Bab 144
Beni kali ini benar-benar marah. Suasana dingin yang menyelimuti tubuhnya seolah mampu membekukan seluruh koridor. Dia menarik Lestari dan langsung pergi.
Nadira berdiri terpaku di tempat, tangannya menggenggam tiang infus untuk menopang tubuhnya. Tatapannya kosong, melihat Beni menggenggam erat pergelangan tangan Lestari. Hatinya terasa lebih dingin daripada angin kencang yang berhembus di luar jendela.
Setelah beberapa saat, mata yang lelah itu perlahan terpejam. Sebuah cairan hangat merembes di sudut matanya.
"Perawat ... " katanya dengan suara tersendat, menahan sakit yang mulai terasa di perutnya. Air matanya semakin deras.
Seorang perawat segera menghampirinya dan membantunya berdiri. Perawat itu sempat melirik ke arah Beni yang telah berjalan menjauh bersama seorang wanita, lalu menebak, "Dia suamimu, ya? Kamu ini kenapa nggak sedikit melunak? Tadi dia berdiri di sana cukup lama, nggak bicara apa-apa dengan wanita itu. Sepertinya dia hanya menunggumu keluar."
Namun, kepala Nadir
Klik untuk menyalin tautan
Unduh aplikasi Webfic untuk membuka konten yang lebih menarik
Nyalakan kamera ponsel untuk memindai, atau salin tautan dan buka di browser seluler Anda
Nyalakan kamera ponsel untuk memindai, atau salin tautan dan buka di browser seluler Anda