Bab 6
Prita dan Sabrina tersungkur masuk ke ruangan.
Begitu mendongak, mereka terkejut dan melongo kala melihat dua pria terikat di kursi dengan jarum perak menusuk di area vital mereka!
"Jangan bergerak. Kalau gerak, bisa lumpuh, lho." Nadira tersenyum licik. Dia pun berbalik, mengambil sup daging, lalu menyiramkannya ke arah ibu dan anak itu!
"Ah!" Wajah Prita dan Sabrina basah kuyup akibat sup tersebut!
Nadira membuka pintu belakang ruang kerja. Di sana, ada tangga seraya dua anjing gembala peliharaannya yang dulu tengah berlari mendekat.
Anjing-anjing itu ganas dan hanya patuh pada Nadira.
"Anak-anak baik. Ayo, makan sup dulu!" kata Nadira sambil tersenyum penuh arti.
Kedua anjing itu mengepung Prita dan Sabrina sambil menunjukkan taring tajam mereka!
"Nadira, apa yang kamu lakukan?" Prita menatap penuh kebencian setelah rencananya gagal.
Nadira mengambil pisau buah itu, lalu menghapus sidik jari miliknya dari bilah pisau itu. Dia mendekati Sabrina dengan mata indahnya yang berkilat dingin. "Biar kutebak. Kamu mau sidik jariku tertinggal dengan sengaja, lalu melukai dirimu sendiri agar aku terlihat seperti penculik gila yang membunuh adik tirinya. Lalu, foto-foto telanjangku akan tersebar di berita besok. Benar, 'kan?"
Wajah Sabrina pucat pasi. Tubuhnya sungguh basah kuyup diguyur sup daging yang dijilat anjing hingga tidak berani bicara.
Nadira memicingkan mata, mengenakan sarung tangan, dan langsung menyayat telapak tangan Sabrina dengan pisau tadi.
"Ah! Nadira, dasar wanita jalang! Berani sekali kamu melukaiku!"
"Tentu saja. Aku bisa pastikan, kamu nggak akan punya bukti untuk menyeretku ke penjara, adikku." Nadira tersenyum sinis sambil mendekatkan wajah, lalu melempar pisaunya tanpa meninggalkan sidik jari.
Dia berbalik untuk mengumpulkan jarum peraknya, membuat para pria yang terikat segera berdiri dan ingin kabur.
"Pak Leo, Pak Lucas, tangkap dia! Gunakan cara apa pun buat bunuh dia!" teriak Prita penuh dendam.
Namun, para pria itu ketakutan melihat anjing-anjing Nadira. Mereka tampak marah saat berkata, "Nyonya Prita, bagaimana kamu akan mengurusnya? Kami nggak akan lupa dengan perbuatanmu ini!"
Lalu, mereka segera berlari menuruni tangga.
Nadira menyimpan kembali jarum akupunkturnya, lalu menyuruh kedua anjingnya pergi. Dia tertawa dingin sambil menatap wajah Prita dan Sabrina yang pucat pasi. "Tante, apa dulu aku terlalu menurut pada kalian hingga kalian bisa seenaknya menginjak-injak dan menipuku? Oh, apa hal itu juga yang menyebabkan kemampuan bertarungmu menjadi lemah macam orang bodoh?"
Perkataan Nadira membuat Prita marah setengah mati.
"Renungkan ini baik-baik. Musuhmu sudah hidup lagi, masa kalian hanya bisa mempermalukan diri sendiri?" sindir Nadira.
Prita sangat marah, bahkan merasa ingin muntah darah. Dia tertawa sinis. "Apa kamu pikir bisa pergi begitu saja setelah melukai Sabrina? Panggil semua pengawal dan pukul dia sampai mati!"
Dari lantai bawah, tujuh hingga delapan pengawal berbadan kekar tampak berlari naik.
Tatapan Nadira makin dalam. Sepertinya, tidak mudah untuk melarikan diri.
"Takut, ya? Tangkap dia! Lepas bajunya, biar dia nggak bisa kabur!" cibir Prita.
Saat para pengawal hampir menyergapnya, Nadira mengambil jarum dari tasnya dan memicingkan mata.
Namun, lengan salah satu pengawal yang menangkap dirinya langsung patah seketika.
Nadira langsung menoleh. Entah dari mana datangnya dua pemuda berjas rapi itu.
Mereka bergerak begitu lincah, menarik beberapa pengawal itu hingga semua tersungkur secepat kilat.
"Siapa kalian? Berani-beraninya menerobos rumahku!" Prita marah dan mencoba menangkap Nadira.
Salah satu pria mendorong Prita hingga jatuh ke lantai dan Sabrina menjerit ketakutan.
"Silakan," kata salah satu pria sambil memberi jalan pada Nadira.
Tanpa membuang waktu, Nadira segera mengikuti mereka ke lantai bawah.
Sore itu, sebuah mobil mewah sudah terparkir di depan rumah besar keluarga Winata. Bukan Bentley tadi pagi, tetapi Nadira langsung bisa mengenali pria tegap bertopeng dan berwibawa yang duduk di kursi belakang.
Nadira merasa terkejut. Dia pun tersenyum tipis. "Eh, Pak … kenapa Bapak di sini?"
Pria itu menatapnya dingin, kemudian membalikkan pertanyaannya. "Kalau aku nggak datang tepat waktu, bagaimana kamu akan melindungi bayimu?"
