Bab 13
Saat ini sudah pukul satu dini hari, di luar sangat tenang.
Saat mendengar suara tangisan wanita seperti ini, orang biasa pasti merasa ngeri dan mengira mereka sedang diganggu makhluk halus.
Namun, Yulius tahu bahwa Yuni sedang menangis di bawah.
Saat makan malam, Yulius melihat kesedihan di balik mata Yuni.
Mungkin supaya Yura tidak khawatir, dia baru berani menangis setelah tengah malam.
Jelas sekali, kalau Yuni sedang menghadapi kesulitan.
Yuni adalah orang yang baik.
Setelah Yulius pindah ke sini, Yuni yang melihatnya kesepian pun sering mengajaknya makan bersama. Terkadang, Yuni juga meminta Yura untuk mengantarkan buah-buahan dan camilan kepadanya.
Meskipun Yulius memiliki sifat yang dingin, bukan berarti dia adalah orang yang tidak berperasaan.
Apalagi Yuni juga tetangga yang baik.
Oleh sebab itu, Yulius memutuskan akan bertanya apakah Yuni mengalami kesulitan siang hari nanti.
…
Pagi hari, di saat pelajaran olahraga.
Pelajaran olahraga kelas SMA 3 sebenarnya adalah waktu bagi semua siswa yang selama ini sibuk belajar untuk bersantai dan beraktivitas bebas di lapangan.
Sebagian besar siswa akan memilih berbagi olahraga bola dan lari, sementara sekelompok kecil siswa yang malas, seperti Yulius dan Doni akan pergi ke toko serba ada untuk membeli es krim. Lalu, mereka duduk di bangku samping lapangan basket sekolah, sambil makan es krim dan mengobrol.
Di lapangan basket tempat Yulius dan Doni berada, awalnya hanya ada beberapa orang yang sedang melempar bola. Akan tetapi, beberapa menit kemudian, tiba-tiba muncul sekelompok besar orang.
Fokus dari kelompok ini adalah Damian, yang bertemu dengan Yulius kemarin.
"Kenapa Damian bisa ke sini?" Doni yang melihat Damian pun kaget.
Segera, Doni melirik Yulius yang di sampingnya, mengingat rumor yang menyebar di seluruh kelas kemarin.
Damian sangat tidak senang melihat Yulius duduk sebangku dengan Selina, sehingga Damian langsung mendatangi Yulius dan mengancamnya.
Saat kejadian itu, Doni sedang tertidur di meja, jadi dia tidak tahu kebenaran dari kejadian tersebut.
"Hei, Yulius, apa kejadian kemarin itu benar? Damian, apa dia benar-benar …" Doni baru saja ingin bertanya kepada Yulius.
"Ah!"
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan di pinggir lapangan basket.
Di lapangan basket, Damian terlihat melepas kemeja seragam sekolahnya, memperlihatkan otot dada dan perutnya yang six-pack, membuat para gadis yang ada di sana terpana.
Damian bertubuh tinggi dan atletis, wajahnya tampan dan pintar dalam belajar, juga berasal dari keluarga kaya.
Pria yang sempurna seperti ini, tidak perlu diragukan lagi bahwa dia adalah idola setiap gadis, pangeran berkuda putih dalam arti sesungguhnya.
Damian mengambil bola basket dan menggiringnya dengan lincah, lalu melompat di dekat garis bebas dan dengan mudah melakukan dunk.
"Wah!"
Dunk itu sekali lagi memicu sorakan dari seluruh penonton, termasuk para pria yang ikut berteriak.
Melakukan dunk dari dekat garis bebas, bahkan di Klub Basket Lenter pun, hanya sedikit pemain yang bisa melakukannya.
Namun, Damian bisa melakukannya, dan terlihat sangat mudah!
"Ya ampun, bagaimana Damian bisa melompat setinggi dan sejauh itu?"
"Benar! Lebih hebat dari para pemain Klub Basket Lentera!"
"Hehe, pasti kalian nggak tahu ... aku dengar kalau Damian sudah belajar bela diri sejak kecil, sekarang sepertinya dia adalah seorang … ya, petarung bawaan!"
Beberapa siswa laki-laki di sekitar Yulius sedang berdiskusi.
"Petarung bawaan?!" Mendengar kata itu, Doni langsung bersemangat hingga pipinya bergetar.
Doni pun menoleh ke arah Yulius dan berkata, "Yulius, kalau kamu benar-benar berselisih dengannya, lebih baik cepat minta maaf. Petarung bawaan itu, benar-benar nggak bisa dianggap remeh."
Yulius tersenyum samar. Saat bertemu kemarin, dia sudah tahu bahwa Damian ada seorang petarung bawaan tingkat lima, setara dengan Tahap Pemurnian Energi tingkat lima.
Di hadapan siluman tua seperti Yulius yang sudah mencapai Tahap Pemurnian Energi tingkat 9.832 ini, tingkat kemampuan Damian terasa seolah tidak ada.
Namun, bagi orang biasa, terutama di usia Damian, hal itu memang cukup mengesankan.
Saat ini, jumlah orang yang menonton Damian makin banyak, dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan.
Setiap kali Damian mencetak poin, para gadis itu langsung berteriak dengan penuh semangat.
…
Selina sedang berjalan di lintasan lari bersama dengan teman baiknya dari kelas unggulan, Elvina Hana.
"Selina, cepatlah kembali ke kelas kita. Waktu kamu nggak ada, aku sangat bosan," kata Elvina sembari menarik tangan Selina.
