sebuah kampung kumuh. Sebuah rumah dengan halaman kecil yang memiliki dua lantai. Yulius tinggal di lantai dua, sedangkan sepasang ibu dan anak tinggal di lantai satu.
Sewa di tempat ini sangat murah, hanya satu juta per bulan.
Sesampainya di rumah, Yulius menyiapkan panggangan di halaman dan mulai memanggang ayam yang dibelinya.
Saat Yulius sedang melumuri ayam dengan saus, seorang gadis dengan ransel di punggungnya berlari masuk ke halaman.
"Wangi banget, Kak Yulius! Aku sudah mencium baunya dari jauh." Gadis itu berjalan mendekati Yulius, menatap ayam panggang di atas tungku dengan mata berbinar-binar.
"Jangan khawatir, pasti ada bagian untukmu," kata Yulius.
"Kak Yulius memang selalu baik padaku," ujar gadis itu dengan gembira, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Gadis itu adalah Yura Yudhisa, penghuni lantai satu, yang saat ini sedang duduk di kelas 1 SMA.
Tak lama kemudian, Yura keluar lagi sambil membawa bangku kecil dan duduk di samping Yulius.
"Kak Yulius, ke mana saja kamu beberapa hari ini? Ibuku baru saja pulang kampung, jadi aku sendirian di rumah. Bosan banget," kata Yura sambil menyangga dagunya dengan kedua tangan.
"Teman lamaku meninggal, jadi aku pergi melihatnya," jawab Yulius dengan jujur.
"Maaf … turut berduka ya," Yura berkata dengan suara pelan, seolah merasa bersalah.
Teman Yulius ini pasti sebaya dan sangat dekat dengannya. Meninggal di usia muda seperti itu, sungguh tragis.
Namun, Yura menyadari bahwa di wajah Yulius sama sekali tidak ada tanda-tanda kesedihan, dia malah terus menatap ayam panggang yang berminyak dan menggoda itu.
"Sudah matang!"
Beberapa menit kemudian, Yulius mengangkat ayam panggang yang baru matang itu. Dia menggenggamnya begitu saja tanpa takut panas.
Yulius menarik satu paha ayam dan memberikannya kepada Yura, lalu mulai memakan sisanya dengan lahap.
Lezat sekali!
Kalau dipikir-pikir, aneh sekali ya. Dia sudah berkultivasi selama hampir lima ribu tahun, tapi masih belum bisa hidup tanpa makan. Dia masih perlu makan nasi dan lauk-pauk seperti orang lain. Sungguh tidak masuk akal.
Namun, Yulius tidak punya pilihan.
Dia bisa tidak makan, tetapi tetap akan merasa lapar.
Dulu, dia pernah merasa sangat muak dengan hidupnya sehingga dia ingin bunuh diri.
Dia berhenti makan dan minum selama dua bulan, tetapi tetap hidup segar bugar.
Hanya saja, meski tubuhnya baik-baik saja, dia merasakan rasa lapar dan haus yang luar biasa.
Selama dia masih merasakan lapar dan haus, Yulius harus makan serta minum. Kalau tidak dia akan merasa sangat tidak nyaman.
Malamnya, Yulius duduk di tempat tidurnya sambil membaca satu per satu resep obat yang ditulis oleh Satya selama hampir 20 tahun.
Resep-resep ini merupakan karya terbesarnya, hasil penelitian seumur hidup Satya.
Setiap resep obat, bahkan yang paling sederhana sekalipun, adalah harta karun yang sangat berharga. Jika bocor, pasti akan menggemparkan dunia medis.
'Anak ini bahkan sudah meneliti resep-resep untuk meningkatkan vitalitas dan energi. Dia benar-benar lebih baik daripada gurunya,' Yulius berkata pada dirinya sendiri.
Tok! Tok! Tok!
Ketika Yulius sedang melihat resep-resep itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang keras dari lantai bawah.
"Pak Chandra, keluar kamu! Kamu masih berhutang seratus juta dari judi, apa kamu pikir bisa melarikan diri tanpa membayarnya?" Terdengar suara kasar.
Dengan pendengarannya yang tajam, Yulius bisa mendengar isak tangis Yura dari dalam rumah di lantai satu.
Sepertinya gadis itu pernah bilang kalau ibunya sedang pulang ke kampung, jadi dia sendirian di rumah beberapa hari ini.
"Cepat buka pintunya! Kalau nggak, kami akan mendobraknya! Nanti kalau ketemu, kami akan menghajarmu sampai babak belur!" teriak suara yang lain.
Brak!
Mereka mulai mendobrak pintu.
"C-Chandra sudah bercerai dengan ibuku. Dia nggak ada hubungannya lagi dengan kami. Dia juga nggak ada di sini," ujar Yura dengan suara bergetar, sambil menangis.