Dia terlihat begitu menakutkan hingga Nadira sontak menghentikan tawanya. Dia hanya bisa menunduk sambil mengerucutkan bibir.
Lantas, dia membuka pintu mobil dan Nadira langsung masuk tanpa suara.
Pria itu memperhatikan gerak-geriknya, sama persis dengan malam di mana Nadira masuk ke mobilnya, begitu lemah dan menggoda bagai anak kucing.
Halim pun datang ke lantai dua kediaman keluarga Winata. Sabrina yang kesal langsung melihat keluar jendela, lalu matanya terbelalak ketika melihat mobil mewah itu.
Apakah Nadira berhasil menyelamatkan diri dan mendapatkan pria lain?
Namun, pria di kursi belakang itu memakai topeng dan mobilnya bukan mobil mewah kelas atas.
Sabrina memutar matanya sambil mencemooh sinis, lalu berbalik mengadu kepada orang tuanya. "Dasar kakak nggak tahu diri. Dia pasti bertemu pria nggak jelas waktu kabur dan membayar dua orang preman untuk membantunya!"
Setelah melihat tidak ada pelat mobil terpasang, Prita mengejek, "Seorang gadis dari keluarga terpandang seperti dia, sekarang malah pura-pura bersama beberapa orang preman."
Halim benar-benar tidak puas. "Diam kalian berdua! Katanya kalian bisa menyeret dia ke penjara, tapi apa hasilnya?"
Wajah Prita dan Sabrina merona merah karena malu.
Halim tampak memicingkan matanya. "Dulu, dia cuma terpesona oleh Yohan. Aku sudah bilang kalau dia sulit dihadapi, bahkan jauh lebih kuat darimu, Sabrina. Sekarang, kita sudah menyadarkannya!"
Sabrina mengepalkan tangannya penuh rasa cemburu. Ketika menunduk, dia melihat mobil Yohan masuk ke pelataran, lalu tatapannya terpaku pada mobil Nadira yang perlahan pergi.
…
Cahaya matahari sore menyinari wajah pria itu dengan jelas, membuat Nadira berkhayal. Mungkinkah pria ini sebenarnya pria tampan yang memukau?
Dia buru-buru meliriknya, merasa perlu mengucapkan terima kasih. "Pak, terima kasih karena sudah menyelamatkan aku tadi!"
Suasana sontak diselimuti hening.
Pria itu tidak merespons, hanya menyilangkan kakinya sambil membaca dokumen dengan wajah dingin dan sikap acuh.
Nadira terjebak dalam situasi canggung.
Sesaat kemudian.
Pria itu dengan nada datar bertanya, "Cuma ucapan terima kasih?"
Saat Nadira menatapnya, si pria langsung menatap balik ke arahnya. Di tengah cahaya remang, mata gelapnya terlihat begitu tajam dan sulit dipahami.
Nadira tidak memahami maksudnya.
Asisten yang duduk di kursi depan hanya tertawa. "Nyonya Nadira, biasanya wanita punya cara tertentu untuk berterima kasih kepada pria, 'kan?"
Nadira mengerjapkan mata indah miliknya, sedikit demi sedikit mulai memahami ucapan yang dimaksud.
"Benar begitu, Tuan?" tanya sang asisten saat melihat suasana hati bosnya sedang baik.
Pria yang selalu terlihat serius itu sekilas melirik bibir mungil Nadira, terlihat santai saat menjawab, "Hmm."
Tatapan pria itu membingungkan Nadira. Mengapa si pria terus memperhatikan bibirnya?
Apa dia harus mencium pria itu sebagai tanda terima kasih?
Telinga Nadira terlihat agak kemerahan. Tanpa sadar, dia bergumam sambil menutupi bibirnya.
"Nggak mungkin."
Pria itu tersenyum tipis melihat gerakannya. "Mana yang nggak mungkin?"
Nadira rasa, pria itu sudah selesai bekerja dan tengah bersantai. Iseng sekali!
Melihat Nadira menempel ke pintu mobil, pria itu hanya tersenyum kecil sambil memejamkan mata.
Nadira tidak bisa mengabaikan aura intimidasi milik pria itu meski sedang berada di mobil. Dia berusaha menenangkan detak jantungnya. Tepat pada saat itu, ponselnya berdering. Dia menunduk untuk melihatnya, tetapi tatapannya seketika menjadi dingin.
Yohan mengiriminya pesan. "Nadira, mereka bilang, kamu sekarang berpacaran dengan pria nggak jelas. Siapa monster bertopeng di mobil itu, sih?"
"Apa kamu sudah tidur dengannya di gunung?"
"Nadira, kamu milikku!"
"Aku nggak pernah benar-benar ingin kamu mati …"
Nadira menatap dingin pesan itu, seolah-olah hatinya terasa berdarah.
Saat Nadira ada di ambang keputusasaan, Yohan memperlakukannya bak sampah. Namun, begitu dia bersama pria lain, Yohan berani menginterogasinya!
Dibandingkan dengan keluarga Winata, Nadira merasa bahwa Yohan lebih menjengkelkan.
Napas Nadira bergetar karena emosi, membuat dia ingin mematikan ponsel. Namun, pesan menjengkelkan lainnya telanjur masuk dari Sabrina. "Nadira, wanita jalang macam kamu paling-paling cuma bisa menggaet pria murahan. Tadi Yohan bilang, dia akan memberi perusahaannya padaku dan bayiku setelah menikah nanti. Kamu pasti kesal setengah mati, 'kan?"