Bab 8
"Apa maksud masa lalu, masa kini, dan masa depan? Artinya, siaran langsung ini meramal nasib?"
"Mungkin, ya!"
"Cerita hidupku nggak perlu kamu ceritakan. Aku nggak mau dengar cerita. Aku mau lihat siaran langsung dengan menari seperti sebelumnya. Asalkan siaran langsung membawakan tarian kelinci, aku akan kasih hadiah."
"Aku beda sama yang di atas. Aku mau dengar siaran langsung dipanggil 'suami'."
"Siaran langsung ini sebenarnya pakai trik apa sih? Sebelumnya, siaran langsungnya bernyanyi dan menari. Kenapa sekarang malah cerita, sudah gitu tentang ramalan nasib lagi."
...
Penonton di siaran langsung berdebat sengit, tetapi Leira masih bersikap tenang.
Sistem menjadi cemas, "Tuan, kenapa nggak angkat bicara? Mau menunggu saja?"
Leira justru membalas, "Nggak usah buru-buru."
"Mana bisa nggak buru-buru!" Sistem pun kesal sendiri.
Tiba-tiba, ada permintaan panggilan video yang masuk di ruang siaran langsung.
Leira menerimanya.
Layar pun terbagi menjadi dua.
Di sisi video, ada seorang pemuda berusia 20-an. Begitu panggilan video tersambung, dia langsung tersenyum lebar. "Penyiar, aku mau dengar ceritaku."
Leira menatapnya sebentar.
"Kamu lahir dari keluarga menengah, punya orang tua lengkap, dan seorang kakak laki-laki. Waktu usiamu sekitar sepuluh tahun, keluargamu menjadi kaya. Kamu punya bakat dalam belajar, makanya nilai akademikmu pasti bagus."
"Benar, benar sekali. Semua yang kamu bilang benar."
Feno, sosok dalam panggilan video itu, mengangguk-angguk.
Namun, kening Leira mengernyit. "Seharusnya, hidupmu lancar, sehat, dan panjang umur. Tapi, entah kenapa, justru bagian vitalmu terlihat redup dengan wajahmu yang tampan ini. Cahaya di wajahmu juga redup. Sepertinya, kamu lagi mengalami hal buruk baru-baru ini."
Feno baru menyadari kehebatan Leira.
Ekspresinya langsung berubah serius. "Penyiar, kamu benar sekali. Baru-baru ini, aku sangat sial. Waktu makan di belakang sekolah, tiba-tiba tertimpa sepeda motor yang parkir di pinggir jalan dan kakiku patah."
Dia mengarahkan kamera ke kakinya yang dibalut gips.
"Sebelumnya, hubungan dengan pacarku sangat baik. Beberapa hari lalu, waktu dia ulang tahun, aku kasih hadiah. Tapi, kurinya salah mengantar paket itu ke pacarku. Pacarku mengira aku mau putus. Sekarang, dia sudah blokir semua kontakku."
Karena itu, Feno bosan hingga menonton siaran langsung.
Dia tertarik dengan cara Leira melakukan siaran langsung.
"Penyiar, aku cuma mau tanya. Apa aku bisa kembali bersama pacarku?"
"Sial banget orang ini."
"Aku pernah lihat orang sial, tapi nggak pernah lihat yang sesial ini."
"Eh, kalian nggak curiga kalau orang ini justru suruhan penyiar? Siaran langsung ini ala-ala dukun sakti, bisa-bisanya meramal sedetail ini!"
"Kurasa ini palsu. Dukun yang asli pasti sudah tua dan punya banyak pengalaman. Penyiar ini masih muda banget!"
"Palsu, palsu! Tutup saja!"
...
Feno hendak menjelaskan bahwa dia bukan orang suruhan kala melihat komentar di ruang siaran langsung, tetapi Leira sudah mulai bicara.
"Nasib burukmu bukan karena diri sendiri. Tapi, karena dampak perbuatan leluhurmu. Kutukan turun-temurun."
"Apa?"
"Keluargamu pasti sedang bermasalah. Coba buat menghubungi keluargamu."
Feno seketika panik dan buru-buru menelepon orang tuanya.
Yang mengangkat adalah Ayah Feno. "Ayah, lagi ada masalah di rumah, ya?"
"Aku tahu setelah tanya ke Master. Kata Master, ada masalah di rumah. Betulan ada masalah?"
"Apa? Ibu didiagnosis kanker lambung!"
"Kakak keguguran!"
"Bisnis keluarga juga bermasalah!"
Feno sangat terkejut sampai tak bisa berkata-kata.
