Bab 14
Setelah keluar dari Jalan Kuno, Zarren tak bisa menahan rasa ingin tahunya dan bertanya, "Kenapa masih berbaik hati pada peramal itu? Dia penipu, bahkan ingin menyakiti orang lain."
"Itu bukan membantunya! Aku begitu biar dia nggak menipu lagi."
Leira merasa, Kekuatan Spiritualnya meningkat ketika membantu orang lain.
Barusan, Kekuatan Spiritualnya terasa bertambah saat membantu sang peramal.
Penipu ini pun tidak berasal dari siaran langsung.
Artinya, meskipun bukan dari siaran langsung, Kekuatan Spiritual miliknya tetap bisa bertambah selama dia melakukan kebajikan.
Zarren tidak tahu pikiran Leira, tetapi hatinya merasa kagum.
Seorang ahli memang terampil, tingkatannya juga sangat tinggi.
Zarren mengantar Leira kembali ke rumah keluarga Candrawira.
"Tunggu sebentar!" ujar Leira padanya.
Dia membawa dua kotak koin itu ke lantai atas, membukanya, dan mengambil tiga tali merah untuk mengaitkan koin kuno menjadi satu.
Menggerakkan tangan sekaligus membentuk segel, sorot matanya tampak berkilau.
Lima belas koin kuno tersebut samar-samar memancarkan cahaya keemasan.
Segera saja, cahaya itu redup dan koinnya kembali ke warna asal.
Zarren, yang berdiri di samping, tampak mengusap matanya. "Kak Leira, barusan aku lihat cahaya emas, apa mataku berhalusinasi?"
Sejak kenal Leira, dia merasa sudut pandangnya soal dunia selalu dihancurkan dan dibentuk kembali.
Leira tak menjawab pertanyaannya, justru dia menyerahkan tiga rangkaian koin tembaga pada Zarren. "Ini adalah Koin Winaya. Kalau kamu ingin mengusir roh jahat atau menghentikan nasib buruk, letakkan di atas pintu depan atau jendela. Ingat, jangan menghadap langsung ke pintu."
"Kalau mau tarik rezeki, taruh di dompet atau brankas."
"Kalau mau meningkatkan Keberuntungan, bisa kamu pakai."
Zarren memegang Koin Winaya seraya membelalakkan matanya. "Kak Leira, ini buatku?"
"Betul. Kamu yang bayar koin-koin kuno ini. Jadi, ini imbalan buat kamu." Leira khawatir Zarren masih tidak paham, sehingga dia lanjut menjelaskan, "Jangan lihat karat di koin ini. Asal kamu tahu, seluruh koin ini dicetak semasa kepemimpinan raja-raja paling makmur dan berjaya di masa lalu."
"Koin Winaya ini sudah melalui ribuan tangan, ada banyak energi positif yang terkumpul dari berbagai orang …"
"Kak, nggak perlu kamu jelaskan, kok. Meskipun kamu tahu, aku tetap nggak akan paham, tapi aku pasti tahu kalau ini termasuk barang bagus." Cahaya keemasan yang mendadak berkilau tadi sudah mengubah sudut pandangnya.
Sekarang, barang ini adalah miliknya. Lantas, apa lagi yang perlu dipertanyakan?
"Kak Leira, aku akan panggil kamu Bos Leira mulai sekarang. Kalau mau beli sesuatu, bilang saja, ya."
Zarren langsung benar-benar bersemangat.
Leira refleks agak menjauh dengan gestur muak. "Ini buat kamu dan keluargamu, terserah kalian mau dipakai buat apa."
Setelah dapat barang berharga, Zarren lekas pergi ke rumah sakit.
"Ayah, Ibu, Leira benar-benar hebat. Sebenarnya, dia pasti orang pintar yang lagi sembunyi!" Tanpa menunggu pertanyaan Yoga, Zarren langsung menceritakan semua yang terjadi hari itu.
Termasuk soal pemindahan makam, menasihati peramal penipu di Jalan Kuno, serta koin-koin kuno itu.
"Ayah, Ibu, kalian melihatnya, 'kan? Begitu Leira bicara beberapa kata, koin-koin itu langsung memancarkan cahaya keemasan."
"Kalau nggak lihat dengan mata kepalaku sendiri, aku nggak akan percaya dan menganggapnya efek khusus dari televisi."
Belum selesai Zarren bercerita, Yoga sudah berdiri dan menampar Zarren.
"Ayah, kenapa malah menamparku?"
"Masih bertanya? Kamu sudah meragukan kemampuan Leira. Dia menyuruhmu beli koin kuno, tapi kamu malah berpikir dia ditipu dan berniat menasihatinya supaya nggak dibeli," tegur Yoga, tak habis pikir dengan kebodohan sang putra.
Perlahan, Zarren menyentuh bekas tamparan sang ayah seraya berkata, "Aku cuma takut kalau dia nggak paham barang antik."
Yoga serasa ingin menendang Zarren saking marahnya, tetapi dia berhasil menghindar. "Kalau dia nggak paham, memangnya kamu paham, hah? Buat apa sok pamer di depannya, sih?"
Zarren sontak diam tak berkutik dibuatnya.