"Aku juga ingin pindah balik, tapi waktu mendaftar untuk pindah kelas, Kepala Akademik menolak dan bahkan memarahiku," kata Selina putus asa.
"Ha? Dia bahkan berani marahin kamu? Pulang dan beri tahu ayahmu, minta ayahmu menelepon. Aku nggak percaya Kepala Akademik masih bisa bersikap seperti itu!" Elvina berkata dengan marah.
Lalu, seolah-olah teringat sesuatu, Elvina menatap Selina dengan curiga dan berkata, "Nggak mungkin … seorang Kepala Akademik berani menolak permintaanmu? Aku rasa kamu yang nggak mau pindah kelas dan cuma cari alasan untuk mengelak, 'kan?"
"Selina, jujur saja … kamu suka Yulius, 'kan?!"
"Kamu! Ngomong apa sih kamu!" balas Selina dengan wajahnya yang memerah.
"Hmm, lihat kamu yang salting begini, sepertinya aku benar!" kata Elvina sembari memicingkan matanya.
Pada saat ini, mereka mendengar suara teriakan dari lapangan basket di sebelah.
"Ada apa? Kenapa di sana banyak orang?" tanya Selina, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Elvina mengalihkan pandangannya ke arah lapangan, matanya langsung berbinar saat melihat Damian yang telanjang dada dan berkata, "Itu Damian! Ayo, kita juga pergi lihat!"
Mendengar nama Damian, Selina merasa tidak nyaman dan tidak ingin ke sana.
Namun, Elvina menarik paksa dan Selina tidak berdaya.
…
Yulius merasa masalah akan datang seiring dengan makin banyaknya orang yang berkumpul.
"Ayo pergi, di sini terlalu ramai." Yulius menepuk bahu Doni dan berdiri.
Namun, tepat saat itu, Damian menghampirinya.
Dia melangkah pelan.
"Yulius, kebetulan sekali." Senyum ceria Damian menghiasi wajahnya.
Sama sekali bukan kebetulan. Yulius tahu bahwa Damian sengaja mendatanginya.
"Ada apa?" tanya Yulius.
"Nggak apa-apa, hanya melihatmu di sini dan tampak bosan, jadi ingin mengajakmu bermain bola," kata Damian.
Mendengar perkataan Damian, para siswa yang menyaksikan pun menjadi bersemangat.
Dilihat dari rumor kemarin, hari ini pasti akan ada pertunjukan yang menarik!
Damian tidak suka melihat Yulius yang duduk sebangku dengan Selina, dan sekarang jelas dia ingin memberi pelajaran kepada Yulius!
Yulius kali ini benar-benar dalam masalah!
"Aku nggak bisa main basket," kata Yulius dengan tenang.
"Nggak mungkin? Masa seorang pria nggak bisa main basket?" Damian tersenyum sinis.
Suara tawa terdengar dari sekeliling.
"Sebuah kehormatan bagimu diajak main basket oleh Tuan Muda Damian. Lebih baik kamu ikut bermain saja. Lagi pula, ada banyak orang di sini yang melihat. Kamu takut seperti ini, apa mau jadi bahan tertawaan?" kata seorang siswa laki-laki di sebelah Damian.
"Iya, jangan ragu, ayo!"
Sekelompok siswa laki-laki yang suka mengganggu mulai membuat keributan.
Sementara itu, para gadis memandang Yulius dengan tatapan hina, jelas tidak menghargai pria yang penakut seperti itu.
Selina dan Elvina berdiri di pinggir kerumunan dan melihat kejadian ini.
"Eh, Selina, kayaknya teman sebangkumu sedang dalam masalah," kata Elvina sambil tersenyum.
Selina tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak menyangka Damian akan mencari masalah dengan Yulius di depan banyak orang.
"Nggak bisa, aku harus menghentikan Damian!"
Berpikir demikian, membuat Selina berusaha menerobos kerumunan.
Namun, Elvina menahannya dan berkata, "Selina, jangan ikut campur. Kalau nggak, rumor tentang kamu dan Yulius akan semakin kuat. Lebih baik kita lihat dari sini, sekaligus biarkan aku melihat kemampuan teman sebangkumu ini …"
Melihat ekspresi cemas di wajah Selina, Elvina merasakan sesuatu yang menarik.
"Tenang saja, ada begitu banyak orang yang melihat, Damian pasti nggak mungkin memukulnya, 'kan?" Elvina menimpali lagi.
Namun, itu benar-benar tidak pasti.
Nanda pernah memberi tahu Selina bahwa keluarga Yalendra adalah orang-orang gila, dan sebaiknya tidak mengusik mereka.
Sementara Selina sedang gelisah, Damian tersenyum, lalu melempar bola basket yang ada di tangannya ke depan.
Dengan serangan mendadak seperti itu, bola itu pasti akan mengenai wajah jika bereaksi lambat.
Namun, Yulius dengan mudah menangkap bola itu dengan satu tangan.
"Main berapa kali?" tanya Yulius.
Melihat Yulius dapat dengan mudah menghalau bola tersebut, Damian tampak agak terkejut, tetapi segera menghilangkan kejutannya.
"Tiga kali," kata Damian yang tersenyum lebar.
Yulius benar-benar menerima tantangan bermain individu dengan Damian!
Suasana di lapangan basket makin meriah, bahkan ada yang mulai bertepuk tangan. "Benar-benar seorang pahlawan yang nggak takut mati!"
Selina makin gelisah. "Kenapa dia menyetujuinya! Damian pasti nggak akan membiarkannya begitu saja!"