"Apa karena kamu bilang dia nggak ada, makanya dia nggak ada di sini? Kamu kan anaknya, mana mungkin kamu tega membiarkannya mati tanpa menolongnya?" Dua pria itu terus mendobrak pintu.
"Kalau kalian mendobrak lagi, aku ... aku akan lapor polisi!" teriak Yura ambil menangis.
"Kamu berani lapor polisi? Nanti kalau pintu ini jebol, kamu yang akan kena duluan!" ancam salah satu pria itu.
Brak! Brak! Brak!
Pintu berhasil didobrak.
Dua orang pria bertubuh besar dan garang yang datang untuk menagih hutang itu masuk ke dalam rumah. Mereka melihat Yura yang ketakutan sampai kakinya lemas dan terduduk di lantai.
Kedua pria itu melihat sekeliling ruangan dan menyadari bahwa tidak ada orang lain di rumah selain Yura.
"Wah, kok bisa Pak Chandra punya anak perempuan secantik ini?" Salah satu pria berkata dengan tatapan penuh nafsu ke arah Yura yang terduduk.
"Aku punya ide. Kalau kita nggak bisa menemukan Pak Chandra, kita bawa saja dia untuk dijual. Uang yang kita dapat bisa kita pakai untuk bayar hutangnya," kata pria lainnya.
"Jangan buru-buru, sebelum itu kita bisa … "
Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh Yura, dia merasakan kekuatan besar yang mengangkat tubuhnya.
"Siapa kamu?" teriak pria satunya sambil mencoba menyerang Yulius.
Brak!
Sesaat kemudian, pria itu menjerit kesakitan. Yulius menendangnya dengan keras hingga terpelanting dan jatuh terkapar di halaman.
Pria yang berada dalam genggaman tangan Yulius bahkan tidak memiliki kesempatan untuk berbicara. Yulius langsung menamparnya berkali-kali, kemudian melemparkannya ke halaman.
"Siapa pun yang berutang kepada kalian, pergilah dan cari orang itu. Kalian punya waktu tiga detik untuk segera pergi dari sini," ujar Yulius dengan tenang.
Dua orang pria itu langsung babak belur dalam sekejap. Mereka sudah tahu betapa menakutkannya Yulius, jadi mereka tidak berani tinggal lebih lama. Bahkan sebelum mereka sempat memaki, mereka segera kabur sambil merangkak keluar.
Melihat Yura yang masih gemetar dan menangis di lantai, Yulius berjongkok. "Sudah nggak apa-apa, aku sudah mengusir mereka."
Yura memeluk Yulius dan menangis makin keras.
Setelah menenangkan Yura cukup lama dan memperbaiki pintu rumahnya, Yulius baru kembali ke lantai dua.
Jujur saja, Yulius sudah melihat banyak sekali hal selama hidup lima ribu tahun lamanya. Karena itu, sifatnya menjadi sangat dingin.
Dia sering memilih untuk acuh tak acuh terhadap kemalangan orang lain, seperti yang terjadi pada Chairil.
Dia hanya mau membantu orang-orang yang punya hubungan baik dengannya atau orang-orang yang menurutnya menarik.
Malam semakin larut. Yulius pun berbaring di tempat tidur dan menutup matanya, bersiap untuk tidur.
Sama seperti dia tidak perlu makan, Yulius juga tidak perlu tidur untuk bertahan hidup, tetapi dia tetap merasa mengantuk.
Jadi, dia tetap harus tidur.
Namun, baru saja memejamkan mata sebentar, dia mendengar suara ketukan pintu.
Dia pun membuka pintu dan menemukan Yura yang mengenakan piyama tipis.
"Kak Yulius, aku ... aku takut tidur sendirian di rumah. Bolehkah aku tidur di rumahmu?" Mata besar Yura yang indah terlihat bengkak karena menangis dan hidungnya juga merah. Dia tampak sangat menyedihkan.
Selain ibunya, orang yang paling dipercaya oleh Yura adalah Yulius.
Yulius terdiam sejenak. Di rumahnya hanya ada satu tempat tidur.
Namun, melihat tubuh Yura yang masih gemetar, Yulius tidak tega menolak dan setuju dengan permintaannya.
"Malam ini kamu tidur di tempat tidurku saja," kata Yulius.
"Aku … aku tidur di lantai saja. Kamu tidurlah di tempat tidur," balas Yura.
"Nggak apa-apa. Aku sudah tidur cukup lama di kereta tadi, jadi nggak terlalu mengantuk," ujar Yulius.
Yura tidak berbicara lagi dan dengan hati-hati naik ke tempat tidur Yulius.
