Bab 1
Malam sebelum pernikahan, dia dan adik tirinya sama-sama diculik. Namun, sang tunangan hanya menyelamatkan adik tirinya …
Salah satu penculik itu menerkam sambil menyeringai, lalu merobek pakaiannya.
Nadira masih tidak percaya, bahkan tetap menunggu dengan bodohnya. "Jangan! Tolong tunggu sebentar lagi. Yohan bilang, dia akan kasih uang tebusan."
Penculik itu tertawa sinis sambil mengangkat telepon, lalu berbicara dengan nada mengejek. "Sabrina, kakakmu ini memang bodoh!"
Nadira tertegun.
Suara adik tirinya terdengar mengejek, "Kamu betulan percaya kalau Yohan akan menyelamatkanmu? Jujur saja, aku sedang hamil anaknya!"
Wajah Nadira sontak pucat pasi. "Kalian … sejak kapan kalian bersama?"
"Sejak awal, Yohan cuma cinta aku! Dia manfaatkan kamu saja dengan pacaran sama kamu biar dia bisa mendirikan perusahaan. Sekarang, posisinya sudah menjadi CEO, coba tebak alasanmu diculik?"
Nadira menggigil, terus-menerus menggeleng. "Aku nggak percaya, suruh Yohan bilang sendiri padaku!"
"Dia di ranjangku. Aku sedang hamil saja, dia nggak bisa menahan diri."
Kemudian, pria kejam itu bicara dari seberang telepon. "Nadira, kamu sudah nggak berguna lagi untukku. Sekarang, pergilah!"
Duar!
Nadira terlihat begitu pucat.
Delapan tahun menjalin cinta, semata-mata hanya kebohongan belaka?
Demi ambil alih perusahaan, dia ingin Nadira mati!
Air mata Nadira jatuh bercucuran.
Sabrina tertawa jahat, lalu mengutuk, "Dia ingin membiarkanmu mati dengan tenang, tapi aku mau kamu mati mengenaskan! Kalian, senang-senang dulu dengannya, lalu buang dia biar dimakan serigala!"
"Sabrina, aku sudah memperlakukanmu seperti adik kandungku. Kenapa kamu tega begini padaku? Ayah dan Ibu nggak akan membiarkanmu lolos!"
"Kamu pikir Ayah dan Ibu benar-benar sayang sama kamu?" cibir Sabrina.
Nadira tertegun. Apa maksud pertanyaan itu?
Belum sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya sudah diseret masuk oleh para penculik ke hutan belantara.
Mereka mendekat sambil tertawa jahat hingga tubuh Nadira gemetaran. Namun, dia tidak mau menyerah!
Apakah ini akhir dari kisah hidupnya? Dibunuh karena permainan busuk Yohan dan Sabrina?
Tidak, dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi!
Saat itu juga, dia mendapati sebuah mobil terparkir di jalan gelap kaki gunung. Pintu mobil yang terbuka itu terlihat janggal.
Di kursi belakang, samar-samar terlihat siluet seorang pria berpostur tinggi. Suasananya aneh, seolah-olah ada sesuatu yang sedang disembunyikan.
Entah dari mana kekuatan itu datang, Nadira sekuat tenaga mendorong penculik yang menahannya. Dia berguling turun dari bukit, lalu berlari menuju mobil itu. "Pak, tolong biarkan aku masuk untuk sembunyi sebentar!" serunya sambil memohon.
"Pergi."
Suara pria itu bernada dingin, mata tajamnya setengah terpejam.
Para penculik sudah mengejar.
"Ada orang mau bunuh aku, Pak. Tolong!" seru Nadira sambil memeluk kakinya, memaksa naik ke mobil, kemudian menutup pintunya.
Tubuhnya yang gemetar terus bergesek dengan celana panjang yang dikenakan pria itu, tetapi dia sama sekali tidak menyadarinya.
Mata hitam yang haus darah di tengah kegelapan itu tiba-tiba terbuka. Jakunnya bergerak pelan. "Kamu nggak mau turun, ya?" tanya pria itu.
"Aku nggak bisa turun!" rintih Nadira, masih berusaha merangkak ke depan untuk menyalakan mobil.
Tiba-tiba, sebuah tangan yang terasa panas menarik pergelangan kakinya.
"Huh. Nggak peduli siapa yang mengirim kamu, tapi kamu sudah ada di sini." Pria itu melepas gelak tawa dingin sebelum suara seraknya lanjut berbicara, "Jadi, jangan menyesal."
Begitu selesai bicara, dia langsung melempar Nadira ke kursi belakang. Lalu, pria kekar itu langsung menindihnya.
Nadira tertegun. Sebelum sempat berontak, rasa sakit sudah menyelimuti sekujur tubuhnya.
Dia menangis dengan mata terbelalak. Tidak peduli sekeras apa dorongan yang dia beri, dia tidak bisa menghentikan kekuatan menakutkan itu.
Perlahan-lahan ... kegelapan menyelimuti dirinya.
Waktu terlewat cukup lama, Nadira mulai terbangun.
Pria itu masih tertidur pulas dan langit masih gelap.
Nadira mengambil pakaiannya, lalu buru-buru lompat keluar mobil.
Dia berhasil lolos dari para penculik malam itu, tetapi dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga!
Nadira menyeka air matanya yang terus mengalir. Dia tidak berani berhenti, apalagi menoleh ke belakang untuk melihat pria itu lagi.
…
Sepuluh hari kemudian.
Meskipun sekarat, Nadira berhasil berjalan kembali ke kediaman keluarga Winata di Rovelia.
Dia tidak punya uang saat kabur, hingga dia kelaparan dan kedinginan sepanjang jalan. Nyaris kehilangan nyawanya.
