Bab 3
Begitu mobil mulai bergerak, Carlo yang duduk di dalam berkata, "Ada satu hal yang perlu kukatakan. Setelah kita kembali ke Kota Binsar, kami akan mengumumkan kamu adalah anak angkat keluarga Amarta."
Alice mengangkat pandangannya kepada Carlo. Hal ini sebelumnya tidak pernah disebutkan dalam percakapan telepon mereka.
Mata Alice hitam pekat, tatapannya dingin dan tak terjangkau, sangat berbeda dengan sikap manisnya tadi.
Pandangan itu membuat Carlo merasa tidak nyaman.
Benar saja, bukan anak yang dibesarkan sendiri, tetap saja terasa asing.
Setelah susah payah menekan rasa tidak enaknya, Carlo menjelaskan, "Bisnis keluarga Amarta bisa mencapai titik ini karena selalu didukung oleh keluarga Gunawan."
"Sekarang, anak keluarga Gunawan, Ricky, menyukai Silvi dan mereka telah lama bertunangan. Untuk menjaga kepentingan kedua keluarga, kami terpaksa mengorbankan sedikit nama baikmu," lanjut Carlo.
Jelas mereka takut keluarga Gunawan tidak akan menerima putri kandung yang tumbuh di pegunungan dan perjodohan itu gagal.
"Oh," jawab Alice dengan singkat.
Kemudian, dia mengambil ponsel dari tasnya, membuka sebuah permainan dan mulai bermain, seolah-olah hal itu tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Melihat Alice tidak keberatan, Carlo merasa lega.
Tumbuh di pegunungan, mungkin hanya ini kelebihannya: mudah diatur.
Kalau bukan karena istrinya memohon berulang kali dan kekhawatiran akan ada yang mengetahui identitas Alice lalu merusak reputasi keluarga Amarta, dia tidak akan datang menjemput Alice kembali ke keluarga mereka.
Dia melirik Alice yang bersandar malas di kursi mobil dengan pandangan fokus pada ponselnya.
Kedua ibu jarinya dengan lincah mengetuk-ngetuk layar, menunjukkan kalau Alice sering bermain.
Carlo mengerutkan kening, melirik sekilas ke layar ponselnya.
Ternyata Alice sedang memainkan permainan sederhana bernama 'Pasang-pasangan.' Rasa simpati yang sedikit terhadap putrinya itu pun langsung lenyap.
Dia bahkan sedikit menyesal telah datang menjemput Alice kembali ke keluarga Amarta. Anak ini tidak sopan, bermain tanpa henti dan mungkin suatu hari akan mempermalukan keluarga Amarta.
Namun, yang tidak dilihat oleh Carlo adalah Alice sedang bermain permainan 'Balik dan Pasang.'
Ada 99 pasang ikon yang diacak, pertama ditampilkan selama satu menit, kemudian semuanya dibalik. Pemain harus mengingat posisi ikon dan mencocokkannya kembali.
Dalam level ini, Alice hanya membutuhkan 10 detik untuk menghafal sebelum memulai dan dalam 48 detik, dia menyelesaikan semuanya dengan kesalahan hanya 1%.
Meski begitu, dia tidak puas dengan kecepatannya dan memulai ulang level tersebut.
Mobil tiba di bandara dan mereka naik pesawat. Dua jam kemudian, mereka tiba di bandara Kota Binsar.
Sepanjang perjalanan, kecuali saat makan, Alice terus-menerus mencoba memecahkan rekor level tersebut. Akhirnya, dia berhasil memecahkan rekor tertinggi.
Hanya butuh 3 detik untuk menghafal, 27 detik untuk menyelesaikan semuanya dan tanpa kesalahan.
Saat itu, beberapa pesan masuk di WhatsApp.
Si Kelinci Cantik: "Gagak, kamu benar-benar tidak mau menerima pesanan lagi?"
Si Kelinci Cantik: "Ada yang menawarkan tiga kali lipat harga untuk sebuah tugas. Kamu mau pertimbangkan lagi?"
Si Kelinci Cantik: "Tiga kali lipat harga, lho! Tiga kali lipat!"
Alice menghela napas dengan tidak sabar dan membalas dua kata: "Tidak terima."
Si Kelinci Cantik: "Menolak tawaran bernilai puluhan juta? Apa yang ingin kamu lakukan?"
Gagak: "Istirahat."
Si Kelinci Cantik: "Lalu, kamu akan istirahat berapa lama? Biar aku bisa beri tahu mereka."
Gagak: "Tergantung suasana hati."
Si Kelinci Cantik: "Dasar egois!"
Carlo yang melihat Alice terus-menerus bermain dengan ponselnya, hanya menganggapnya sebagai seorang remaja yang kecanduan internet.
Dibandingkan dengan Silvi yang di pesawat selalu serius membaca buku latihan, perbedaan antara keduanya sangat mencolok.
Keputusannya untuk tidak mengumumkan Alice adalah putri kandung keluarga Amarta ternyata tepat, agar keluarga Amarta tidak dipermalukan di kemudian hari.
…
Di desa pegunungan.
Nenek Yulia sedang menjemur ramuan obat di halaman ketika dua pria berpakaian kamuflase datang mendekat dari luar pagar.
Pria di depan memiliki wajah tampan yang seolah-olah dipahat tangan dewa sendiri dengan tubuh yang tinggi tegap. Namun, bagian depan kanan dadanya penuh dengan noda darah yang menunjukkan dia terluka, meskipun lukanya sudah dirawat.
Di belakangnya diikuti seorang pria berwajah bayi.
"Apakah kalian ingin berobat atau mencari ramuan?" tanya Nenek Yulia sambil meletakkan ramuan di tangannya.
"Kami mencari seseorang," ujar Damian sambil mengeluarkan sepotong kain berlumuran darah dari sakunya.
Nenek Yulia melihat kain itu dan ekspresinya langsung berubah waspada.
Kain itu memiliki bordir yang jelas merupakan hasil karyanya!
Dia teringat pada penampilan Alice saat pulang tadi pagi. Melihat noda darah di dada pria itu, Nenek Yulia pun bertanya, "Kalian siapa … ?"
Menyadari perubahan ekspresi Nenek Yulia, Damian dengan nada lembut menjelaskan, "Kami adalah pasukan khusus negara, sedang menjalankan misi rahasia. Gadis itu membantu kami menangkap penjahat dan menyelamatkanku. Tim kami perlu dia untuk kembali bersama kami untuk memberikan laporan tugas, sekaligus aku ingin mengucapkan terima kasih langsung padanya."
"Begitu, ya, tapi kalian terlambat," ujar Nenek Yulia, mulai melepaskan kewaspadaannya. "Dua jam yang lalu, dia sudah pergi dan tidak akan kembali lagi."
Damian mengernyitkan alisnya dan membalas, "Ke mana dia pergi?"
Nenek Yulia ragu sejenak, akhirnya berkata, "Kota Binsar, bersama keluarga Amarta."
"Baik, terima kasih," balas Damian mengucapkan terima kasih dan berbalik pergi.
Desta Maven menyusul langkah Damian, sambil tersenyum dan bertanya, "Bos, apakah kamu sudah terlalu lama meninggalkan pasukan atau ingatanmu yang salah? Sejak kapan tim kita punya aturan membuat laporan tugas setelah misi selesai?"
"Satu menit yang lalu," jawab Damian singkat.
Desta hanya bisa terdiam.
Damian menyerahkan kain berlumuran darah itu kepada Desta, lalu memerintahkan, "Cuci bersih ini, besok berikan alamat pemiliknya kepadaku."