'Ini tempat tidur Kak Yulius. Masih hangat, berarti dia baru saja tidur di sini …'
Saat berbaring di tempat tidur dan melihat Yulius yang duduk di depan meja sambil mempelajari tumpukan resep obat, pipi Yura terasa memanas.
'Aku benar-benar berbaring di tempat tidur Kak Yulius … '
'Bagaimana Kak Yulius bisa begitu pandai bertarung?'
'Pria-pria tadi seram sekali, tapi Kakak Yulius berhasil mengalahkan mereka hanya dalam dua gerakan. Keren banget.'
Sambil memikirkan hal-hal ini, kantuk perlahan datang, dan Yura tertidur.
Keesokan harinya, Yulius pergi ke SMA Jayandra.
Sebenarnya selama ribuan tahun, dia sudah bersekolah berkali-kali.
Mau bagaimana lagi, karena dia ingin tetap hidup, dia harus menjalani hidup seperti orang normal lainnya.
Setelah mencoba banyak sekali pekerjaan, Yulius tetap merasa bahwa sekolah adalah hal yang paling menyenangkan dan paling mudah baginya.
Kembali ke kelas 3-2, Yulius duduk di bangku paling belakang.
Dia adalah siswa yang pendiam dan tidak banyak bicara di kelas, tidak punya banyak teman, dan tidak menonjol.
Dia yakin setidaknya setengah dari teman sekelasnya bahkan tidak tahu namanya.
"Dengar-dengar, kembang sekolah dari kelas unggulan sebelah, Selina, mau pindah ke kelas kita. Benar nggak sih?"
"Benar, ketua kelas tadi dengar Selina bicara dengan wali kelas kita di kantor. Dia minta dipindahkan ke kelas kita."
"Serius? Dia kan seorang bidadari! Kenapa dia mau pindah ke sini? Jangan-jangan dia naksir salah satu cowok di kelas kita, ya?"
Yulius dapat mendengar pembicaraan orang-orang ini, tetapi dia hanya merasa bising.
"Hei, Yulius, Selina mau pindah ke kelas kita. Kenapa kamu nggak senang sama sekali?" tanya Doni, teman sebangkunya yang bertubuh gemuk, sambil menyenggol lengan Yulius.
"Aku bahkan nggak tahu siapa dia, kenapa harus senang?" jawab Yulius balik bertanya.
"Hah? Kamu benar-benar nggak tahu siapa Selina? Dia itu putri keluarga Tanadi dari Jayan, keluarga yang sangat kaya dan berpengaruh. Tapi yang paling penting, dia itu cantik banget bagaikan bidadari. Dia adalah dewi sekolah kita!" Doni menjelaskan dengan semangat.
keluarga Tanadi dari Jayan?
Sepertinya dia pernah mendengarnya.
Yulius hanya menggumamkan "oh" sebelum kembali merebahkan kepala di meja dan memejamkan mata.
Dia agak mengantuk karena tidak tidur semalaman.
Melihat Yulius tidak tertarik, Doni akhirnya berhenti mengganggunya.
Bel sekolah berbunyi. Semua orang kembali ke tempat duduk dan menunggu kedatangan kembang sekolah dengan hati-hati.
Benar saja, wali kelas mereka, Pak Hanif, masuk ke kelas dengan seorang siswi.
Gadis itu mengenakan seragam sekolah dengan rambut dikuncir satu ke belakang. Wajahnya polos tanpa riasan, tapi kulitnya tetap putih bersih dan bersinar.
Wajahnya sangat cantik, dengan mata yang berkilau seperti bintang, hidung yang mancung, dan bibir yang merah merona.
Meskipun memakai seragam yang sama seperti yang lain, gadis itu terlihat sangat cantik dan anggun, seperti bidadari.
Dia ini memang pantas disebut 'kembang sekolah', kecantikannya luar biasa.
Baik siswa maupun siswi di kelas, hampir semuanya terpesona.
"Mulai hari ini, Selina akan pindah ke kelas kita, kelas 3-2. Mari kita sambut dengan hangat!" kata Pak Hanif dengan wajah yang ramah.
Semua murid di kelas mereka bertepuk tangan. Bunyi tepuk tangan itu membuat Yulius yang sedang memejamkan mata, terganggu dan mengangkat kepalanya.
Saat membuka matanya, Yulius langsung melihat Selina di depan kelas.
Hah?
Ternyata dia?
Yulius segera menyadari alasan Selina ingin pindah ke kelas ini.
Sial!
Masalah datang.
Selina juga sedang mencari-cari seseorang di kelas dan matanya langsung bersinar saat melihat Yulius di sudut ruangan.
'Yulius, ternyata kamu memang ada di sini!'
"Pak, saya mau duduk sebangku dengannya," kata Selina sambil menatap tajam ke arah bangku Yulius.