Setelah sang ayah meminta Feno bertanya ke Leira, barulah dia kembali tersadar. Rasanya, dia ingin menerjang lara. "Master, Master, ayahku menitipkan pertanyaan. Apakah ada cara buat menyelamatkan keluargaku?"
"Tergantung dengan yang dilakukan keluargamu."
Feno segera bertanya kepada ayahnya.
Setelah mendapat jawaban, dia terdiam lagi sejenak. "Ayahku bilang, kami memindahkan makam Kakek dan Nenek."
Dia memang sudah tahu hal ini sebelumnya.
Kampung mereka akan membangun jalan. Kebetulan sekali, makam Kakek dan Nenek ada di jalur yang akan dibangun.
Setelah pemerintah memberi kompensasi, keluarga mereka mencari seorang paranormal untuk melihat lokasi pemindahan makam yang cocok.
Feno mendengar sang ayah berkata, keluarga mereka mengalami sedikit masalah sejak hari pertama pemindahan makam. Selama lebih dari dua bulan ini, masalah yang ada di rumah makin menjadi-jadi.
"Kalau pemindahan makam nggak tepat, rumah nggak damai. Pasti akan mengalami malapetaka serius."
Ketika Leira mengucapkan ini, Feno seketika merasakan sensasi dingin di punggungnya hingga nyaris berlutut.
"Master ..."
"Jangan panggil aku Master. Aku cuma penyiar biasa, nggak ada yang istimewa."
Feno terdiam.
'Apa maksudnya, ya? Apa keluarganya nggak bisa selamat?'
Seketika, Zarren mengingat sosok Feno di kolom komentar saat sedang menonton siaran langsung tersebut.
"Siaran ini butuh perhatian dan dukungan."
Feno yang melihat komentar itu segera berkata, "Penyiar, aku akan segera mengikutimu."
Lalu, dia memberikan hadiah berupa kapal induk.
Leira menggunakan sedikit Kekuatan Spiritualnya, tetapi tak ada perubahan. Dia bertanya dalam hati kepada Sistem.
Sistem juga tampak putus asa. "Tuan, orang ini nggak percaya penuh padamu. Jadi, dia nggak bisa kasih Keberuntungan padamu."
"Sebelumnya, waktu siaran, kamu nggak bilang bahwa orang harus percaya padaku," balas Leira.
"Siaran langsung Tuan sebelum ini hanya bernyanyi dan menari. Yang penting, penonton suka. Tapi, sekarang, Tuan meramal dan bercerita. Yang penting, penonton percaya ucapanmu."
Leira langsung terdiam.
"Sebenarnya masih sama. Tapi, cara Tuan mendapat Keberuntungan yang berbeda. Kalau Tuan bisa membuat penonton suka dengan caramu bercerita, kamu juga bisa dapat Keberuntungan."
Leira masih terdiam.
'Suka? Mustahil.'
Setelah Feno memberi hadiah, dia melihat ekspresi Leira tidak berubah.
Hatinya mulai agak gelisah.
'Apakah hadiahnya terlalu sedikit?'
'Haruskah dia kasih hadiah lagi?'
Benaknya dihinggapi pikiran seperti itu, tetapi dia juga tak rela.
Keluarganya memang berkecukupan, tetapi dia selalu punya rencana pengeluaran yang baik. Pengeluaran tambahan seperti ini selalu dia kontrol dengan ketat.
Lagi pula, penyiar ini hanya bisa menebak situasi keluarganya dan belum tentu bisa menyelesaikan masalahnya.
Apakah layak memberi donasi sebanyak ini?
"Apakah kampung halamanmu jauh dari Jiandra?"
Feno langsung menggeleng. "Nggak jauh. Kampung halamanku di Jiandra."
"Oke. Besok, aku akan lihat ke sana."
Mata Feno sontak terbelalak. "Serius? Terima kasih, Penyiar!"
"Kirim lokasinya lewat pesan pribadi."
"Oke, oke!"
Leira menutup tombol panggilan video, lalu menghadap kamera siaran seraya berkata, "Siaran hari ini cukup sampai di sini. Terima kasih untuk semua yang sudah menonton."
Usai menutup siaran langsung, ekspresi Leira segera berubah drastis.
Matanya menatap dingin ke arah sosok samar-samar yang tak jauh dari sana.
"Kamu cukup berani datang ke daerahku, ya!"
Sosok hantu itu dikelilingi oleh energi hantu, lalu sosoknya langsung menyerang Leira.
Leira sontak melemparkan sehelai kertas jimat.
Begitu kertas jimat menempel pada sosok hantu itu, energi hantu di sekitarnya langsung menghilang, menyisakan arwah murni.
Melihat arwah tersebut, mata Leira tiba-tiba terbelalak.
"Lho? Ternyata kamu?"