Nadira mengepalkan tangan erat-erat. Sepuluh hari ini, dia tidak melihat satu pun berita tentang sang yah yang mencarinya.
Sabrina bilang, sang ayah sama sekali tidak menyayangi dirinya. Saat dia mengingat kembali semua ketidakadilan yang pernah dialaminya sejak kecil, Nadira hanya bisa menggigit bibirnya kuat-kuat.
Dia tidak percaya, sehingga dia nekat kembali untuk meminta kejelasan.
Nadira berjalan ke pintu belakang kediaman keluarga Winata dengan sorot mata dingin. Belum sempat dia melangkah lebih jauh, terdengar pertengkaran yang datang dari ruang tamu.
"Orangnya sudah wafat, tapi jasadnya belum ketemu. Bagaimana bisa tenang!" teriak Prita, ibu tirinya, dengan cemas.
Dengan nada dingin dan kejam, Sabrina berkata, "Ayah, kalau Ayah khawatir dia mati mengenaskan dan datang mengganggu, kenapa nggak adakan selamatan saja? Biar kita dapat uang dan arwahnya tenang! Dia pasti nggak akan berani lagi ganggu kita."
"Bukankah itu terlalu kejam?" balas ayahnya dengan nada dingin dan acuh tak acuh.
Nadira gemetar, lalu terjatuh ke lantai. Kini, wajah tanpa ekspresinya bagai ditikam angin dingin. Dia pernah membayangkan sang ayah akan merasa bersalah dan khawatir atas keadaannya, begitu pula ibu tirinya dan Sabrina.
Namun, kenyataan jauh lebih mengerikan. Yang mereka pikir hanyalah cara memanfaatkan kematiannya untuk keuntungan mereka. Bahkan, mereka berencana menggunakan selamatan untuk menenangkan arwahnya!
"Kejam bagaimana? Sejak awal, Nadira memang kamu besarkan sebagai tameng bagi Sabrina!"
"Lagi pula, kamu ingat bagaimana kita memperlakukan ibunya, 'kan? Kalau Nadira masih hidup dan tahu soal rahasiamu …"
"Diam! Kalau dia memang masih hidup, hari ini juga, aku pastikan dia mati di sini." Suara Halim terdengar tidak menunjukkan sedikit pun kasih sayang layaknya seorang ayah.
"Setelah itu, kita cemarkan nama baiknya. Saat itu, Sabrina dan Yohan bisa ambil alih perusahaannya. Semua yang diwariskan dari kakeknya bisa menjadi milik kita, lalu pamannya biar kita urus nanti …"
Neraka tentu kosong karena setannya berkeliaran di dunia manusia.
Nadira menggigit bibir sampai berdarah, menahan diri agar tidak menyerbu masuk dan berbuat nekat.
Rasa takut sekaligus luapan amarah membuat perut Nadira terasa sakit.
Sekarang, dia paham. Ada rahasia di balik kematian sang ibu. Lebih buruknya lagi, semua kejadian di hidupnya pun terlihat mencurigakan.
Dia tidak boleh mati di sini!
Dengan hati yang hancur berkeping-keping, Nadira pun berlari keluar sambil memegangi perutnya yang sakit. Dia naik ke taksi dan berujar, "Ke rumah sakit …"
"Kabar terkini. Nadira Winata, putri sulung keluarga Winata, diduga terlibat skandal perselingkuhan dengan banyak pria. Dia ditemukan tewas di hutan akibat dibunuh oleh salah satu kekasih gelapnya. Keluarganya sangat berduka dan sedang mencari jasadnya," ujar sang penyiar di radio.
Usai terdiam sejenak, Nadira hanya bisa tertawa sinis. Berita yang dia harapkan tentang keluarganya yang mencari dirinya pun hadir.
Namun, mereka memfitnah kematiannya dengan keji.
Mereka membalikkan fakta supaya Yohan dan Sabrina bisa mengambil alih semua miliknya dengan mudah.
Benci.
Sangat benci.
Dia harus tetap hidup untuk balas dendam!
"Nona?" Sopir taksi itu berteriak kaget saat melihatnya pingsan.
"Kenapa gadis ini bisa terluka parah sekali?"
Samar-samar, Nadira mendengar suara kedatangan seorang dokter yang begitu tergesa-gesa.
Saat tersadar, Nadira melihat jarum infus melekat di punggung tangannya. Seorang dokter mendekatinya sambil membawa hasil pemeriksaan, tampak terkejut saat berkata, "Nona, hasil tes darahmu menunjukkan kadar HCG yang sangat tinggi. Artinya, selain terluka, kamu juga sedang hamil!"
Nadira tertegun bagai tersambar petir. "Dokter … apa katamu?"
"Belum genap dua minggu sejak kamu hamil. Pacarmu belum datang?"
Bibir Nadira pucat pasi. Pria itu sudah memperkosanya sepuluh hari lalu dalam kegelapan!
Mengapa nasibnya sial sekali sampai harus hamil?
Melihat reaksi Nadira, dokter itu terlihat langsung memahami situasinya. "Mau digugurkan? Kalau begitu, saya bantu jadwalkan operasi …"
"Siapa pun dilarang sentuh kandungannya!" Ada satu kelompok orang yang tiba-tiba menerobos masuk ke ruang gawat darurat.
Pemimpinnya adalah pria bersetelan jas rapi, tampak langsung mengusir dokter itu keluar ruangan.
Pria itu menoleh pada Nadira, lalu mengangguk sopan. "Nona Nadira, saya dengar Anda sedang hamil. Bisa tolong ikut kami sebentar?"
Nadira merasa cemas. "Kalian siapa?"
"Suruhan ayah dari bayi Anda, tolong ikut kami!"